Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Monday, March 05, 2007

Kekerasan dan Kebebasan Berpikir

Setelah hampir 9 tahun reformasi, ternyata saya masih merasakan hambatan untuk menuliskan permasalahan ini. Ada rasa tidak nyaman dan tidak aman, sesuatu yang saya kira merupakan jejak orde baru dalam diri saya, ketika menuliskan tema yang berikut.

Tetapi malam ini, ketika membaca di detik, saya memutuskan untuk menuliskannya.

Sekitar tahun 2000-2001, rombongan rekan-rekan teknik elektro dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar berkunjung ke ITB dan menanyakan pendapat saya tentang tema hangat yang muncul saat itu: usul dari Presiden Aburrachman Wahid untuk mencabut ketetapan yang melarang ajaran komunisme di Indonesia.

Pendapat saya waktu itu, tidak berubah sampai sekarang: kita tidak bisa, dan karenanya tidak perlu melarang manusia untuk berpikir.

Beberapa berargumen, bahwa komunis adalah ajaran yang menghalalkan kekerasan. Tapi dari sejarah dan dari apa yang terjadi kita tahu, bahwa orang yang menentang komunisme pun melakukan kekerasan.

Itu juga terjadi misalkan, terhadap aliran agama yang 'menyimpang'. Kasus Ahmadiyah sebagai contoh. Kita melihat bagai mana tempat mereka diserbu dan dibakar. Beberapa orang mungkin menjadi korban kekerasan.

Bagi saya, orang beragama yang melakukan kekerasan sama tidak baiknya dengan orang tidak beragama yang melakukan kekerasan atau pun orang beragama menyimpang yang melakukan kekerasan. Karena itu, yang harus dilarang adalah kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun, atas alasan apa pun.

Lalu bagai mana jika mereka menyebarluaskan kepercayaannya? Lho bukankah kita juga berusaha untuk menyebarluaskan apa yang kita percaya? Dan ini akan menjadi sebuah dialektika. Misalkan kita berdiskusi dan kalah, itu adalah dorongan agar kita belajar lagi (kalau tetap tidak mau mengakui bahwa lawan diskusi kita benar). Beberapa hal memang perlu diatur: penyebaran pada anak-anak di sekolah, misalkan.

Bagai mana jika mereka menang (menjadi mayoritas, pada akhirnya)? Itu resiko yang harus diambil. Tetapi kita harus ingat lagi, bahwa hidup ini adalah masalah proses, bukan menang atau kalah. Walau bukan ahli agama, saya yakin betul bahwa Islam menghargai proses melebihi apa pun. Kita boleh kalah, tetapi itu tetap mendapat ganjaran jika dilakukan dengan tetap memperhatikan kaidah. Itu sebabnya kita mengutuk bom pembunuh massal, bom bunuh diri, dan juga seharusnya, orang-orang yang membakar dan menyerang orang lain atas nama agama.

Saya ingin menuliskan bagai mana pergulatan pemikiran memenuhi sejarah umat manusia dan bagai mana saya melihat kecenderungan bahwa kemajuan secara umum dicapai oleh bangsa-bangsa yang (pada masanya) memiliki iklim kebebasan berpikir. Termasuk di jaman kejayaan Islam. Juga bagai mana pelarangan terhadap ajaran komunisme berpengaruh terhadap Indonesia dalam 40 tahun terakhir ini. Topik-topik yang sangat menarik tetapi saya merasa belum punya cukup bahan dan pengertian. Mudah-mudahan di lain waktu.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home