Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Thursday, January 03, 2008

Catatan Binder Tua

Sewaktu membongkar-bongkar kardus lama, saya menemukan salah satu harta karun saya, sebuah binder.

Ceritanya, pada saat saya kuliah dulu, jika saya membaca sesuatu yang menarik buat saya dan saya harapkan untuk bisa saya ingat, saya tuliskan di kertas A5 dan dimasukkan ke dalam binder itu (binder itu juga ukuran A5).

Misalkan, kutipan dari Gandhi, 7 dosa besar manusia:
- Kekayaan tanpa kerja
- Kenikmatan tanpa suara hati
- Pengetahuan tanpa karakter
- Perdagangan tanpa moralitas
- Ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan
- Agama tanpa pengorbanan
- Politik tanpa prinsip.

Saya tuliskan sambil benar-benar berharap waktu itu, bahwa saya bisa menghindari 7 urusan ini.

Ada juga kisah tentang Pirandellian Prison (kalau nggak salah dari Psikologi Komunikasi-nya Kang Jalal, one of my all time favorite), sebuah pendekatan ilmiah yang saya jadikan pegangan ketika mencoba menghapuskan kekerasan dalam OS di HME ITB. Inti kesimpulannya, manusia yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu.

Jadi mungkin ada benarnya kalau presiden paling lama menjabat 2-3 kali saja.

Kutipan cerita lain dari buku Kang Jalal adalah dari buku: Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik. Buku-buku Kang Jalal ini belum bisa saya temukan kembali setelah beberapa kali pindah kos sejak lulus. Saya sedih sekali. O ya, di situ Kang Jalal menulis tentang kisah tiga pendeta yang berebut cinta dengan kata penutup L'amour n'est pas parce que mais malgre: Cinta itu bukan 'karena', tetapi 'walaupun'.

Dahsyat sekali. Apalagi kalau dikutip dalam surat cinta dengan bahasa Perancis, kita akan memberikan kesan sangat intelek. Saya tidak pernah melakukannya, saya biasanya menuliskan puisi home made...

Saya memang senang dengan puisi. Di tingkat dua atau tiga saya membeli beberapa buku puisi dan berharap saya bisa menghayati puisi dengan lebih dalam lagi. Walau pun sejak SD saya sudah ikut lomba puisi, baru sewaktu kuliah ini lah saya benar-benar menikmati puisi. Dan setelah bertahun-tahun belajar Bahasa Indonesia di sekolah, baru sewaktu kuliah lah saya menyadari bahwa Rendra dan Taufiq Ismail memang dahsyat.

Ini puisi Rendra ketika Mei 98.

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu...
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan...
maka kita bukan sekutu

Karena kami kucel dan kamu gemerlapan...
Karena kami sumpek dan kamu mengunci pintu...
maka kami mencurigaimu

Karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan...
Karena kami kebanjiran
dan kamu pesat di kapal pesiar..
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara...
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan..
maka kami katakan TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana...
Karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan...
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara...
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu



Coba anda bayangkan, gedung DPR dan MPR yang dijaga ribuan aparat bersenjata dan dikepung oleh ratusan ribu rakyat dan mahasiswa... "Maka air akan mengikis batu"

Damn.. he's really good.

Berbicara dengan orang-orang 70-an (mereka yang remaja di tahun 70-an) utamanya Jakarta, mereka akan memberikan kesaksian bagai mana theater happening banget di tahun 70-an. Yang menarik, salah seorang di antaranya mengatakan, bahwa mereka yang menghayati seni lebih halus perasaannya dan akan lebih mudah untuk diajak kepada kebaikan. Saya tidak bisa tidak setuju. Mungkin seharusnya ke sanalah arah pengajaran sastra. Nikola Saputra dan Dian Sastro yang berpuisi adalah sebuah pemandangan yang baik di mata saya.

Satu puisi yang saya sangat bahagia bisa temukan kembali bersama binder ini adalah puisi Taufik Ismail. Dibacakan pada saat peluncuran Palapa. Untuk informasi, Indonesia adalah negara kedua yang menggunakan sistem komunikasi berbasis satelit, dan dengan itu berhasil menyambungkan komunikasi dari Sabang sampai Merauke.

Saya tidak pernah merasa bahwa saya adalah seorang mahasiswa engineering atau (kemudian) engineer yang baik. Selalu ada hal lain yang menyita perhatian saya di luar engineering.

Tetapi puisi Taufiq Ismail ini sering terngiang di kepala saya, dan memberikan motivasi untuk membawa teknologi untuk kehidupan yang lebih baik. Amin.


Ada jurang membentang memisahkan kita
Lewat jurang, gunung, laut dan angkasa
Bagai mana cara menaklukkannya
Ingin benar aku menjangkaumu

...

Kini bersyukurlah sepenuh syukur
Karena ilmu dan kerja keras tiada henti
Telah takluk jarak, telah tercipta komunikasi
menyatukan seluruh Nusantara
merapatkan jarak antar umat manusia

Taufiq Ismail




ps. Ada yang tahu apakah titik-titik itu sebetulnya bagian yang hilang?

2 Comments:

  • At 11:45 AM , Anonymous Anonymous said...

    Kampret.. OS HME ITB jaman loe tuh gw masih mendapatkan kekerasan... Berarti loe baca buku itu ga ngepek..

    Susah emang, ketua HME yang satu ini.. :D

     
  • At 3:13 PM , Blogger Dhita Yudhistira said...

    Sudah jelas gitu kan gua pakai kalimat 'mencoba'. Kalau gagal ya maap.

    Gua nyesel kenapa dl loe nggak gua setrum 220V sambil guling2 dari Cisitu. Atau jalan jongkok waktu minta tanda tangan KP.

    Nyesel... nyesel... :D

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home