Susu Kapitalis...
Tertegun juga saya membaca berita di Kompas. Katanya para peternak sapi meminta agar harga susu tidak terlalu turun. Mereka mempermasalahkan perbedaan Rp 150,00 per kg. Saya baru memperhatikan, ternyata harga beli susu ke petani (oleh industri susu) adalah di kisaran Rp 3.500,00 per kg.
Baru siangnya, saya memeriksa harga susu anak saya. Per kaleng berisi 1 kg, harganya Rp 177.000,00. Tapi ini kan susu bubuk. Saya jadi ingin tahu, bagai mana cara mengkonversi ukuran 1 kg susu sapi murni menjadi susu kaleng.
Katakanlah, berat jenis susu setara air. Artinya kira-kira 1 kg memiliki volume 1 liter. Katakanlah lagi, setiap kali susu dikonsumsi sebanyak 1 gelas yaitu 200ml. Jadi 1 liter itu bisa untuk 5x konsumsi. Anak saya minum susu kira-kira juga sekitar 5x sehari. Dan habis sekitar 1 kaleng per 5-7 hari. Anggaplah 7 hari.
Jadi kalau menggunakan susu murni, maka biaya yang harus saya keluarkan adalah Rp 3.500,00 dikali 5 hari dikali 1 liter/hari = Rp 17.500,00. Sedangkan dengan menggunakan susu formula, biaya yang saya keluarkan adalah Rp 177.000,00.
Bukannya saya tidak mau membelikan anak saya susu mahal-mahal. Saya hanya ingin tahu, apa yang menyebabkan harga susu yang dikonsumsi anak saya sampai dengan 10x lipat. Apakah karena AA-DHA? Tambahan vitamin? Kaleng yang funky? Biaya marketing? Apalagi masih ada kalimat: industri pemroses susu lebih suka memakai susu impor yang harganya lebih murah.
Saya benar-benar merasa para petani susu berhak untuk mendapatkan harga yang lebih baik, yaitu di kisaran Rp 4.500,00 seperti yang mereka minta dan seperti yang telah dihitung oleh konsultan sebagai angka yang layak agar peternak sapi bisa hidup dengan baik.
Apakah ada yang bisa menjelaskan kepada saya, biaya produksi susu? Jangan-jangan ini seperti sepatu Nike yang dijual dengan harga 20x biaya produksi. Hanya saja, di ‘empat sehat lima sempurna’ tidak ada sepatu…
Saya jadi teringat, bayangan yang melintas di kepala saya bertahun-tahun yang lalu. Ketika mencari makan di Simpang, saya melihat iklan susu yang besar. Saya bertanya dalam hati, jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah konsumen bisa mendapatkan susu yang berkualitas? Dan apakah jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah harga susu akan lebih murah atau bahkan sebaliknya?
Apakah kapitalisme semacam ini memang memberikan kepada konsumen yang terbaik atau benarkah Bung Hatta yang menganjurkan koperasi? Apakah pemerintah perlu membentuk BUMN yang memproduksi susu (yang jika diperlukan) bersubsidi?
Kurang dari setahun yang lalu saya masih menanyakan pertanyaan yang sama kepada teman saya yang bekerja di produsen susu internasional.
Saya tetap belum mendapat jawaban.
Tapi ada artikel menarik yang bisa disimak
http://lita.inirumahku.com/health/lita/menyoal-harga-dan-suplementasi-aa-dha-di-susu-formula-bayi/
Baru siangnya, saya memeriksa harga susu anak saya. Per kaleng berisi 1 kg, harganya Rp 177.000,00. Tapi ini kan susu bubuk. Saya jadi ingin tahu, bagai mana cara mengkonversi ukuran 1 kg susu sapi murni menjadi susu kaleng.
Katakanlah, berat jenis susu setara air. Artinya kira-kira 1 kg memiliki volume 1 liter. Katakanlah lagi, setiap kali susu dikonsumsi sebanyak 1 gelas yaitu 200ml. Jadi 1 liter itu bisa untuk 5x konsumsi. Anak saya minum susu kira-kira juga sekitar 5x sehari. Dan habis sekitar 1 kaleng per 5-7 hari. Anggaplah 7 hari.
Jadi kalau menggunakan susu murni, maka biaya yang harus saya keluarkan adalah Rp 3.500,00 dikali 5 hari dikali 1 liter/hari = Rp 17.500,00. Sedangkan dengan menggunakan susu formula, biaya yang saya keluarkan adalah Rp 177.000,00.
Bukannya saya tidak mau membelikan anak saya susu mahal-mahal. Saya hanya ingin tahu, apa yang menyebabkan harga susu yang dikonsumsi anak saya sampai dengan 10x lipat. Apakah karena AA-DHA? Tambahan vitamin? Kaleng yang funky? Biaya marketing? Apalagi masih ada kalimat: industri pemroses susu lebih suka memakai susu impor yang harganya lebih murah.
Saya benar-benar merasa para petani susu berhak untuk mendapatkan harga yang lebih baik, yaitu di kisaran Rp 4.500,00 seperti yang mereka minta dan seperti yang telah dihitung oleh konsultan sebagai angka yang layak agar peternak sapi bisa hidup dengan baik.
Apakah ada yang bisa menjelaskan kepada saya, biaya produksi susu? Jangan-jangan ini seperti sepatu Nike yang dijual dengan harga 20x biaya produksi. Hanya saja, di ‘empat sehat lima sempurna’ tidak ada sepatu…
Saya jadi teringat, bayangan yang melintas di kepala saya bertahun-tahun yang lalu. Ketika mencari makan di Simpang, saya melihat iklan susu yang besar. Saya bertanya dalam hati, jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah konsumen bisa mendapatkan susu yang berkualitas? Dan apakah jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah harga susu akan lebih murah atau bahkan sebaliknya?
Apakah kapitalisme semacam ini memang memberikan kepada konsumen yang terbaik atau benarkah Bung Hatta yang menganjurkan koperasi? Apakah pemerintah perlu membentuk BUMN yang memproduksi susu (yang jika diperlukan) bersubsidi?
Kurang dari setahun yang lalu saya masih menanyakan pertanyaan yang sama kepada teman saya yang bekerja di produsen susu internasional.
Saya tetap belum mendapat jawaban.
Tapi ada artikel menarik yang bisa disimak
http://lita.inirumahku.com/health/lita/menyoal-harga-dan-suplementasi-aa-dha-di-susu-formula-bayi/
1 Comments:
At 1:40 PM , Raka said...
Hi...
cuma mau bilang: gw gak anonimous lagi ah kalau comment.... dah punya blog soalnya.... :D
(kecuali kalau emang pengen nge-junk :P).
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home