Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, April 04, 2007

STPDN oh STPDN

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya sering bertemu dengan mahasiswa STPDN yang sekarang berubah nama menjadi IPDN. Pada waktu itu, entah bagai mana saya tidak terlalu menyukai mereka. Kesan saya mereka congkak dan angkuh. Walau bisa jadi ini hanya kasuistik, cerita bagai mana di saat antri ATM saja anak STPDN sering memotong antrian dan cerita-cerita lainnya cukup umum.

Bisa saja hal ini dilatarbelakangi oleh suasana di sekitar 90-an yang terasa sekali anti militer atau pun militerisasi. Selain STPDN, organisasi semacam Menwa juga kurang mendapat simpati dari mahasiswa pada umumnya. Tapi mungkin juga, ini sekedar sentimen dari saya melihat seragam mereka yang terlalu ketat. Entahlah.

Sampai beberapa tahun yang lalu, kalau tidak salah tahun 2003, kematian seorang praja STPDN mencuat ke tingkat nasional. Reaksi masyarakat luar biasa hebat. Saya ingat ketua alumni STPDN muncul di TV membela almamaternya," institusi mana lagi yang dalam waktu singkat bisa menghasilkan ribuan S2 dan bahkan S3?" Dia lupa (atau melupakan, atau kemungkinan besar memang tidak mampu berpikir sedemikian rupa) kalau beasiswa-beasiswa S2 dan S3 memang sengaja diberikan kepada lulusan STPDN sebagai jalur cepat di pemerintahan. Itu sama saja dengan misalkan tentara membela akademi militer dengan mengatakan, "institusi mana lagi yang bisa menghasilkan ratusan jenderal dan ribuan perwira?"

Setelah itu, seolah-olah STPDN berubah. Sampai muncul kembali berita tentang kematian praja
Cliff Muntu dari Sulawesi Utara. Anda mungkin tidak mendapat kesempatan merasakan anak anda mati dipukuli seniornya. Anda hanya bisa membayangkan. Tapi paling tidak, anda kemungkinan merasakan mempunyai camat yang dulu waktu sekolah sering memukuli yuniornya.

Di ITB dulu, sampai dengan pertengahan 90-an, OS juga dilaksanakan dengan sangat keras. Pameonya kira-kira sebagai berikut: doktrinasi yang terkenal sukses adalah gaya ABRI dan komunis, jadi (mahasiswa) ITB menggabungkan keduanya. Saya sebagai angkatan 96 tidak terlalu mengalaminya karena kasus meninggalnya Zaki, mahasiswa Fisika 95.

Sewaktu menjadi ketua kaderisasi dan ketua himpunan, saya mengalami beberapa kasus tentang kekerasan ini. Pada waktu itu, saya berkeras untuk mengurangi kekerasan dalam OS. Tetapi terjadi banyak hal. Ada peserta yang menabrak penjual sayur sampai meninggal setelah pulang dari OS (terlalu letih), padahal sudah dilarang bawa mobil. Ada peserta yang masuk rumah sakit, padahal acaranya hanya duduk diskusi. Ternyata memang dia sering kejang-kejang. Shit happens, istilahnya. Sampai saya waktu itu kadang berpikir,"Mendingan dikerasin sekalian kalau gini caranya..."

Tapi hal-hal seperti ini harus dievaluasi secara serius dan jujur. Tidak perlu ditutup-tutupi. Dalam kasus Zaki kalau tidak salah dia meninggal karena terlalu letih dan kondisi badannya lemah. Bukan lebam-lebam dipukuli. Dan kalau mau dibandingkan, yunior maupun senior sama-sama letih, bukannya senior hanya berleha-leha. Itu kalau tidak salah.

Yang lebih penting, sesungguhnya walaupun dari pihak Rektorat masih penuh curiga, mahasiswa ITB berubah tanpa tekanan dari Rektorat pun (walau mungkin tekanan itu mempercepat). Sekarang OS sudah sangat santai. Bahkan di elektro seolah tanpa OS. Waktu saya main ke ITB, saya dikenalkan sebagai,"Ini dia ketua himpunan jaman sering berkelahi di ITB dulu." Saya sampai terkejut. Terkejut senang karena sekarang sudah jarang ada kekerasan. Dan terkejut karena dituduh sering berkelahi. Elektro itu tidak pernah berkelahi. Dianiaya, lebih tepatnya.... Padahal di angkatan saya ketua unit Karate, Judi, Silat, dsb. adalah mahasiswa elektro. Tapi memang umumnya anak elektro tidak suka ribut-ribut.

Satu hal yang saya cermati. Ketika ada pihak-pihak yang menginginkan kekerasan yang lebih tinggi, hal tersebut diimbangi oleh pihak-pihak yang menginginkan sebaliknya. Saya ingat salah seorang teman saya, datang siap tempur dan mengatakan pada saya,"Nanti kalau mereka (yang mau keras) berkeras, kita sikat saja!"

Artinya suasana yang berkembang adalah suasana yang human, yang menginginkan sebuah kegiatan yang normal. Bila begitu keadaannya, bolehlah kita mengatakan bahwa pelaku kekerasan adalah oknum.

Tetapi di STPDN, kekerasan terjadi begitu sering. Bahkan 1-2 tahun lalu ada berita praja STPDN yang dipukuli seniornya (walau tidak sampai mati) ketika datang bersilaturahmi pada saat lebaran di kampung. Mereka betul-betul sudah gila. Selain itu kekerasan tampaknya dilakukan terlalu beramai-ramai. Artinya kekerasan sudah menjadi wabah, habitus, dan bukan kasuistik sifatnya.

Sejak tahun 90-an tercatat 10 kematian di STPDN terungkap. Artinya hampir 1-2 tahun sekali. Lebih edan lagi, ternyata dilaporkan sesungguhnya 35 kematian di STPDN sejak tahun 90-an. Artinya 2 per tahun. Ini ditambah dengan laporan 660 kasus free sex dari tahun 2000-2004. Artinya sekitar 115 per tahun atau 3 hari sekali. Coba anda bayangkan sekolah di tempat yang terjadi kasus 3 hari sekali. Ini kasus tercatat ya. Artinya ketahuan dan sesungguhnya dianggap bermasalah. Dan tidak satu pun yang dikeluarkan.

Dan setiap ada kasus, pejabat STPDN selalu mengatakan hal yang sama: kecolongan dan sebagainya. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari (anyway guru saya kencing berdiri dan saya juga berdiri, demikian juga mahasiswa saya).

Jadi saya kira sudah cukup. Bubarkan saja STPDN. Ubah kampusnya menjadi pabrik Tahu Sumedang terluas di Asia Tenggara.

3 Comments:

  • At 3:15 AM , Blogger Tukang Ngebor said...

    jd, elo ajarkan mahasiswi elo buat kencing berdiri dhit??
    ck..ck...ck... banjir tuh kamar mandi. :P

     
  • At 6:10 AM , Blogger Dhita Yudhistira said...

    Coba ya, ini komentar tidak berpendidikan banget. :p

     
  • At 7:49 PM , Anonymous Anonymous said...

    sampai sekarang masih beranggapan: OS tidak ada gunanya. Kalau mau bikin satu angkatan kompak, ada banyak cara, dari membuat semua mahasiswa tingkat satu tinggal di asrama sekitar kampus(seperti di NTU) atau membuat kelompok tutorial yang rutin ketemu untuk tiap mata kuliahnya (seperti yang umum di uni2 di UK).

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home