Jargon
Pemimpin
Ada yang terbelit karena mencoba mewujudkan jargon yang terlalu rumit. Soekarno misalkan, dengan nasakom-nya. Entah kapan orang beragama dan orang komunis berdiri bahu membahu di Indonesia.
Yang lainnya memakai jargon sebagai pemanis dan tutup mata walau pun jargon sangat berbeda dengan kenyataan. Misalkan, kota Bandung Berhiber (bersih, hijau, berbunga) yang tetap dipertahankan walaupun sampah menggunung, pohon ditebang, dan bunga jelas-jelas susah dicari.
Ada juga yang memilih jargon tanpa targetan yang jelas. Misalkan,”Bersama Kita Bisa”. Tidak ada kejelasan bersama siapa dan bisa apa.
Jaman Orde Baru, jargon yang dipakai adalah stabilitas. Dan polanya, dipakai secara membabi-buta untuk sesuatu yang tidak ada hubungannya. Protes tanah digusur dianggap mengganggu stabilitas. Kampanye untuk parpol dianggap mengganggu stabilitas. Dan sebagainya.
Selain itu jargon ini juga dikawal dengan falsafah-falsafah yang maknanya diselewengkan. Misalkan, kalau tanah kita akan digusur maka ditekankan,”Kepentingan umum di depan kepentingan pribadi”, sementara jelas-jelas konglomerat menggusur untuk kepentingan pribadi.
Nah, keseluruhannya didoktrinasi dengan berbagai macam cara. Salah satu yang paling terkenal adalah penataran P4. Sebelumnya ini dilaksanakan dengan pola 100 jam. Artinya 2 minggu sekitar 8 jam setiap harinya. Pada masa saya masuk kuliah diubah menjadi 50 jam. Seminggu penuh.
Pada waktu itu, hampir tidak ada mahasiswa yang tidak sinis dengan pemerintah. Penataran ini menjadi ramai ketika dosen yang memberikan materi adalah seorang ‘vokalis’.
Pancasila sebagai sebuah falsafah, dikerdilkan (menurut saya) dengan adanya yang disebut sebagai butir-butir Pancasila (37 dan terus bertambah). Ketimbang merenungi Pancasila melalui penghayatan sejarah dan contoh kasus sehari-hari, dengan butir-butir ini Pancasila menjadi bahan hafalan belaka. Akhirnya Pancasila menjadi bahan sinisme, sesuatu yang sangat saya sesalkan.
Celakanya, ternyata butir-butir itu meleset dari aslinya. Coba misalkan kita ambil sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Apa yang ada di pikiran anda pengamalannya? Bahwa sebagai manusia kita harus adil, dan beradab. Tidak boleh memukuli orang lain, mengkasari pembantu, dan seterusnya. Bukan begitu? Coba saja lihat butirnya:
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban hak asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan social, warna kulit dan sebagainya
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa delira
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
- Berani membela kebenaran dan keadilan
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia
- Mengembangkan sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain
Baru kira-kira tahun 2005 saya mengetahui, bahwa yang dimaksud Soekarno (sebagai penggali Pancasila) dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah Internasionalisme. Bahwa sebagai bangsa Indonesia bercita-cita untuk berdiri sejajar dan sama tinggi dengan bangsa lain dalam suasana yang penuh kemitraan, dalam kecepatan penuh mengejar kemajuan.
Ajaib kan, perbedaannya? Walau ada butir ke-9 dan 10, titik beratnya sudah bergeser jauh. Pantas selama bertahun-tahun saya mencari-mencari ke mana hilangnya internasionalisme dalam piagam Jakarta.
Yang menjadi korban lainnya adalah filsafat Jawa. Misalkan kalau kita tidak mau membuka kasus korupsi orang tua atau atasan kita, maka itu dianggap sebagai,”Mikul dhuwur mendem jero”.
Kacau.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home