Liwet Pasar Seni ITB 2006
Saya betul-betul antusias ketika diumumkan akan ada Pasar Seni ITB 2006. Ternyata istri saya lebih antusias lagi,"Yuk kita jualan liwet Solo!!!!", dan langsung memesan sebuah stan.
Saya sempat ragu-ragu dalam masalah ini. Sampai minggu terakhir sebelum acara, istri saya belum pernah masak liwet Solo. Jadi apa yang mau dijual? Tapi istri saya punya kemauan yang sangat keras, dan nyatanya memang pada hari H tersedialah liwet Solo komplit dengan bantuan ibu-kakak-ipar, dsb.
Di stan itu akhirnya banyak yang ikut jualan: ada yang jualan minuman, roti, yoghurt. Total sekitar 5 produk ikut numpang jualan. Jam 2 malam masih beres-beres stan, pagi-pagi jam 4-5 sudah berangkat lagi. Kl tidak salah ingat sejak tidak mengurus kegiatan mahasiswa lagi saya belum pernah serajin ini.
Susahnya, karena tidak pernah berjualan makanan, kami tidak bisa memperkirakan porsi yang dibutuhkan. Awalnya cuma menyiapkan 100. Tapi ditambah menjadi 150an. Ternyata jumlahnya kurang sekali. Jam 1/2 2 siang jualan sudah habis dan sampai jam 6 sore kami sibuk menerangkan pada pelanggan yang terus berdatangan bahwa liwetnya sudah habis. Karena itu jg, penjualan ini hampir nggak untung karena besar modal di dekorasi dan sebagainya.
Pasar Seninya sendiri bagai mana? Saya betul-betul nggak sempat nonton. Sibuk bagi-bagi pamflet.
Benar-benar menyenangkan. Paling-paling hanya satu kekurangan dari jualan liwet ini: yang jual tidak bisa berbahasa Jawa...
Saya sempat ragu-ragu dalam masalah ini. Sampai minggu terakhir sebelum acara, istri saya belum pernah masak liwet Solo. Jadi apa yang mau dijual? Tapi istri saya punya kemauan yang sangat keras, dan nyatanya memang pada hari H tersedialah liwet Solo komplit dengan bantuan ibu-kakak-ipar, dsb.
Di stan itu akhirnya banyak yang ikut jualan: ada yang jualan minuman, roti, yoghurt. Total sekitar 5 produk ikut numpang jualan. Jam 2 malam masih beres-beres stan, pagi-pagi jam 4-5 sudah berangkat lagi. Kl tidak salah ingat sejak tidak mengurus kegiatan mahasiswa lagi saya belum pernah serajin ini.
Susahnya, karena tidak pernah berjualan makanan, kami tidak bisa memperkirakan porsi yang dibutuhkan. Awalnya cuma menyiapkan 100. Tapi ditambah menjadi 150an. Ternyata jumlahnya kurang sekali. Jam 1/2 2 siang jualan sudah habis dan sampai jam 6 sore kami sibuk menerangkan pada pelanggan yang terus berdatangan bahwa liwetnya sudah habis. Karena itu jg, penjualan ini hampir nggak untung karena besar modal di dekorasi dan sebagainya.
Pasar Seninya sendiri bagai mana? Saya betul-betul nggak sempat nonton. Sibuk bagi-bagi pamflet.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home