Peranan Ujian Akhir Nasional dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia dan Relevansinya dalam Mengikis Budaya Tidak Tahu Diri (hehehe)
Minggu kemarin dan minggu ini sedang berlangsung Ujian Akhir Nasional (UAN). UAN ini sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan setiap tahunnya selalu mengundang kontroversi. Banyak yang menentang, banyak yang mendukung.
Di tengah-tengah keributan itu, saya bertanya kepada Bapak saya bagai mana UAN pada jamannya. Apakah ada? Bapak saya bersekolah di tahun 50-60an. Jaman dengan sistem peninggalan Belanda, yang sering kali kita harus terima sebagai sistem yang dibuat oleh orang-orang waras.
Bapak saya bilang pada jamannya, UAN ada. Batas nilainya adalah 6. Ini artinya jauh lebih tinggi dari pada 4,5 untuk tahun ini. Jadi saya tanyakan kembali kepada Bapak saya, apakah orang-orang pada waktu itu tidak protes?
Bapak saya berhenti untuk berpikir, dan akhirnya menjawab,"Ya.... orang-orang jaman itu lebih tahu diri."
Beberapa tahun lalu saya mengajar pemrograman di sebuah universitas swasta di Bandung. Yang saya ceritakan ini tidak kemudian dapat dijadikan sampel umum tentang kualitas universitas itu, tetapi bisa menjadi contoh dari permasalahan yang menjadi dasar pemikiran saya sampai sekarang.
Di satu pertemuan awal, saya meminta mereka untuk membuat program perhitungan bunga bank. Kita masukkan nilai tabungan, kita masukkan suku bunga bank, kita masukkan lama tabungan, dan program akan mengeluarkan hasilnya.
Beberapa mahasiswa ternyata tidak bisa melakukannya. Mereka tidak bisa menghitung bunga bank secara manual. Mereka tidak dapat menghitung berapa yang akan mereka dapatkan kalau uang senilai 1000 ditabung 6 bulan dengan bunga 6% per tahun.
Ini adalah materi yang seharusnya (sesuai dengan kurikulum kita) bisa diselesaikan oleh seorang lulusan SMP. Lalu jika ini terjadi, apakah dosen harus mengulang materi-materi yang diperlukan?
Karena itu saya berpendapat, UAN diperlukan. Harus ada sebuah parameter untuk menguji apakah seseorang lulus atau tidak dari SMA. Dan saya heran di negara di mana anak harus tes membaca untuk masuk SD (yang sesungguhnya tidak boleh), banyak orang menentang UAN dengan alasan-alasan yang terdengar mulia.
Misalkan, UAN melupakan proses selama 3 tahun dan mengutamakan 3 hari ujian. Atau UAN hanya menguji hal-hal yang sifatnya teknis tapi melupakan hal-hal lain yang juga penting seperti moral, dsb.
Itu omong kosong. Kalau guru di sekolah sudah mengajar dengan baik maka proses akan berjalan baik selama 3 tahun dan 3 hari UAN tidak akan seperti pergi ke tiang gantungan. Jadi kalau sampai proses dilupakan, itu adalah tanggung jawab guru.
UAN juga memang hanya menguji sebagian dari yang sesungguhnya perlu diuji. Tapi itu masih lebih baik dari pada tidak ada yang diuji sama sekali. Atau anda dapat membuat metoda untuk menguji moral? Silakan diajukan untuk UAN. Tapi saya percaya itu belum ada.
Beberapa memprotes karena UAN diakukan pada saat kualitas pendidikan tidak merata. Justru dengan UAN kita tahu mana yang kualitasnya bagus mana yang tidak. Yang tidak baik bisa diperbaiki atau dibubarkan. Dengan demikian diharapkan bakal menjadi merata kualitasnya.
Mengapa ujian akhir harus dilakukan oleh pusat dan tidak diserahkan kepada masing-masing sekolah? Justru menurut saya saat ini sekolah menjadi bagian dari masalah. Selama ini toh memang sekolah yang memutuskan, dan hasilnya adalah kelulusan seratus persen bahkan untuk siswa yang mendapatkan nilai EBTANAS dengan rata-rata 3. Mungkin terlalu keras untuk dikatakan bahwa sekolah saat ini tidak bisa dipercaya. Nyatanya dalam UAN ini saja kita temui banyak sekolah yang berupaya untuk 'membantu' siswa-siswanya lulus.
Nah, permasalahan berikutnya adalah penyempurnaan sistem pendidikan itu. Tidak menguasai matematika, fisika, dan seterusnya bukanlah akhir dari dunia. Dengan tidak lulus UAN artinya siswa tidak bisa kuliah. Itu saja. Di negara-negara maju itu dihadapi dengan wajar. Siswa yang tidak menguasai sains mungkin memiliki bakat lain. Musik, misalkan. Inilah yang harus diberikan kesempatan untuk mengembangkannya.
Saya sendiri punya kecenderungan, UAN bisa dilakukan untuk semua kuliah. Tapi siswa tidak harus menempuh semuanya. Kalau mau kuliah di elektro misalkan, dia cukup mengambil matematika, fisika, bahasa Inggris. Kalau mau kuliah di seni rupa, dia bisa mengambil mata kuliah yang berkesesuaian.
Dulu pada jaman orde baru, para pejabat daerah tidak mau jika daerahnya disebut miskin. Mereka takut dianggap tidak berhasil. Di jaman reformasi, daerah miskin mendapatkan bantuan dana, dan pejabat daerah berlomba-lomba mengaku sebagai daerah miskin.
Mungkin perlu diumumkan bahwa sekolah-sekolah dengan hasil UAN jelek akan mendapatkan dana bantuan, dan kita lihat hasilnya.
Anyway, saya sering berpikir bahwa ketiadaan UAN selama ini juga yang membuat bangsa Indonesia tidak tahu diri. Yang seharusnya tidak lulus merasa berhak dan harus lulus. Akhirnya menjadi sifat. Yang menabrak di jalan karena melanggar peraturan malah marah-marah. Tidak tahu diri. Yang tidak mengerti mengaku pakar (kalimat ini tidak merujuk pada orang tertentu walaupun terlintas juga di pikiran saya... ). Tidak tahu diri.
Di tengah-tengah keributan itu, saya bertanya kepada Bapak saya bagai mana UAN pada jamannya. Apakah ada? Bapak saya bersekolah di tahun 50-60an. Jaman dengan sistem peninggalan Belanda, yang sering kali kita harus terima sebagai sistem yang dibuat oleh orang-orang waras.
Bapak saya bilang pada jamannya, UAN ada. Batas nilainya adalah 6. Ini artinya jauh lebih tinggi dari pada 4,5 untuk tahun ini. Jadi saya tanyakan kembali kepada Bapak saya, apakah orang-orang pada waktu itu tidak protes?
Bapak saya berhenti untuk berpikir, dan akhirnya menjawab,"Ya.... orang-orang jaman itu lebih tahu diri."
Beberapa tahun lalu saya mengajar pemrograman di sebuah universitas swasta di Bandung. Yang saya ceritakan ini tidak kemudian dapat dijadikan sampel umum tentang kualitas universitas itu, tetapi bisa menjadi contoh dari permasalahan yang menjadi dasar pemikiran saya sampai sekarang.
Di satu pertemuan awal, saya meminta mereka untuk membuat program perhitungan bunga bank. Kita masukkan nilai tabungan, kita masukkan suku bunga bank, kita masukkan lama tabungan, dan program akan mengeluarkan hasilnya.
Beberapa mahasiswa ternyata tidak bisa melakukannya. Mereka tidak bisa menghitung bunga bank secara manual. Mereka tidak dapat menghitung berapa yang akan mereka dapatkan kalau uang senilai 1000 ditabung 6 bulan dengan bunga 6% per tahun.
Ini adalah materi yang seharusnya (sesuai dengan kurikulum kita) bisa diselesaikan oleh seorang lulusan SMP. Lalu jika ini terjadi, apakah dosen harus mengulang materi-materi yang diperlukan?
Karena itu saya berpendapat, UAN diperlukan. Harus ada sebuah parameter untuk menguji apakah seseorang lulus atau tidak dari SMA. Dan saya heran di negara di mana anak harus tes membaca untuk masuk SD (yang sesungguhnya tidak boleh), banyak orang menentang UAN dengan alasan-alasan yang terdengar mulia.
Misalkan, UAN melupakan proses selama 3 tahun dan mengutamakan 3 hari ujian. Atau UAN hanya menguji hal-hal yang sifatnya teknis tapi melupakan hal-hal lain yang juga penting seperti moral, dsb.
Itu omong kosong. Kalau guru di sekolah sudah mengajar dengan baik maka proses akan berjalan baik selama 3 tahun dan 3 hari UAN tidak akan seperti pergi ke tiang gantungan. Jadi kalau sampai proses dilupakan, itu adalah tanggung jawab guru.
UAN juga memang hanya menguji sebagian dari yang sesungguhnya perlu diuji. Tapi itu masih lebih baik dari pada tidak ada yang diuji sama sekali. Atau anda dapat membuat metoda untuk menguji moral? Silakan diajukan untuk UAN. Tapi saya percaya itu belum ada.
Beberapa memprotes karena UAN diakukan pada saat kualitas pendidikan tidak merata. Justru dengan UAN kita tahu mana yang kualitasnya bagus mana yang tidak. Yang tidak baik bisa diperbaiki atau dibubarkan. Dengan demikian diharapkan bakal menjadi merata kualitasnya.
Mengapa ujian akhir harus dilakukan oleh pusat dan tidak diserahkan kepada masing-masing sekolah? Justru menurut saya saat ini sekolah menjadi bagian dari masalah. Selama ini toh memang sekolah yang memutuskan, dan hasilnya adalah kelulusan seratus persen bahkan untuk siswa yang mendapatkan nilai EBTANAS dengan rata-rata 3. Mungkin terlalu keras untuk dikatakan bahwa sekolah saat ini tidak bisa dipercaya. Nyatanya dalam UAN ini saja kita temui banyak sekolah yang berupaya untuk 'membantu' siswa-siswanya lulus.
Nah, permasalahan berikutnya adalah penyempurnaan sistem pendidikan itu. Tidak menguasai matematika, fisika, dan seterusnya bukanlah akhir dari dunia. Dengan tidak lulus UAN artinya siswa tidak bisa kuliah. Itu saja. Di negara-negara maju itu dihadapi dengan wajar. Siswa yang tidak menguasai sains mungkin memiliki bakat lain. Musik, misalkan. Inilah yang harus diberikan kesempatan untuk mengembangkannya.
Saya sendiri punya kecenderungan, UAN bisa dilakukan untuk semua kuliah. Tapi siswa tidak harus menempuh semuanya. Kalau mau kuliah di elektro misalkan, dia cukup mengambil matematika, fisika, bahasa Inggris. Kalau mau kuliah di seni rupa, dia bisa mengambil mata kuliah yang berkesesuaian.
Dulu pada jaman orde baru, para pejabat daerah tidak mau jika daerahnya disebut miskin. Mereka takut dianggap tidak berhasil. Di jaman reformasi, daerah miskin mendapatkan bantuan dana, dan pejabat daerah berlomba-lomba mengaku sebagai daerah miskin.
Mungkin perlu diumumkan bahwa sekolah-sekolah dengan hasil UAN jelek akan mendapatkan dana bantuan, dan kita lihat hasilnya.
Anyway, saya sering berpikir bahwa ketiadaan UAN selama ini juga yang membuat bangsa Indonesia tidak tahu diri. Yang seharusnya tidak lulus merasa berhak dan harus lulus. Akhirnya menjadi sifat. Yang menabrak di jalan karena melanggar peraturan malah marah-marah. Tidak tahu diri. Yang tidak mengerti mengaku pakar (kalimat ini tidak merujuk pada orang tertentu walaupun terlintas juga di pikiran saya... ). Tidak tahu diri.
1 Comments:
At 10:23 PM , Anonymous said...
wah, pasti merujuk ke Roy Suryo nih..
pakar loh dia itu..
pakar tepu...
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home