Mengapa Saya Menolak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia
Topiknya tiba-tiba menyimpang ya. Saya sudah lama ingin mengutarakan pendapat saya tentang masalah ini. Jadi saya tuliskan saja sekarang.
Prinsipnya, saya orang yang akan selalu memilih solusi yang ramah lingkungan walau pun biayanya lebih tinggi. Apakah PLTN lebih tidak ramah lingkungan? Belum tentu. Kalau PLTN digantikan oleh PLT bertenaga batu bara atau BBM, dengan daya yang sama gas CO/CO2 yang terbuang ke atmosfir akan jauh lebih sedikit menggunakan PLTN. Dalam kasus ini, paling-paling menurut saya, kita masih punya sumber daya panas bumi dan air yang belum dimanfaatkan. Jadi kenapa harus pakai PLTN. Saya sih lihat para ahli nuklir itu seperti tukang aja, sesuai istilah: kalau kamu ahli menggunakan martil, semuanya terlihat seperti paku. Seolah-olah nuklir hanya satu-satunya solusi. Tapi mungkin ada hitung-hitungan lain.
Permasalahan kedua, buat saya. Orang Indonesia umumnya tidak akrab dengan teknik pemeliharaan. Kalau disuruh menghitung proyek pengadaan, pasti cepat keluar hasilnya. Tapi tidak pernah disertakan biaya ideal perawatannya tiap tahun. Lihat misalkan kereta api. Saya yakin kalau kereta dipelihara dengan benar biayanya akan lebih kecil dari pada membeli baru setiap kali rusak. Tp toh tetap tidak dilakukan. Contoh lain, saya pernah mendengar bahwa dana pemeliharaan ITB (yang dibangun dengan pinjaman ratusan juta dollar) hanya sekitar 80 juta setahun sehingga hampir tidak ada perbaikan suatu waktu ketika ITB memutuskan dana itu dipakai untuk memperbaiki kolam renang. Maaf, ini sedikit berbau isu memang. Tp tingkat kemampuan pemeliharaan ITB bisa dilihat dari WC pria lantai I labtek VIII Departemen Teknik Elektro.
Ini ditambah mental markup. Markup bisa dua cara. Cara yang pertama, harga jadi tinggi. Kalau begini maka biaya meningkat dan mungkin PLTN menjadi tidak ekonomis. Cara kedua, barang dibeli 3 diaku 4. Coba misalkan anda memanjat menara GSM yang tingginya 50-100meter itu. Hitung semua sekrupnya. Lengkap atau tidak? Jangan salah, harga sekrup itu lumayan kalau dikumpulkan.
Tp yah.. mungkin untuk mengisi PLTN ini akan dipanggil orang-orang berbeda, dengan semangat dan kedisiplinan tingkat tinggi. Jadi tidak akan ada masalah.
Nah, alasan yang paling penting buat saya adalah mental pemerintah dan swasta besar (yang memang umumnya besar di jaman Orba karena KKN). Coba kita lihat kasus Lapindo, dan kita analogikan dengan masalah PLTN.
Misalkan suatu hari, hari H, PLTN kita mengalami musibah kebocoran.
H+1, pihak PLTN sibuk menyangkal berita kebocoran.
H+3, pihak PLTN mengakui ada kebocoran, tp hal itu bisa diatasi dan tidak perlu ditakutkan.
H+14, setelah ratusan orang mati dan ribuan lainnya mengalami gangguan kesehatan, pihak PLTN mengakui bahwa permasalahannya ternyata lebih besar dari yang mereka duga sebelumnya.
H+21, pemerintah turun tangan dan membentuk timnas. Kebetulan ketua Badan Pengawas Nuklir Indonesia naik karena disponsori oleh Komisaris PLTN. Rumah sakit-rumah sakit menolak merawat korban radiasi dengan alasan ketiadaan peralatan yang memadai.
H+30, timnas memperkirakan bencana bisa diatasi dalam 3 bulan. Sementara itu pemerintah merundingkan siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini.
H+2 bulan. Pemerintah mengusulkan anggaran penanggulangan dimasukkan ke dalam APBN. DPR menolak karena hal ini seharusnya merupakan tanggung jawab dari pihak PLTN.
H+5 bulan. PLTN bersedia membayar ganti rugi. Tetapi terjadi kesulitan karena semua korban sudah mati sementara pihak PLTN berkeras bahwa semua korban harus mendaftarkan diri secara langsung dengan menunjukkan kartu identitas.
dan seterusnya.
So now you know why I disagree with Nuclear Power in Indonesia...
Prinsipnya, saya orang yang akan selalu memilih solusi yang ramah lingkungan walau pun biayanya lebih tinggi. Apakah PLTN lebih tidak ramah lingkungan? Belum tentu. Kalau PLTN digantikan oleh PLT bertenaga batu bara atau BBM, dengan daya yang sama gas CO/CO2 yang terbuang ke atmosfir akan jauh lebih sedikit menggunakan PLTN. Dalam kasus ini, paling-paling menurut saya, kita masih punya sumber daya panas bumi dan air yang belum dimanfaatkan. Jadi kenapa harus pakai PLTN. Saya sih lihat para ahli nuklir itu seperti tukang aja, sesuai istilah: kalau kamu ahli menggunakan martil, semuanya terlihat seperti paku. Seolah-olah nuklir hanya satu-satunya solusi. Tapi mungkin ada hitung-hitungan lain.
Permasalahan kedua, buat saya. Orang Indonesia umumnya tidak akrab dengan teknik pemeliharaan. Kalau disuruh menghitung proyek pengadaan, pasti cepat keluar hasilnya. Tapi tidak pernah disertakan biaya ideal perawatannya tiap tahun. Lihat misalkan kereta api. Saya yakin kalau kereta dipelihara dengan benar biayanya akan lebih kecil dari pada membeli baru setiap kali rusak. Tp toh tetap tidak dilakukan. Contoh lain, saya pernah mendengar bahwa dana pemeliharaan ITB (yang dibangun dengan pinjaman ratusan juta dollar) hanya sekitar 80 juta setahun sehingga hampir tidak ada perbaikan suatu waktu ketika ITB memutuskan dana itu dipakai untuk memperbaiki kolam renang. Maaf, ini sedikit berbau isu memang. Tp tingkat kemampuan pemeliharaan ITB bisa dilihat dari WC pria lantai I labtek VIII Departemen Teknik Elektro.
Ini ditambah mental markup. Markup bisa dua cara. Cara yang pertama, harga jadi tinggi. Kalau begini maka biaya meningkat dan mungkin PLTN menjadi tidak ekonomis. Cara kedua, barang dibeli 3 diaku 4. Coba misalkan anda memanjat menara GSM yang tingginya 50-100meter itu. Hitung semua sekrupnya. Lengkap atau tidak? Jangan salah, harga sekrup itu lumayan kalau dikumpulkan.
Tp yah.. mungkin untuk mengisi PLTN ini akan dipanggil orang-orang berbeda, dengan semangat dan kedisiplinan tingkat tinggi. Jadi tidak akan ada masalah.
Nah, alasan yang paling penting buat saya adalah mental pemerintah dan swasta besar (yang memang umumnya besar di jaman Orba karena KKN). Coba kita lihat kasus Lapindo, dan kita analogikan dengan masalah PLTN.
Misalkan suatu hari, hari H, PLTN kita mengalami musibah kebocoran.
H+1, pihak PLTN sibuk menyangkal berita kebocoran.
H+3, pihak PLTN mengakui ada kebocoran, tp hal itu bisa diatasi dan tidak perlu ditakutkan.
H+14, setelah ratusan orang mati dan ribuan lainnya mengalami gangguan kesehatan, pihak PLTN mengakui bahwa permasalahannya ternyata lebih besar dari yang mereka duga sebelumnya.
H+21, pemerintah turun tangan dan membentuk timnas. Kebetulan ketua Badan Pengawas Nuklir Indonesia naik karena disponsori oleh Komisaris PLTN. Rumah sakit-rumah sakit menolak merawat korban radiasi dengan alasan ketiadaan peralatan yang memadai.
H+30, timnas memperkirakan bencana bisa diatasi dalam 3 bulan. Sementara itu pemerintah merundingkan siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini.
H+2 bulan. Pemerintah mengusulkan anggaran penanggulangan dimasukkan ke dalam APBN. DPR menolak karena hal ini seharusnya merupakan tanggung jawab dari pihak PLTN.
H+5 bulan. PLTN bersedia membayar ganti rugi. Tetapi terjadi kesulitan karena semua korban sudah mati sementara pihak PLTN berkeras bahwa semua korban harus mendaftarkan diri secara langsung dengan menunjukkan kartu identitas.
dan seterusnya.
So now you know why I disagree with Nuclear Power in Indonesia...
4 Comments:
At 10:43 AM , Anonymous said...
Tadinya aku agak setuju dengan nuklir tapi kemudian berubah pikiran spt apa yg ditulis ama elo dhit.
Majalah Tempo edisi tahun baru juga memuat seorang wanita (aduh namanya lupa) yang memperjuangkan hidro-electric di pedesaan, selain untuk listrik ternyata juga meningkatkan perekonomian rakyat karena yang memelihara adalah mereka sendiri.
Balik soal KRL dana peremajaan gerbong itu kalo gak salah setara dengan dana membangun tunnel di Austria. Bayangkan betapa kayanya kita ini kalau pintar mengelola apa yg sudah ada. Di jepang sendiri gerbong-gerbong tua sekarang disulap untuk wisata yg apik dan menguntungkan.
At 11:39 AM , Anonymous said...
Bagi sebagian negara berkembang, teknologi nuklir seolah menjadi hal yang menjanjikan, baik sebagai solusi pemenuhan kebutuhan energi maupun sebagai simbol penguasaan teknologi. Sayangnya, anggapan ini tidak selalu benar. Cerita pengalaman buruk beberapa negara berkembang dalam membangun PLTN dapat dibaca di infoenergi.wordpress.com.
At 3:09 AM , Anonymous said...
Mas Dhita Yudhistira ikut sumbang pendapat. Saya komentari point per point ya.
Mas DY : Prinsipnya, saya orang yang akan selalu memilih solusi yang ramah lingkungan walau pun biayanya lebih tinggi. Apakah PLTN lebih tidak ramah lingkungan? Belum tentu. Kalau PLTN digantikan oleh PLT bertenaga batu bara atau BBM, dengan daya yang sama gas CO/CO2 yang terbuang ke atmosfir akan jauh lebih sedikit menggunakan PLTN.
CH : Mas Yudis, konsep penggunaan energinya perlu disepakati dulu, berdasarkan PP No 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi nuklir diharapkan bisa masuk kedalam system Jawa-Bali dengan total suplay energi sebesar 2 % hingga tahun 2025 untuk membantu energi lainnya dalam memenuhi kebutuhan listrik di masa yang akan datang. Jadi jelas bukan untuk menggantikan fossil fueled power plant, tetapi membantu mengurangi penggunaannya untuk menghemat cadangan yang ada. Faktanya, I don’t want to say that, but it’s true, produksi batubara dan minyak bumi Indonesia cenderung menurun, sedangkan demand naik terus. PLTN bukan satu-satunya sumber energi yang harus dikembangkan. Geothermal misalnya harus bisa berkontribusi sebanyak 5 %, solar, wind and biomass sekitar 3%. Namun yang jelas, untuk pasokan base-load, pilihannya hanya terletak pada PLTN, PLTU/G, PLTA dan PLTP . PLTU sudah digenjot dengan crash program 10.000 MW dan PLTA untuk Jawa-Bali sudah jenuh, artinya tidak ada yang bisa dimanfaatkan lagi untuk sekala besar. Sementara PLTS dan PLTAngin tidak bisa diharapkan untuk mensuplay base load dikarenakan sifatnya yang tidak continue.
Mas DY : Dalam kasus ini, paling-paling menurut saya, kita masih punya sumber daya panas bumi dan air yang belum dimanfaatkan. Jadi kenapa harus pakai PLTN. Saya sih lihat para ahli nuklir itu seperti tukang aja, sesuai istilah: kalau kamu ahli menggunakan martil, semuanya terlihat seperti paku. Seolah-olah nuklir hanya satu-satunya solusi. Tapi mungkin ada hitung-hitungan lain.
CH : Betul mas, kita punya potensi cadangan energy geothermal yang sangat besar. Namun karakteristik dari energi ini, tidak berkumpul pada suatu tempat, ada di sumatera, jawa, bali, kalimantan dll. Sehingga harus banyak biaya yang dikeluarkan untuk explorasi diberbagai tempat. Untuk memenuhi target 5 % saja, pemerintah sudah harus bekerja dengan kerasnya.
Mas DY : Permasalahan kedua, buat saya. Orang Indonesia umumnya tidak akrab dengan teknik pemeliharaan. Kalau disuruh menghitung proyek pengadaan, pasti cepat keluar hasilnya. Tapi tidak pernah disertakan biaya ideal perawatannya tiap tahun.
CH : Sebelumnya mas perlu tahu karakteristik komponen biaya pada sebuah PLTN. Silakan baca link pada website saya : http://nuklir.info/OK/content/view/58/1/
Kesimpulannya, biaya investasi PLTN itu lebih tinggi, namun karena biaya O&M serta fuels nya lebih rendah, maka generating cost yang dihasilkan oleh PLTN menjadi kompetitif dibandingkan dengan PLTU atau PLTG. Nah salah satu point penting ketika kita akan pilih teknologi PLTN dari Negara yang sudah advanced adalah masalah knowledge of technology transfer nya. Dan tentu saja SDMnya akan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum dilakukannya pembangunan PLTN, atau minimal berbarengan dengan pembangunannya yang berkisar 8 tahun ( 2 tahun design, dan 6 civil works).
Mas DY : Tp yah.. mungkin untuk mengisi PLTN ini akan dipanggil orang-orang berbeda, dengan semangat dan kedisiplinan tingkat tinggi. Jadi tidak akan ada masalah. Nah, alasan yang paling penting buat saya adalah mental pemerintah dan swasta besar (yang memang umumnya besar di jaman Orba karena KKN). Coba kita lihat kasus Lapindo, dan kita analogikan dengan masalah PLTN.
CH : Oleh karena PLTN adalah isu seksi karena menyangkut kepentingan orang banyak, maka jika kita akan membangunnya, mari kita awasi dengan benar-benar, jangan sampai ada yang korupsi. KPK kita libatkan, transparansi ke public harus dilakukan. LSM dilibatkan dll. Saya pikir kita semua rakyat Indonesia akan dapat dengan mudah mengawasi kalau dilakukan bersama-sama, demi kebaikan kita juga.
Mas DY : Misalkan suatu hari, hari H, PLTN kita mengalami musibah kebocoran.
H+1, pihak PLTN sibuk menyangkal berita kebocoran.
H+3, pihak PLTN mengakui ada kebocoran, tp hal itu bisa diatasi dan tidak perlu ditakutkan.
CH : Segala sesuatu itu pasti ada resikonya. Begitu juga dengan PLTN. Probability bocornya tetap ada, tetapi sangat kecil sekali. Accident di Chernobyl adalah accident terburuk sepanjang sejarah, karena mereka tidak menggunakan prosedur pembangunan keselamatan PLTN (mainly its containment yang berfungsi untuk mencegah bocornya radiasi keluar bangunan). Event tersebut senantiasa mengingatkan industri nuklir untuk selalu mengutamakan safety. Nah sebelum kekhawatiran Mas Dhita diatas terjadi, maka perangkat safety dari PLTN masa kini sudah mampu beroperasi secara otomatis. Kalau mas pengen tahu animasinya, coba lihat disini : http://nuklir.info/OK/content/view/20/37/. Contohnya misalnya gempa dahsyat yang menimpa PLTN Kasiwazaki Kariwa Jepang tahun 2007 yang lalu. PLTN dapat shutdown secara otomatis, tanpa mengeluarkan radiasi yang membahayakan kepada public disekitarnya. Baca disini : http://nuklir.info/OK/content/view/25/36/
Saya sangat senang apabila bisa berdiskusi lebih lanjut dengan Mas Dhita. Untuk tambahan informasi Mas, silakan mengunjungi web saya http://www.nuklir.info atau web Indonesian Nuclear Society http://www.himni.or.id
Sukses selalu Mas Dhita,
Salam
Chairul Hudaya
At 2:37 AM , gonuklir said...
bicara mengenai nuklir memang syarat akan manfaat,nuklir itu luas sekali. aplikasinya dalam berbagai bidang sangat membantu sekali. mudah-mudahan masyarakat kita sadar akan manfaat ini
kita harus melihat permasalahn nuklir ini secara objektif,segala aspek ada positif negatif. ada yang menolak karena hanya melihat aspek negatifnya saja.
tapi manfaat nuklir itu sangant banyak.
mau bukti? kunjungi kami
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home