Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Tuesday, September 01, 2009

Menonton Merah Putih



Dengan semangat, saya mengajak istri saya menonton ‘Merah Putih. Film ini diproduseri oleh Hasyim (kakak/adik dari Prabowo Subianto) dan konon memakan dana sampai 20 milyar rupiah. Tidak tanggung-tanggung, penata efek, penulis skenario dan banyak ‘orang penting’ lainnya dalam film ini ditarik langsung dari Hollywood.
Katanya, penulisan naskah skenarionya sampai 2 tahun. Mantab.

Film pun mulai, dibuka dengan adegan kekejaman tentara Belanda yang membunuh satu keluarga di Sulawesi sana. Kekejaman tentara Belanda membunuh satu kampung diulangi lagi nanti di belakang.

Inti cerita, para pemuda dari latar belakang yang berbeda-beda bergabung dengan Sekolah Tentara Rakyat di suatu tempat di Jawa Tengah untuk menjadi perwira. Kemudian tiba-tiba Belanda menyerang dan membunuh hampir semua siswa dan instruktur (yang jumlahnya puluhan) dan menyisakan 4 orang saja. Keempat orang ini kemudian bertekad membalas dendam dan memporak-porandakan Belanda.

Di awal-awal film, dikisahkan bagai mana terjadi perseteruan antara kadet-kadet dari latar belakang yang berbeda (Kristen lawan Islam). Mungkin maksudnya untuk mengingatkan bahwa pejuang jaman dulu bisa mengatasi perbedaan. Tapi saya pribadi menganggap permasalahan ini terlalu mengada-ada. Saya tidak yakin bahwa dulu pertentangannya begitu keras. Apalagi di Jawa Tengah. Yang lebih membuat aneh, orang Islam tengil-nya diwakili oleh tokoh Marius. Seorang priyayi Jawa yang diperankan oleh Darius…

Coba anda bayangkan seorang priyayi Jawa pada jaman itu. Bayangkan nama Mangoensastro, Sastrowardojo, Mangoenkoesoemo, apa saja. Dan kemudian bayangkan Darius. Saya yakin dia lebih cocok memerankan Westerling.







Saya minta maaf pada Darius. Bukan saya melecehkan dia. Saya mempertanyakan yang melakukan casting.

Jadi film ini punya banyak faktor yang kuat menurut saya: casting yang aneh, dialog yang aneh, cerita yang aneh, kostum yang aneh, dan akting yang aneh.

Kalau sedikit kita belajar sejarah, kita tahu bahwa sekitar tahun 1945 sampai dengan agresi militer Belanda ke-2, yaitu di 19 Desember 1948, Jawa Tengah dan Jogja ada dalam kekuasaan Republik. Bahkan setelah agresi militer ke-2 Belanda hanya menguasai kota-kota. Karena itu Presiden pindah ke Jogja, ITB (Sekolah Tinggi Teknik Bandung) pindah ke Jogja, bahkan divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah (long march Siliwangi yang tersohor tea).

Kecil kemungkinannya, menurut saya, Belanda bisa menyerang akademi militer Repulik di Jawa Tengah tanpa ketahuan dan menghabisi semua orang. Kemudian kalau pun itu terjadi dan tersisa 4 orang, yang paling masuk akal adalah ke-4 orang itu akan bergabung dengan gerilyawan yang ada di sekitarnya.

Untuk skenario seperti itu butuh 2 tahun? My God.

Hebatnya, setelah bertempur semalaman, di hutang dan di sungai, para pahlawan kita masih memakai baju yang bersih, hanya kotor sedikit. Bahkan kalau mau diperhatikan, topi pet mereka masih tersimpan dengan rapi di bahu. Wow.

Saya bukan bermaksud mencela-cela film ini. Cuma kritik saja. Kritik pedas. Hehehe.
Kalau bisa membuat film perjuangan yang sedikit lebih realistis lah. Sudah bayar bule mahal-mahal, koq hasilnya begini. Ledakannya lumayan keren sih.

Sedikit cerita. Jadi dulu bapak dan kakak-kakak dari nenek saya ditangkap Belanda. Setelah ditangkap, mereka dibawa keliling kota untuk menunjukkan siapa gerilyawan lainnya. Kemudian Belanda dating ke rumah Iyut (ibu dari nenek) saya untuk mencari senjata (yang disembunyikan di sumur).

Kemudian Belanda menawari Iyut saya roti dan makanan yang enak-enak, kalau mau memberitahu siap saja gerilyawan di kota itu.

Belanda tidak memukuli Iyut saya, tidak membunuh sekeluarga atau sekampung. Ada kasus Westerling, dan saya tidak mengatakan bahwa Belanda tidak kejam. Saya mau mengingatkan, waktu Bung Karno dibuang ke pulau Banda, beliau mendapatkan tunjangan dari pemerintah Hindia-Belanda yang cukup untuk membeli buku (mungkin kalau sekarang via Amazon karena bukunya sampai tuh di Banda), cukup untuk nraktir-nraktir penduduk lokal. Beda dengan Orde Baru waktu membuang orang ke pulau Buru. Jangankan member tunjangan, melihara ayam aja diambil.

Saya ingin mengingatkan kita semua. Bagai mana kalau ternyata penjajah (dalam segala bentuknya) berwujud manis? Lebih manis dari bangsa kita sendiri? Atau mungkin juga saya ingin menanyakan, apakah kita tidak sedang dijajah atau menjajah bangsa sendiri?
Catatan terakhir saya, ini film perjuangan pertama seingat saya, yang Belandanya benar-benar diperankan oleh orang Bule. Bukan Indo Blasteran. Cuma ini juga salah, pada masa itu tentara KNIL banyak terdiri dari pribumi…

1 Comments:

  • At 12:01 AM , Anonymous Anonymous said...

    hehehe sialan lu dhit..

    spoiling keinginan gw buat nonton. :)

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home