Ujian Nasional (seharusnya) Tetap Ada
Maaf jika ini terlalu keras. Menurut saya, logika yang diajukan dalam menolak Ujian Nasional (UN) justru menunjukkan bobroknya pendidikan kita yang selama ini tanpa UN. Sebelum saya lanjutkan, tentu ada pertanyaan, apakah dengan UN akan berubah? Jawabannya: belum pasti. Tapi ada satu yang pasti: kalau kita bertahan dengan sistem orba (tanpa UN), hasilnya jelas bobrok dan akan bertambah bobrok.
Di posting sebelumnya saya bercerita tentang teman saya. Saya masih ingat namanya, dan saya masih ingat di mana dia duduk waktu EBTANAS SMP, di SMP Negeri 2 Cepu (Jawa Tengah). Dia duduk di barisan terdepan (yang jelas meluluhlantakkan rencananya untuk mencontek). Jadi ketika soal datang, dia tidak membukanya. Melihat ke depan, mengangkat tangan dan menjatuhkan ke lembar jawaban yang ada di meja. Kalau jarinya jatuh di pilihan A, maka dia pilih A. Jika dia jatuhkan di B, dia akan pilih B. dst.
Aneh? Ada yang lebih aneh, dia masih mendapat nilai. Sebetulnya ini tidak terlalu aneh, karena secara probabilitas, dia pasti akan mendapatkan nilai. Jadi ada satu hal yang paling aneh. Bahwa dia lulus? Tidak. Yang paling aneh adalah, bahwa tidak satu orang pun yang heran bahwa akhirnya dia lulus.
Lulus sekolah pada masa itu begitu mudahnya sehingga orang justru menjadi heran ketika ada yang tidak lulus. Anda boleh bolos ujian sambil tutup mata (teman saya di SMP), anda boleh tidak hadir lebih dari 60% (teman saya SMA), dan anda tetap lulus.
Di posting yang lain saya pernah bercerita, seorang mahasiswa (teknik) saya di Bandung tidak bisa menghitung bunga bank yang didapatkan jika menabung 3 tahun dengan rate 6%. Dan dia lulus SMA, masuk kuliah di jurusan teknik.
Apakah ini baik? Saya yakin tidak.Dan pemerintah saat ini sependapat dengan saya. Maka diadakanlah UN. Kemudian datanglah orang yang menentang UN, yang saya sebutkan di atas.
Pertama mereka datang dengan fakta bahwa murid-murid pintar di sekolah justru tidak lulus. Fakta dari mereka. Anda bisa memeriksa sendiri di sekolah-sekolah favorit: SMA 3 Bandung, 5 Bandung, Aloysius Bandung, 5 Surabaya, 1 Bogor, 8 Jakarta, 70 Jakarta, dst. Bagai mana tingkat kelulusan di sana? Jawabannya: baik. Hampir 100% atau 100% lulus. Jadi murid yang tidak lulus, memang bukan dari sekolah unggulan. Dan kalau ada murid pintar yang memang tidak lulus, kita kembali ke hukum alam yang memang sering terjadi pada orang baik: shit happens.
Bisa saja mereka sakit, bisa saja pensilnya palsu. Untuk itu, pemerintah memberikan UN susulan.
Kemudian para penentang UN datang lagi dengan alasan, UN menentang hak untuk mendapatkan pendidikan. Maksudnya, kalau anda ikut UN SMA dan tidak lulus, maka hak anda mendapat pendidikan (lanjut) menjadi hilang. Hak anda dirampas oleh negara.
Ini logika yang sangat ngawur. Kalau saya tes akabri dan tidak lulus, apakah hak saya dirampas? Jadi kalau begitu saya bisa menuntut pemerintah karena hak saya dirampas waktu tidak lulus tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil), misalkan?
Masalah hak asasi pendidikan ini memuakkan saya. Kalau anda lihat di TK-TK, anak TK sekarang diajari membaca karena ketika masuk SD mereka diuji membaca. Bahkan berhitung. Karena SD malas mengajari mereka. Hal ini, secara aklamasi diakui dunia pendidikan dan psikologi tidak baik bagi anak. TK tidak seharusnya mengajarkan membaca.
Dan tidak ada yang protes.
Kemudian, yang ketiga, penentang UN mengatakan, bahwa UN yang hanya 3 hari menafikan proses selama 3 tahun. Kalau anda ikut UN, dan tidak bisa mendapatkan nilai 4 (batas UN tahun lalu), proses apa sih sebetulnya yang ada di sekolah selama 3 tahun? Nol besar. Kalau selama 3 tahun benar-benar belajar, 3 hari itu tidak akan menjadi seperti itu.
Berikutnya, yang menarik, dikatakan bahwa UN hanya mengukur kemampuan matematika dan bahasa Inggris, tapi tidak mengukur akhlak dan tingkah laku, atau hal-hal lainnya.
Nah, mereka lupa. Bahwa kalau tidak ada UN, artinya justru tidak mengukur apa-apa. Garbage in, garbage out. Tukang tawuran, tukang minum, tukang ngobat, toh lulus juga. Kalau memang mereka merasa mampu mengukur akhlak, silakan saja dibikin ujiannya.
Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk membatalkan UN. Alasannya, pendidikan belum merata. Ini agak aneh juga. Kalau tidak ada UN dan terlihat bahwa sekolah-sekolah di daerah banyak yang gagal, dari mana kita tahu kalau pendidikan tidak merata? Justru itulah salah satu tujuan UN.
Dengan menyesal saya mengikuti keputusan pengadilan itu. Kita lihat apakah tahun depan UN masih ada.
2 Comments:
At 3:15 PM , Anonymous said...
kalo saya bukannya gak setuju dengan adanya UN itu. tapi menurut saya dibenahi dulu dong sistemnya baru membuat standarisasi ujian. betapa tidak adilnya, menyamakan SMA 8 jakarta dengan SMA 1 antahberantah.. toh lulusan sma 1 antahberantah itu rata2 g bakal lanjut ke universitas juga.. masalahnya, sekarang, untuk jadi spg toko aja minta lulusan sma. gmana mereka mo cari kerja??
btw, salam kenal kak, saya el'02 :)
At 3:35 PM , Dhita Yudhistira said...
Secara ideal, SMA 8 Jakarta dengan SMA 1 antahberantah harusnya sama kualitasnya. Dengan logika itu ujian nasional bisa diterima.
Kenyataannya kan tidak. Tapi kalau ujian nasional tidak ada, bagai mana kita mau bilang bahwa SMA 8 Jakarta dan SMA 1 antahberantah mutunya tidak sama?
Jadi ujian nasional memang harus ada.
Pertanyaan berikut tentunya, apakah kelulusan SMA harus berpatokan pada ujian nasional?
Sekarang kita ambil contoh. Berapakah 1/2 : 1/2 ? Kalau ada yang tidak bisa menyelesaikan soal di atas, setelah dia duduk 10 tahun di SMA pun, menurut anda dia bisa pegang ijazah SMA atau tidak?
Setelah UAN, perbaikan mutu bisa 2 cara: kucurkan dana habis-habisan atau bubarkan sekolah yang tidak memenuhi syarat.
Kalau pakai cara pertama, bisa-bisa sampai 1000 tahun lagi mutu SMA nggak memenuhi syarat. Karena lulusan SMA yang asal lulus besar kemungkinannya jadi anggota DPR.
Kita tidak perlu membohongi diri sendiri. Mengajukan data x% warga Indonesia lulusan SMA, padahal nggak bisa apa-apa.
Yang salah itu adalah yang minta ijazah SMA ketika merekruit penjaga toko. Jangan dibolak-balik masalahnya. Apalagi, ijazah SMA cuma jadi modal penjaga toko, ya justru salah satunya karena lulus SMA terlalu gampang. Coba yang lulus SMA cuma 2000 orang tiap tahun, pasti toko minta ijazah SMP.
Jalan tengahnya, bisa saja dibikin ujian seperti level A. Jadi kalau masalah lulus, bisa saja dari sekolah. Tapi dia harus tes ujian lagi untuk mata pelajaran yang dia mau ambil.
Skenarionya gini, ada orang yang lulus SMA dan pegang nilai A, B, atau C untuk ujian level A-nya (misalkan Fisika, Matematika, Biologi). Level-A yang diambil ya sesuai kemampuan dan minat (misalkan mau masuk elektro, kalau nggak salah harus bisa Fisika dan Matematika ya Mas?).
Dan ada juga lulus SMA tapi tidak lulus 1 ujian pun dari level A. Nah yang kedua inilah, yang jaga toko.
Btw ya, nggak lulus SMA nggak berarti cuma bisa jaga toko kan? Apa kurang sih contoh orang sukses yang nggak sekolah?
Terakhir jangan lupa, tujuan SMA memang untuk masuk universitas. Kalau nggak ke universitas, harusnya ngambil SMK. Jadi nggak bisa dibilang,"toh lulusan sma 1 antahberantah itu rata2 g bakal lanjut ke universitas juga'
Jangan salah, akhirnya sekarang ini kan muncul universitas antahberantah, untuk menampung potensi pasar dari alumni sma antahberantah itu. Setelah itu jadi bingung, akhirnya PII Indonesia susah diakui di ASIAN karena banyaknya universitas antahberantah (akhirnya disepakati yang diakui cuma akreditasi A, tapi ini kan jd merusak sistem).
Gitu dl deh. Ini jawaban koq kayaknya bisa jadi 1 entry blog lg.
Saya el'96 lho. Jd masih lebih mudah 94 tahun... :D
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home