Non Botanic Botani-Square
Seiring dengan proses perubahan status beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN, perguruan-perguruan tinggi terkait kemudian tampaknya melakukan usaha-usaha untuk memperoleh pendapatan melalui bisnis. Orang selalu menyatakan bahwa tidak seharusnya perguruan tinggi berbisnis.
Terlepas dari perdebatan itu, saya koq melihat bahwa orang-orang (terutama pengurus kampus itu sendiri) melihat transformasi dari badan nirlaba ke badan yang semi-komersial semata dari mendapatkan untung. Maksud saya begini, beberapa hal penting yang seharusnya juga ada di perusahaan sering kali tidak digubris. Misalkan: transparansi, akuntabilitas, prinsip. Padahal hanya dengan cara inilah efisiensi dan efektivitas bisa dicapai. Tanpa itu semua, kemungkinan besar untung yang didapat mengorbankan hal-hal yang selayaknya tidak boleh dikorbankan.
ITB misalkan, waktu saya lulus sekitar tahun 2003 lalu, sedang mempersiapkan laporan keuangan untuk umum. Laporan keuangan pertama sejak Indonesia Merdeka. Itu langkah yang sangat baik. Tetapi setelah saya tidak lagi (kuliah) di ITB dan Pak Kusmayanto menjadi rektor, saya tidak tahu apakah laporan keuangan ini sudah bisa diakses sekarang.
Lain padang lain belalang. Menghadapi BHMN-isasi ini, IPB melakukan langkah-langkah yang cukup membelalakkan mata warga Bogor dan tampaknya jg civitas academicanya: pembangunan mal-mal di lahan-lahan milik IPB. Asrama Ekalokasari diubah menjadi Ekalokasari Plaza. Sedangkan di kampus utama Baranangsiang dibangun Botanic Square. Saya cukup sedih jg, mengingat saya dulu mengikuti UMPTN di bagian kampus yang turut tergusur. Mungkin di sekitar pintu utama Botanic Square sekarang.
Ah tetapi tulisan ini tidak untuk membahas kontroversi di sekitar pembangunan mal-mal tersebut. Saya hanya ingin menyampaikan keprihatinan saya. Apa yang anda bayangkan kalau mendengar kata 'botani' seperti di botanical garden? Taman yang rimbun dengan pohon-pohon besar? Ya, seharusnya begitu. Apalagi yang membangun IPB.
Anehnya koq bisa, Institut Pertanian Bogor membangun sebuah mal yang dinamakan Botani Square, tanpa sebatang pohon pun di dalamnya???? Tidak satu batang pohon pun di lapangan parkir. Dan bahkan tidak satu batang pohon pun di jalur hijau kecil sepanjang pagar yang mengelilinginya.
Kalau IPB saja sebagai institusi sudah tidak peduli, lalu siapa? Atau mungkin itu termasuk dalam tahap rencana yang belum dijalankan? Mudah-mudahan ini tidak termasuk dalam pengejawantahan,"Kaya di konsep, miskin di pelaksanaan."
Ini fotonya. Pepohonan yang terlihat di belakang itu adalah di luar kompleks Botani Square.
Terlepas dari perdebatan itu, saya koq melihat bahwa orang-orang (terutama pengurus kampus itu sendiri) melihat transformasi dari badan nirlaba ke badan yang semi-komersial semata dari mendapatkan untung. Maksud saya begini, beberapa hal penting yang seharusnya juga ada di perusahaan sering kali tidak digubris. Misalkan: transparansi, akuntabilitas, prinsip. Padahal hanya dengan cara inilah efisiensi dan efektivitas bisa dicapai. Tanpa itu semua, kemungkinan besar untung yang didapat mengorbankan hal-hal yang selayaknya tidak boleh dikorbankan.
ITB misalkan, waktu saya lulus sekitar tahun 2003 lalu, sedang mempersiapkan laporan keuangan untuk umum. Laporan keuangan pertama sejak Indonesia Merdeka. Itu langkah yang sangat baik. Tetapi setelah saya tidak lagi (kuliah) di ITB dan Pak Kusmayanto menjadi rektor, saya tidak tahu apakah laporan keuangan ini sudah bisa diakses sekarang.
Lain padang lain belalang. Menghadapi BHMN-isasi ini, IPB melakukan langkah-langkah yang cukup membelalakkan mata warga Bogor dan tampaknya jg civitas academicanya: pembangunan mal-mal di lahan-lahan milik IPB. Asrama Ekalokasari diubah menjadi Ekalokasari Plaza. Sedangkan di kampus utama Baranangsiang dibangun Botanic Square. Saya cukup sedih jg, mengingat saya dulu mengikuti UMPTN di bagian kampus yang turut tergusur. Mungkin di sekitar pintu utama Botanic Square sekarang.
Ah tetapi tulisan ini tidak untuk membahas kontroversi di sekitar pembangunan mal-mal tersebut. Saya hanya ingin menyampaikan keprihatinan saya. Apa yang anda bayangkan kalau mendengar kata 'botani' seperti di botanical garden? Taman yang rimbun dengan pohon-pohon besar? Ya, seharusnya begitu. Apalagi yang membangun IPB.
Anehnya koq bisa, Institut Pertanian Bogor membangun sebuah mal yang dinamakan Botani Square, tanpa sebatang pohon pun di dalamnya???? Tidak satu batang pohon pun di lapangan parkir. Dan bahkan tidak satu batang pohon pun di jalur hijau kecil sepanjang pagar yang mengelilinginya.
Kalau IPB saja sebagai institusi sudah tidak peduli, lalu siapa? Atau mungkin itu termasuk dalam tahap rencana yang belum dijalankan? Mudah-mudahan ini tidak termasuk dalam pengejawantahan,"Kaya di konsep, miskin di pelaksanaan."
Ini fotonya. Pepohonan yang terlihat di belakang itu adalah di luar kompleks Botani Square.
4 Comments:
At 11:39 AM , Anonymous said...
dhita...
IPB sekedar melanjutkan konsep pembangunan yg ada di Jakarta.
Contohnya, nama2 daerah: kebon nanas, kebon jeruk, kebon kopi n kebon kacang. Nah.. sampai cape elo nyariin tanaman2 tsb di daerah itu elo gak bakal nemu.
Nah.. botani itu jg cuma sekedar nama, yang penting square-nya itu..
yang artinya tempat gaul... hehehe
At 1:31 PM , Dhita Yudhistira said...
Iya jg ya Cus. Betul, betul.
At 11:17 PM , Tukang Ngebor said...
that's what happened when reality bites. :)
At 7:59 PM , Anonymous said...
iya juga ya pak
tapi gpp lah.
kan ke gramed jadi deket.
lagian di sebelahnya masih ada pohon kok pak.
jadi masih seger.
hehe
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home