Pengamen dan Sisir
Jadi pagi itu, saya berangkat ke Jakarta dengan bis dari terminal Baranangsiang. Banyak orang pergi dengan tujuan dan peran yang berbeda setiap harinya. Saya salah satu di antaranya. Pagi itu, saya berangkat sebagai konsultan (IT) untuk salah satu instansi pemerintah, menemui vendor yang juga perusahaan lumayan besar (Paling tidak mereka berkantor di gedung lumayan tinggi dengan nama perusahaan mereka, satu-satunya, terpampang di puncaknya).
Seperti biasa naiklah seorang pengamen. Kalau kita naik dari Bogor, bis langsung masuk ke tol. Jadi umumnya pengamen menyanyi sepanjang perjalanan ke Jakarta. Dan semakin macet jalan, semakin panjang perjuangan sang pengamen. Saya punya beberapa aturan tentang memberi kepada pengamen. Saya harus memberi jika:
1. Dia menyanyikan lagu/musik tradisional atau menggunakan instrumen tradisional. Bagai mana pun dia melestarikan kebudayaan nasional, sesuatu yang saya tidak sempat lagukan
2. Saya ikut bergumam atau menyanyikan lagu. Bukti nyata saya terhibur. Dan rasanya koq terkutuk kalau si pengamen sudah berhasil menghibur saya, dan saya tidak menghargai usahanya
3. Nyanyinya betul-betul bagus. Beberapa waktu lalu saya bertemu sepasang pengamen di sebuah restoran di Sumedang. Suaranya betul-betul indah, melebihi juara Indonesian Idol pertama dan kedua. Saya yakin semua di ruangan itu berpendapat yang sama. Kira-kira lebih dari 20 orang yang ada di ruangan itu memberikan paling tidak masing-masing seribu sampai 5 ribu ke si pengamen untuk dua lagu.
Selain ketiga kategori itu, tergantung suasana hati saya dalam memberikan uang kepada pengamen. Tentang besar-kecilnya, tergantung kondisi dan situasi.
Kebetulan, dia berdiri tepat di samping saya. Saya memperhatikan penampilannya sepanjang perjalanan ke Jakarta. Sepatu kulit hitam mengkilat, celana kain mulus terseterika rapi, baju kemeja lengan pendek, jam Swiss Army (entah asli entah tidak). Dan saya jadi menyadari bahwa sebagai konsultan, penampilan saya jauh lebih nelangsa dari pada si pengamen....
Saya harus akui, saya memang malas urusan begini. Terakhir saya beli sepatu sebelum saya menikah, Desember 2004 (untuk dipakai akad). Terakhir beli jam 4 atau 5 tahun yang lalu walaupun sekarang penunjuk harinya sudah macet. Dalam setahun ini kalau nggak salah saya cuma membeli 1 potong baju. Dan sebelum celana yang saya beli Maret lalu, celana sebelumnya dibeli sebelum saya menikah. Malah kalau tidak salah sebelum ada rencana menikah...
Wah kacau. Pantas istri saya sering marah-marah tentang penampilan saya. Perlu diketahui juga bahwa saya sisiran di pagi hari bukan dengan tujuan penampilan. Rambut saya awut-awutan dan rasanya nggak enak kalau tidak disisir. Sekalian sambil menggaruk kepala. Rambut saya itu memanjang dengan cepat, dan idealnya potong rambut dilakukan setiap 3 minggu. Tapi kadang-kadang sampai 6-8 minggu, tidak saya lakukan.
Tampaknya memang saya harus mengalokasikan biaya penampilan. Ngomong-ngomong masalah penampilan, beberapa minggu lalu saya menemui seorang programmer yang rapi dan wangi. Ini jelas prasangka, tapi koq saya nggak percaya dengan seorang programmer yang rapi,"Dia terlalu rapi, apa dia bisa mrogram?" Bayangan saya itu, kalau programmer benar dan pintar, penampilannya pasti tidak luar biasa mengkilat. Hehehe.
Rencana ini sudah saya tindak lanjuti dengan membeli sisir kecil untuk ditaruh di kantong. Sampai saat ini utilisasinya tidak sampai 1x seminggu. Ada yang punya ide?
Seperti biasa naiklah seorang pengamen. Kalau kita naik dari Bogor, bis langsung masuk ke tol. Jadi umumnya pengamen menyanyi sepanjang perjalanan ke Jakarta. Dan semakin macet jalan, semakin panjang perjuangan sang pengamen. Saya punya beberapa aturan tentang memberi kepada pengamen. Saya harus memberi jika:
1. Dia menyanyikan lagu/musik tradisional atau menggunakan instrumen tradisional. Bagai mana pun dia melestarikan kebudayaan nasional, sesuatu yang saya tidak sempat lagukan
2. Saya ikut bergumam atau menyanyikan lagu. Bukti nyata saya terhibur. Dan rasanya koq terkutuk kalau si pengamen sudah berhasil menghibur saya, dan saya tidak menghargai usahanya
3. Nyanyinya betul-betul bagus. Beberapa waktu lalu saya bertemu sepasang pengamen di sebuah restoran di Sumedang. Suaranya betul-betul indah, melebihi juara Indonesian Idol pertama dan kedua. Saya yakin semua di ruangan itu berpendapat yang sama. Kira-kira lebih dari 20 orang yang ada di ruangan itu memberikan paling tidak masing-masing seribu sampai 5 ribu ke si pengamen untuk dua lagu.
Selain ketiga kategori itu, tergantung suasana hati saya dalam memberikan uang kepada pengamen. Tentang besar-kecilnya, tergantung kondisi dan situasi.
Kebetulan, dia berdiri tepat di samping saya. Saya memperhatikan penampilannya sepanjang perjalanan ke Jakarta. Sepatu kulit hitam mengkilat, celana kain mulus terseterika rapi, baju kemeja lengan pendek, jam Swiss Army (entah asli entah tidak). Dan saya jadi menyadari bahwa sebagai konsultan, penampilan saya jauh lebih nelangsa dari pada si pengamen....
Saya harus akui, saya memang malas urusan begini. Terakhir saya beli sepatu sebelum saya menikah, Desember 2004 (untuk dipakai akad). Terakhir beli jam 4 atau 5 tahun yang lalu walaupun sekarang penunjuk harinya sudah macet. Dalam setahun ini kalau nggak salah saya cuma membeli 1 potong baju. Dan sebelum celana yang saya beli Maret lalu, celana sebelumnya dibeli sebelum saya menikah. Malah kalau tidak salah sebelum ada rencana menikah...
Wah kacau. Pantas istri saya sering marah-marah tentang penampilan saya. Perlu diketahui juga bahwa saya sisiran di pagi hari bukan dengan tujuan penampilan. Rambut saya awut-awutan dan rasanya nggak enak kalau tidak disisir. Sekalian sambil menggaruk kepala. Rambut saya itu memanjang dengan cepat, dan idealnya potong rambut dilakukan setiap 3 minggu. Tapi kadang-kadang sampai 6-8 minggu, tidak saya lakukan.
Tampaknya memang saya harus mengalokasikan biaya penampilan. Ngomong-ngomong masalah penampilan, beberapa minggu lalu saya menemui seorang programmer yang rapi dan wangi. Ini jelas prasangka, tapi koq saya nggak percaya dengan seorang programmer yang rapi,"Dia terlalu rapi, apa dia bisa mrogram?" Bayangan saya itu, kalau programmer benar dan pintar, penampilannya pasti tidak luar biasa mengkilat. Hehehe.
Rencana ini sudah saya tindak lanjuti dengan membeli sisir kecil untuk ditaruh di kantong. Sampai saat ini utilisasinya tidak sampai 1x seminggu. Ada yang punya ide?
3 Comments:
At 11:21 PM , Anonymous said...
Eh, sialan luh! Lu nyindir gw yah!
Programer rapi 'n wangi yang loe sebut2 itu gw tauk. Pengampilan bisa menipu, walaupun gw yuppie, hip 'n metrosexual, gini-gini sebenernya gw tuh yang bantuin linus torsvald bikin kernel linux.....
At 12:00 AM , Zalfany said...
Dhit, jadi pengamennya dikasih uang ga? Ini yang lebih penting :D.
At 12:02 AM , Dhita Yudhistira said...
Dikasih Nyeng.
Alasan utamanya karena gua menghargai semangatnya yang nyanyi selama 1 jam....
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home