Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Monday, January 15, 2007

Cirebon, Keraton Kasepuhan

Sesuai namanya, Keraton di Cirebon ada 2: yang tua (Kasepuhan) dan yang muda (Kanoman). Jarak di antara keduanya tidak sampai 1 km.

Keraton Kasepuhan adalah Keraton yang asli, di mana raja-raja Cirebon memerintah sejak abad 16. Nah, saat ini, seperti jg Keraton Yogya, sebagian menjadi museum. Di belakang Keraton masih tempat tinggal keluarga Keraton.

Saat sampai ke Keraton, kita harus mendaftarkan diri di buku tamu. Secara otomatis, seorang pemandu mengantarkan kita, walaupun kita tidak meminta. Paling tidak, tarif resminya tertulis di pos depan.

Keraton ini tidak terlalu besar. Bagian depannya dijadikan museum. Di sana pertama-tama kita bisa melihat kereta kencana. Menurut penjelasan sang pemandu, kereta ini sudah memiliki fungsi suspensi yang baik. Detail teknisnya dapat dilihat langsung pada kereta, berupa kulit yang mengikat roda yang elastisitasnya serupa dengan pegas pada mobil modern. Saya ingat pernah membaca bahwa sampai abad 19, orang Jepang tidak mengenal penggunaan roda. Mungkin karena lanskap bergunung menyebabkan roda tidak efektif. Sehingga di sana penumpang penting dipanggul. Pada saat itu, Cirebon sudah membuat kereta dengan suspensi. Saat ini Jepang produsen mobil terbesar di dunia dan Indonesia...

Nah, di museum ini jg terdapat banyak cindera mata dari berbagai kerajaan di luar negeri. Baik berupa perhiasan maupun senjata. Ada senapan Mesir, Meriam Mongol, dst. Saya masih sulit membayangkannya, tetapi dari buku-buku yang saya baca dan bukti yang terpampang di depan mata ini, pada saat itu beberapa bagian dunia sudah mencapai suatu tingkat globalisasi yang cukup tinggi. Berbagai benda dari penjuru Asia ada di sini.

Dan dari Eropa, terdapat zirah Portugis. Ini adalah pampasan yang didapatkan ketika Portugis dikalahkan di Jayakarta. Barang-barang di museum ini cukup potensial untuk mengalahkan koleksi museum Melayu Singapura, tetapi lagi-lagi dengan manajemen yang seadanya, hasilnya tidak banyak.

Masuk ke dalam Keraton, kita bisa menemui tempat duduk di mana Raja dulu menerima tamu dan bertahta. Kursi kayu yang cukup sederhana, dengan bendera 9 warna di belakangnya melambangkan Sembilan Wali. Di belakang bendera terdapat bale-bale di mana Raja tidur jika lelah. Wah, ternyata Raja-Raja itu dan saya tidak berbeda jauh dalam urusan tidur siang!

Nah, dinding di sekitar ruangan ini dilapisi oleh keramik Belanda. Keramik Belanda menjadi produk unggulan Belanda yang mendunia di sekitar abad 18-19. Kalau tidak salah dikenal sebagai keramik biru Delft, sampai sekarang masih diproduksi di sana. Gambar pada keramik-keramik ini merupakan untaian kisah yang diambil dari Alkitab. Dikarenakan tidak ada yang mengenal alkitab di kesultanan pada masa itu, pemasangannya tidak berurutan.

Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya, apa pendapat Sunan Gunung Jati kalau tahu istananya dihiasi kisah dari Alkitab.

Secara keseluruhan Keraton ini masih menampilkan kondisi pada masa fungsionalnya. Di depan Keraton terdapat tempat duduk raja yang menghadap ke alun-alun untuk menyaksikan berbagai macam hal mulai dari ketangkasan, festival, apel pasukan, sampai (mungkin) demonstrasi.

Di halaman depan Keraton ada lokasi di mana dikabarkan ketika seorang anak difoto pada saat festival Keraton beberapa tahun lalu, bayangan seekor buaya putih muncul. Foto ini kemudian dikirimkan ke pihak Keraton, dan kita bisa mendapatkannya di pos depan. Saya sendiri memperhatikan fenomena munculnya bayangan dalam foto seperti ini menurun drastis sejak populernya pemakaian kamera digital. Apakah berhubungan?

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home