Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Thursday, February 22, 2007

Perang Pasir

Bicara tentang kunjungan ke Singapura, jarang sekali turis Indonesia yang mampir ke URA: Urban Redevelopment Auothority. Letaknya di dekat ChinaTown. Badan ini yang mengatur pembangunan di Singapura. Di sini kita bisa mengetahui rencana pembangunan Singapura, dan membaca apa yang menjadi kekhawatiran Singapura: tanah.

Kampanye tentang bagai mana mereka harus menyisihkan tanah yang hanya sedikit untuk berbagai macam keperluan dan bagai mana mereka sedang merencanakan reklamasi (yang mungkin bisa dibaca sebagai: Jangan khawatir, kita sedang reklamasi!) adalah jeritan hati nurani orang Singapura: mereka kekurangan tanah. Bagai mana tidak, sehebat apa pun negara itu, anda tidak pernah terlalu takut kalau tiba-tiba semua kendaraan mogok dan harus jalan kaki pulang, it wouldn't be too far away. It'd take no more than 2-3 hours walk asalkan tidak mampir-mampir untuk belanja.

Anda tentu akan heran, mengapa Singapura harus mempunyai angkatan udara yang sedemikian hebat. Begitu lepas landas dari Changi, pesawat mereka akan langsung masuk wilayah Indonesia. Begitulah gambaran tentang bagai mana kecilnya Singapura. Bahkan seluruh Singapura bisa dimasukkan dalam 1 maket dengan skala yang cukup besar untuk dipamerkan dalam sidang skripsi sarjana arsitektur di ITB.


Karena itulah mereka sangat berkepentingan untuk mengimpor pasir dari Indonesia. Pasir ini biasanya diambil di pulau-pulau sekitarnya, seperti pulau Nipah. Seiring dengan meluasnya wilayah Singapura, sayangnya, beberapa pulau Indonesia tenggelam karena diambil pasirnya.

Selain dampak lingkungan, hal ini membawa permasalahan lain bagi pemerintah Indonesia. Status perbatasan Singapura-Indonesia untuk sisi sekitar Riau itu belum jelas. Singapura selalu mengulur pembicaraan dengan alasan reklamasi belum selesai. Padahal, sampai saat ini saja dengan reklamasi itu wilayah mereka sudah menjorok 12 km ke arah Indonesia dan sebaliknya wilayah Indonesia berkurang 6 km.

Karena berbagai alasan itu, akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor pasir ke Singapura. Dan tentu saja ini mengguncang Singapura. Berita hari ini bahkan, pesawat TNI-AL yang berpatroli mencari kapal pengangkut pasir merasa dihadang oleh jet-jet Singapura.

O ya. Bagai mana jet Singapura bisa menghadang pesawat Indonesia di wilayah Indonesia? Begini ceritanya. Karena kemampuan radar Indonesia yang terbatas jaman dahulu kala, pengaturan wilayah udara di sekitar Singapura diatur oleh Singapura. Itu mencakup Batam dan mungkin sampai Riau. Artinya kalau pesawat yang anda tumpangi dari Batam akan berangkat, dia minta ijin ke Singapura. Bahkan, pesawat TNI yang akan melintasi daerah sekitar situ harus minta ijin ke ATC (Air Traffic Controller) Singapura. Bagai mana rasanya? Ya kira-kira seperti kalau anda mau masuk ke rumah anda yang luasnya 1 hektar tetapi harus minta ijin ke tetangga anda yang tinggal di Rumah Sederhana 40 meter persegi, padahal anda bahkan tidak harus lewat tanah dia untuk masuk.

Dan tentu saja, RSAF (AU Singapura) mendapat ijin untuk berlatih di sekitar wilayah itu. Perjanjian ini seingat saya, seharusnya selesai sekitar tahun 2000-2001. TNI AU dan Angkasa Pura sendiri sudah mempersiapkan diri untuk itu. Entah bagai mana, tampaknya diperpanjang oleh DPR.

Kembali ke masalah tadi. Singapura paling tidak mengimpor 8 juta ton pasir per tahun dari Indonesia. Dan itu baru angka yang resmi. Sementara yang didapatkan oleh pemerintah Indonesia sekitar 500 juta Rupiah (!) setahun dari pajak dan retribusi.

Beberapa teman saya menyatakan, biarlah, toh wilayah seluas itu tidak ada artinya buat Indonesia. Saya kira masalahnya bukan masalah luas wilayah. Masalahnya adalah mereka tidak menunjukkan niat baik. Niat baik seperti apa? Misalkan kalau Singapura memang berniat baik, ya impor-nya saja diatur. Tidak usah ambil dari pulau yang mau tenggelam, dicari bareng-bareng dengan pemerintah Indonesia. Kemudian jumlahnya diawasi dan dibayar pajaknya dengan benar. Wilayah laut Singapura sedemikian sempit (dan mereka punya 6 fregat!) sehingga tidak susah menanggulangi penyelundupan kalau mereka mau kerja sama.

Tapi Singapura memang tidak pernah menunjukkan niat baik, saya kira. Dalam kasus di mana Indonesia babak belur karena kasus korupsi, mereka menolak menandatangani ektrasidisi koruptor. Pertama ditunda-tunda. Sekarang dalam status belum ada kesamaan istilah tentang korupsi karena bagi Singapura (katanya) yang termasuk korupsi itu hanya penyuapan (terhadap pejabat negara).

Jadi kalau anda melihat Singapura memberi bantuan kepada Indonesia dalam bencana alam, jangan langsung bingung koq mereka tetap baik setelah berbagai macam permasalahan dengan Indonesia. Itu sekedar perwujudan dari themesong,"Dunia ini panggung sandiwara." Tampaknya satu-satunya yang main sandiwara tanpa skenario hanya Indonesia.

Memang ini bukan salah Singapura. Ini salah kita sendiri. Sama sekali saya tidak bermaksud untuk mengajak perang dengan Singapura atau melempari kedutaan mereka. Saya hanya mengingatkan bahwa kita tidak usah terpukau oleh kehebatan Singapura. They're not that great. Urusan pasir saja bisa bikin mereka blingsatan. Satu-satunya kelebihan mereka dari Indonesia adalah mereka bertetangga dengan lebih dari 200 juta orang bodoh, atau paling tidak 200 juta orang yang dipimpin oleh beberapa ribu orang bodoh. Itu saja.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home