Seekor Puma di Saparua
Tujuan saya sebetulnya sederhana saja. Cita-cita lugu pemuda kota: sarapan nasi timbel di Bawean. Bertahun-tahun meninggalkan Bandung, saya tetap merasa paling tenteram kalau bisa sarapan di sana. Nggak peduli teman-teman sudah jadi manajer dan pengusaha sukses di mana-mana, kalau timbel + ayam goreng dan kawan-kawannya sudah di piring saya, rasanya surga dunia dalam genggaman. Surga yang tidak mereka rasakan. Hehehehe. Yang membuat masih ingat bahwa ini masih di dunia adalah, kenyataan saya menahan diri untuk tidak memesan es duren. Kolesterol.
Tempat sarapan lainnya yang memberikan ketenangan hidup dunia ada di nasi kuning Sumur Bandung. Duduk sambil melihat mahasiswa-mahasiswa dengan masa depan cerah (setelah lepas dari mahasiswa masa depan tidak secerah itu kelihatannya) berlalu-lalang sambil berpikir, mengapa setelah satu dekade lebih, si Ibu nasi kuning masih suka mengambil perkedel dengan tangan yang sama dengan yang dipakai untuk memegang uang. Apa mungkin itu rahasia kelezatan nasi kuningnya?
Jadi Jumat kemarin saya berencana sarapan timbel. Tujuan sederhana ini terasa sulit sekali dicapai, karena ada kampanye partai Demokrat di Gazibu. Akan terlalu berlebihan kalau saya menyimpulkan bahwa sistem politik kita membuat orang sulit mencari sesuap nasi (timbel). Tapi kira-kira begitulah ilustrasinya. Macet di mana-mana.
Setelah itu saya bergerak menuju jalan Riau, sekedar karena memang tidak ada acara hari itu. Ketika melewati Saparua, saya tertegun melihat ada kendaraan tidak biasa parkir di situ. Bukan BMW, bukan Porsche. Agak berbeda, ini super Puma!!!
Super puma sebetulnya bukan barang yang tidak biasa buat saya. Kakak ipar saya sering nyetir yang satu ini. Punya kantor, Angkatan Udara. Cuma baru sekali ini saya lihat Super Puma mendarat di lapangan, lapangan Saparua. Kagum juga.
Setelah mengelilingi lapangan Saparua beberapa kali untuk memastikan saya tidak salah lihat, juga untuk mencari tahu di mana seharusnya parkir di lapangan Saparua, akhirnya saya memutuskan untuk parkir di Kantor Pos, lalu berjalan kaki.
Keputusan ini ternyata salah berat, karena pintu masuk lapangan Saparua ternyata ada di sisi yang berseberangan. Sebagai fotografer amatiran, saya terlalu malas untuk menyeberang. Jadi saya foto saja dari sisi sebelah sini (arah kantor Pos maksudnya).
Ternyata bukan saya saja yang melongo melihat ada helikopter mendarat di lapangan. Seorang kakek mengajak cucunya melihat-lihat, bahkan ada yang sampai ke tengah lapangan. Seorang tukang korang segera memberikan komentar,"Hebat ya sebesar itu bisa terbang..."
Iya, hebat juga ya.
Tanpa terasa setengah jam saya terseret mendengarkan perdebatan antara si tukang koran dengan seorang pensiunan Pepabri tentang kondisi bangsa, dipicu oleh helikopter yang nongkrong di lapangan. Sedikit pun saya tidak mengerti, bagai mana helikopter yang sedang santai itu memberi mereka inspirasi untuk merefleksikan kondisi bangsa yang sedang terpuruk. Setengah jam kemudian saya masih mendengarkan pandangan si tukang korang tentang berbagai macam persoalan bangsa. Tentang bagai mana antar suku dan ras harus bekerja sama membangun (termasuk,"Orang Cina juga bagian dari bangsa Indonesia dan punya perannya"), tidak boleh membedakan seseorang karena suku, agama, atau ras-nya ("jangan dilihat agamanya beda-beda, yang penting kita lihat, bagai mana kelakuannya"), ketidaksetujuannya tentang BLT ("saya tidak dapat BLT dan kalau dapat pun saya nggak mau karena saya msh bisa cari makan"), dan sebagainya.
Terakhir dia tanya ke saya, helikopter ini buatan mana. Saya bilang,"Buatan Bandung Pak. Kerja sama dengan Perancis." Dan beliau kelihatan bangga sekali bahwa bangsanya sudah bisa membuat helikopter. "Berarti hebat ya Habibie memang. Gimana ke depannya, apa kita bisa lebih maju lagi?"
"Insya Allah Pak, Insya Allah," Saya bilang. "Kita akan usahakan sama-sama."
Saya berharap helikopter ini lebih sering mendarat di tengah-tengah masyarakat.
t.
Tempat sarapan lainnya yang memberikan ketenangan hidup dunia ada di nasi kuning Sumur Bandung. Duduk sambil melihat mahasiswa-mahasiswa dengan masa depan cerah (setelah lepas dari mahasiswa masa depan tidak secerah itu kelihatannya) berlalu-lalang sambil berpikir, mengapa setelah satu dekade lebih, si Ibu nasi kuning masih suka mengambil perkedel dengan tangan yang sama dengan yang dipakai untuk memegang uang. Apa mungkin itu rahasia kelezatan nasi kuningnya?
Jadi Jumat kemarin saya berencana sarapan timbel. Tujuan sederhana ini terasa sulit sekali dicapai, karena ada kampanye partai Demokrat di Gazibu. Akan terlalu berlebihan kalau saya menyimpulkan bahwa sistem politik kita membuat orang sulit mencari sesuap nasi (timbel). Tapi kira-kira begitulah ilustrasinya. Macet di mana-mana.
Setelah itu saya bergerak menuju jalan Riau, sekedar karena memang tidak ada acara hari itu. Ketika melewati Saparua, saya tertegun melihat ada kendaraan tidak biasa parkir di situ. Bukan BMW, bukan Porsche. Agak berbeda, ini super Puma!!!
Super puma sebetulnya bukan barang yang tidak biasa buat saya. Kakak ipar saya sering nyetir yang satu ini. Punya kantor, Angkatan Udara. Cuma baru sekali ini saya lihat Super Puma mendarat di lapangan, lapangan Saparua. Kagum juga.
Setelah mengelilingi lapangan Saparua beberapa kali untuk memastikan saya tidak salah lihat, juga untuk mencari tahu di mana seharusnya parkir di lapangan Saparua, akhirnya saya memutuskan untuk parkir di Kantor Pos, lalu berjalan kaki.
Keputusan ini ternyata salah berat, karena pintu masuk lapangan Saparua ternyata ada di sisi yang berseberangan. Sebagai fotografer amatiran, saya terlalu malas untuk menyeberang. Jadi saya foto saja dari sisi sebelah sini (arah kantor Pos maksudnya).
Ternyata bukan saya saja yang melongo melihat ada helikopter mendarat di lapangan. Seorang kakek mengajak cucunya melihat-lihat, bahkan ada yang sampai ke tengah lapangan. Seorang tukang korang segera memberikan komentar,"Hebat ya sebesar itu bisa terbang..."
Iya, hebat juga ya.
Tanpa terasa setengah jam saya terseret mendengarkan perdebatan antara si tukang koran dengan seorang pensiunan Pepabri tentang kondisi bangsa, dipicu oleh helikopter yang nongkrong di lapangan. Sedikit pun saya tidak mengerti, bagai mana helikopter yang sedang santai itu memberi mereka inspirasi untuk merefleksikan kondisi bangsa yang sedang terpuruk. Setengah jam kemudian saya masih mendengarkan pandangan si tukang korang tentang berbagai macam persoalan bangsa. Tentang bagai mana antar suku dan ras harus bekerja sama membangun (termasuk,"Orang Cina juga bagian dari bangsa Indonesia dan punya perannya"), tidak boleh membedakan seseorang karena suku, agama, atau ras-nya ("jangan dilihat agamanya beda-beda, yang penting kita lihat, bagai mana kelakuannya"), ketidaksetujuannya tentang BLT ("saya tidak dapat BLT dan kalau dapat pun saya nggak mau karena saya msh bisa cari makan"), dan sebagainya.
Terakhir dia tanya ke saya, helikopter ini buatan mana. Saya bilang,"Buatan Bandung Pak. Kerja sama dengan Perancis." Dan beliau kelihatan bangga sekali bahwa bangsanya sudah bisa membuat helikopter. "Berarti hebat ya Habibie memang. Gimana ke depannya, apa kita bisa lebih maju lagi?"
"Insya Allah Pak, Insya Allah," Saya bilang. "Kita akan usahakan sama-sama."
Saya berharap helikopter ini lebih sering mendarat di tengah-tengah masyarakat.
t.
2 Comments:
At 10:43 AM , Anonymous said...
pertanyaan yg belum dijawab, ngapain itu helikopter di lapangan saparua dhit?
At 11:12 AM , Dhita Yudhistira said...
Standby kayaknya nungguin SBY.
Kurang jelas jg. Malam sebelumnya gua lewat di hotel yang di belakang BIP itu (Hyatt?). Penjagaannya ketat sekali, katanya SBY nginap situ.
Tapi paginya SBY ke Situ Gintung. Dan tetap ikut kampanye di Gazibu. Kemungkinan naik helikopter ya.
Waktu berangkat lagi sih, dari Saparua tanpa SBY. Dipikir-pikir kalau itu helikopter ngikutin presiden terus ke mana-mana sekedar buat standby, mahal juga biayanya ya.
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home