Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, August 15, 2007

DCA dengan Singapura

Setelah berbulan-bulan, kontroversi tentang DCA dengan Singapura belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Untuk mengingatkan saja, perjanjian ini berisi pengaturan 2 masalah. Yang pertama adalah perjanjian ekstradisi buronan Indonesia dari Singapura. Yang kedua adalah diperbolehkannya pemakaian sebagian wilayah Indonesia oleh Singapura dengan pengaturan dari pihak Indonesia. Sebagai kompensasinya, Singapura akan membangun pusat latihan modern (dan mahal) di Riau untuk dipakai bersama dengan TNI dan menjadi milik Indonesia dalam 20 tahun.

Sebetulnya agak aneh kalau dua hal yang berbeda ini dijadikan satu perjanjian, sehingga kita dengan cepat menduga bahwa poin kedua adalah trade-off dari poin pertama. Sebagian besar menolak dengan alasan nasionalisme: wilayah kita tidak boleh dipakai oleh militer negara asing. Kita harus jadi tuan di negara sendiri. Sebagian lagi mendukung dengan alasan yang terdengar logis juga: latihan semacam ini sudah jalan dari dulu, Indonesia mengatur sepenuhnya, dan Indonesia membutuhkan tempat latihan untuk membina TNI yang profesional.
Saya punya beberapa catatan sendiri tentang ini.

Pertama, saya berkeyakinan walau pun Singapura tidak mendukung larinya buronan Indonesia ke Singapura, mereka diuntungkan dengan larinya uang panas ke sana. Dan saya kira Singapura tidak ambil pusing tentang asal uang itu. Sehingga, pada saatnya mereka akan enggan (hesitate) untuk melaksanakan ekstradisi. Atau paling tidak, mereka berkeyakinan bahwa pemerintahan Indonesia yang lamban (dan korup?) tidak akan mampu memanfaatkan fasilitas ini secara maksimal.
Kedua, saya merasa aneh kepada para anggota Dewan yang terhormat yang menolak dengan alasan nasionalisme. Ketika TNI kekurangan fasilitas (kapal dan pesawat udara) untuk mencegah penyelundupan, pencurian hasil laut, ketika tanah kita di sekitar Singapura dijual sehingga hanya tersisa air-nya (dari tanah air), ke mana nasionalisme mereka? Bukannya saya setuju kalau pesawat tempur Singapura terbang di Indonesia. Kalau keinginan saya malah, pesawat tempur Singapura bahkan tidak boleh terbang di Singapura. Tetapi nasionalisme sekarang bukan lagi nasionalisme jaman dulu, nasionalisme tiang bendera seperti selalu saya sebut. Kita kibarkan bendera dengan bendera, tali, tiang buatan Cina.

Ketiga, bagi yang mengatakan bahwa semuanya diatur oleh Indonesia, ini juga sedikit aneh. Kalau Indonesia hanya punya 10 F-16 dan 4 Sukhoi jalan (itu pun di Makasar dan Madiun), ketika Singapura datang bawa skuadron F 16 (blok C/D yang lebih maju dari blok A/B Indonesia), skuadron F 15 dan nantinya F 23, kita mau ngusir pakai apa? Anda bayangkan halaman rumah kita dipakai latihan oleh tentara bersenjata lengkap dengan mengatakan,"Kalau ada apa-apa nanti hansip kami akan mengusir anda semua". Maaf saya tidak bermaksud melecehkan TNI, tetapi kondisinya kira-kira begitu kalau untuk di udara.

Keempat, kalau pun tempat training itu sedemikian penting, yang mau kita latih apa? Seperti disebutkan di atas tadi kita hampir tidak punya pesawat. Latihan penembakan rudal dari kapal laut di selat Sunda terakhir gagal semua (satu tidak meluncur, satu tidak meledak, dst.). Buat Angkatan Darat anda bisa periksa berapa jumlah peluru yang mereka dapat buat latihan menembak setiap bulannya. Permasalahannya kemudian, ketika diserahterimakan 20 tahun lagi, bagai mana kondisi dari tempat latihan itu? Bayangkan,"Baik, saya beli komputer, kita pakai bersama, 20 tahun lagi boleh jadi milik anda."

Jadi bagai mana solusi sebaiknya?

Ini pendapat saya. Menurut saya sebaiknya kalau tempat latihan itu begitu penting, nilainya diuangkan saja. Katakanlah Singapura mau latihan di Indonesia, sewakan saja. Misalkan satu hari 1 juta dollar. Uangnya dipakai TNI latihan atau membeli ini-itu. Atau kalau ide ini dianggap terlalu berlebihan, ya sudahlah dibatalkan saja. Tetapi ada catatannya. TNI berhak menjadi profesional, dan TNI harus menjadi profesional. Karena itu, anggota Dewan yang nasionalis itu selain menolak DCA dengan Singapura harus juga mengeluarkan anggaran untuk TNI membeli peralatan dan membangun tempat latihan selain peningkatan kesejahteraan. Nah yang menarik, sampai sekarang kita tidak pernah mendengar, berapa sih sebetulnya biaya yang dikompensasikan oleh Singapura untuk membangun tempat latihan itu kira-kira?

Saya optimis dalam 10-20 tahun ke depan Indonesia sudah menjadi bangsa yang lebih makmur dan kuat (kalau belum bubar). Tapi ngomong-ngomong koq Presiden diam saja ya? Itu juga 3 opsi dari Tim evaluasi IPDN juga belum ada kabar lanjutnya. Sudah sempat mati 1 orang lagi. Lama ya...

1 Comments:

  • At 7:07 AM , Anonymous Anonymous said...

    kl gw nasionalisme, udah kelaut dari duluuuu, kl jadi rakyat kecil yg gak punya uang, apalagi tinggal diendonesa gak usah nasionalis-nasionalisan lahhhh.....:P

     

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home