Test Note
Tahu-tahu sebuah email masuk, notifikasi dari blogspot. Komentar dari Mas Hengky,’Saya belum bosan ngeblog.’ di posting saya yang berjudul,’Tidak, saya belum bosan ngeblog’.
Tidak jelas juga apa maksud Mas Hengky. Tapi saya simpulkan, bahwa Mas Hengky menyindir saya yang sudah jarang ngeblog. Saya buka blog saya, ternyata tanggal posting terakhir adalah 23 September 2009. Lama juga, hampir 2 bulan.
Ya, saya belum sempat ngeblog lagi. Ada beberapa alas an.
Pada dasarnya saya orang yang selalu bisa mencuri waktu. Deadline apa pun yang saya hadapi sejak dulu: ebtanas, umptn, tugas akhir, kepanitiaan, dsb., saya tetap selalu punya waktu untuk melakukan apa yang saya suka. Apakah itu membaca, main game, jalan-jalan, ngobrol dengan teman, dan sebagainya.
Sampai 6 minggu terakhir, saya diberi tanggung jawab untuk satu pekerjaan yang serius. Serius karena harus dikerjakan dengan serius, serius karena hasilnya juga sangat serius. Jadi selama 6 minggu saya pergi pagi dan pulang malam. Jam 7 sudah berangkat (paling lambat), jam 23 baru sampai rumah. Kadang-kadang memang tidak, tapi kurang lebih begitulah. Dan selama di sana juga tidak banyak main, terus menerus di depan komputer melakukan sesuatu.
Di akhir minggu, Sabtu, saya juga punya tanggung jawab lain yang harus diselesaikan. Thesis, yang kabarnya harus selesai Desember ini. Surat peringatannya sudah sampai ke rumah. Dan lagi-lagi, rumah ibu saya. Untung saja, ibu saya sudah pengalaman dengan surat begini sejak saya S1.
Selain itu ada beberapa pekerjaan lain yang antri, tidak dikerjakan karena memang membutuhkan saya secara fisik ada di sana, walau tidak terlalu intensif.
Jadi saya benar-benar kehabisan waktu. Dan cape. Bukannya saya tidak mengeluh. Tidak. Saya selalu ingat pesan orang tua saya,”Lebih baik kekurangan waktu dari pada kelebihan.” Saya kira itu benar sekali.
Yang kedua, sejak akhir pemilu 2009 kemarin, terlalu banyak yang terjadi. Anda yang membaca blog saya tentu tahu saya mendukung JK. Sampai sekarang saya masih ingin bertemu JK untuk sekedar ngobrol, walau dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Bukan saya bilang kepemimpinan SBY jelek, tidak. Hanya saya berpendapat JK bisa lebih baik. Dan lebih cepat tentunya… Tentu,ini hanya pendapat saya dan saya mungkin salah. Buktinya, 36% orang Indonesia tidak setuju dengan saya dan hanya 6% yang setuju (ingat, yang mencoblos hanya sekitar 60%, dan dari angka itu SBY mendapat 60% dan JK 10%).
Yang saya tidak menyangka, bahwa efek dari kalahnya dukungan saya di pemilu terasa dengan cepat sekali, bahkan dimulai ketika pasangan Presiden-Wakil Presiden baru belum dilantik.
Kasus KPK, kasus Mbak Minah, kasus Prita, dan sebagainya. Saya merasa tidak punya pemerintah. Seakan-akan kita hanya segerombolan orang yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan masing-masing sibuk mencari selamat sendiri.
Apakah kalau JK presidennya lebih baik? Seperti yang saya bilang di atas, saya mungkin salah. Tapi saya pikir begitu. Bagi anda yang berpikir saya menjelek-jelekkan SBY, saya ingatkan bahwa saya tidak bermaksud demikian. Saya menulis justru karena harapan saya pada SBY. Karena SBY masih akan memerintah kita 5 tahun lagi, dan dari hati saya yang paling dalam saya mendoakan beliau berhasil dengan nilai setinggi-tingginya.
Kembali ke kasus-kasus di atas. Saya sering kali heran bagai mana orang-orang yang duduk di pemerintahan gampang lupa dengan pemikiran-pemikiran yang sebetulnya menjadi dasar dari kebijaksanaan mereka sendiri.
Contoh sederhana, busway. Sekarang kita bisa lihat, bahwa setiap kali jalanan macet berat, maka jalur busway dibuka. Kendaraan pribadi boleh masuk. Alasannya,”Supaya kemacetan tidak terlalu parah.” Padahal sudah jelas, bahwa busway dibangun dengan ratusan milyar rupiah supaya kita punya jalur bus yang tidak macet. Se-Jakarta boleh macet, tapi busway jangan.
Kasus yang sama juga terjadi dengan KPK. KPK mau dibatasi kewenangannya. UU penyadapan mau diatur. Kalau menyadap harus ijin pengadilan. “Seperti di negara-negara luar,” katanya,”setiap penyadapan di mana pun pasti begitu.”
Koq kayaknya lupa, kalau KPK itu di Indonesia dibentuk justru karena sebagian besar sudah tidak percaya lagi dengan institusi-institusi hokum yang lain. Malah minta ijin. Nanti, kalau indeks persepsi Indonesia sudah mendekati Singapura. Baru kita samakan prosedur dengan negara lain.
Mbak Minah mengambil kakao beberapa biji, dipenjara 2 bulan. Anda bayangkan, koruptor-koruptor yang mengambil puluhan milyar tidak pernah ada yang kena lebih dari 5 tahun. Yang dicuri Mbak Minah nggak sampai 100 ribu.
Apakah salah, orang mencuri kakao dipenjara? Tidak, kalau saja pencuri-pencuri besar juga. Inti dari hukum adalah penciptaan rasa keadilan dalam masyarakat.
Tapi memang dengar-dengar, Mbak Minah terlibat urusan KPK. Karena waktu ditanya, buat apa dia mengambil kakao, Mbak Minah menjawab,”Untuk bibit…”
Ngomong-ngomong Bibit. Waktu mendengarkan pidato SBY setelah rekomendasi tim 8, saya melihat Bibit mendengarkannya di rumahnya. Yang saya perhatikan, Bibit menonton pidato itu di sebuah tv 14 inch. Cembung. Bibit itu eks Kapolda saudara-saudara. Saya bahkan nggak punya tv cembung di rumah. Selain itu, mejanya mengingatkan meja nenek saya ketika saya liburan dl waktu SD.
Saya bingung juga, apa mungkin Bibit nonton di rumah pembantunya? Mungkin rekan-rekan wartawan bisa menjawab.
Kayaknya gitu dl deh. Pusing…
Tidak jelas juga apa maksud Mas Hengky. Tapi saya simpulkan, bahwa Mas Hengky menyindir saya yang sudah jarang ngeblog. Saya buka blog saya, ternyata tanggal posting terakhir adalah 23 September 2009. Lama juga, hampir 2 bulan.
Ya, saya belum sempat ngeblog lagi. Ada beberapa alas an.
Pada dasarnya saya orang yang selalu bisa mencuri waktu. Deadline apa pun yang saya hadapi sejak dulu: ebtanas, umptn, tugas akhir, kepanitiaan, dsb., saya tetap selalu punya waktu untuk melakukan apa yang saya suka. Apakah itu membaca, main game, jalan-jalan, ngobrol dengan teman, dan sebagainya.
Sampai 6 minggu terakhir, saya diberi tanggung jawab untuk satu pekerjaan yang serius. Serius karena harus dikerjakan dengan serius, serius karena hasilnya juga sangat serius. Jadi selama 6 minggu saya pergi pagi dan pulang malam. Jam 7 sudah berangkat (paling lambat), jam 23 baru sampai rumah. Kadang-kadang memang tidak, tapi kurang lebih begitulah. Dan selama di sana juga tidak banyak main, terus menerus di depan komputer melakukan sesuatu.
Di akhir minggu, Sabtu, saya juga punya tanggung jawab lain yang harus diselesaikan. Thesis, yang kabarnya harus selesai Desember ini. Surat peringatannya sudah sampai ke rumah. Dan lagi-lagi, rumah ibu saya. Untung saja, ibu saya sudah pengalaman dengan surat begini sejak saya S1.
Selain itu ada beberapa pekerjaan lain yang antri, tidak dikerjakan karena memang membutuhkan saya secara fisik ada di sana, walau tidak terlalu intensif.
Jadi saya benar-benar kehabisan waktu. Dan cape. Bukannya saya tidak mengeluh. Tidak. Saya selalu ingat pesan orang tua saya,”Lebih baik kekurangan waktu dari pada kelebihan.” Saya kira itu benar sekali.
Yang kedua, sejak akhir pemilu 2009 kemarin, terlalu banyak yang terjadi. Anda yang membaca blog saya tentu tahu saya mendukung JK. Sampai sekarang saya masih ingin bertemu JK untuk sekedar ngobrol, walau dia sudah bukan siapa-siapa lagi. Bukan saya bilang kepemimpinan SBY jelek, tidak. Hanya saya berpendapat JK bisa lebih baik. Dan lebih cepat tentunya… Tentu,ini hanya pendapat saya dan saya mungkin salah. Buktinya, 36% orang Indonesia tidak setuju dengan saya dan hanya 6% yang setuju (ingat, yang mencoblos hanya sekitar 60%, dan dari angka itu SBY mendapat 60% dan JK 10%).
Yang saya tidak menyangka, bahwa efek dari kalahnya dukungan saya di pemilu terasa dengan cepat sekali, bahkan dimulai ketika pasangan Presiden-Wakil Presiden baru belum dilantik.
Kasus KPK, kasus Mbak Minah, kasus Prita, dan sebagainya. Saya merasa tidak punya pemerintah. Seakan-akan kita hanya segerombolan orang yang kebetulan tinggal di Indonesia, dan masing-masing sibuk mencari selamat sendiri.
Apakah kalau JK presidennya lebih baik? Seperti yang saya bilang di atas, saya mungkin salah. Tapi saya pikir begitu. Bagi anda yang berpikir saya menjelek-jelekkan SBY, saya ingatkan bahwa saya tidak bermaksud demikian. Saya menulis justru karena harapan saya pada SBY. Karena SBY masih akan memerintah kita 5 tahun lagi, dan dari hati saya yang paling dalam saya mendoakan beliau berhasil dengan nilai setinggi-tingginya.
Kembali ke kasus-kasus di atas. Saya sering kali heran bagai mana orang-orang yang duduk di pemerintahan gampang lupa dengan pemikiran-pemikiran yang sebetulnya menjadi dasar dari kebijaksanaan mereka sendiri.
Contoh sederhana, busway. Sekarang kita bisa lihat, bahwa setiap kali jalanan macet berat, maka jalur busway dibuka. Kendaraan pribadi boleh masuk. Alasannya,”Supaya kemacetan tidak terlalu parah.” Padahal sudah jelas, bahwa busway dibangun dengan ratusan milyar rupiah supaya kita punya jalur bus yang tidak macet. Se-Jakarta boleh macet, tapi busway jangan.
Kasus yang sama juga terjadi dengan KPK. KPK mau dibatasi kewenangannya. UU penyadapan mau diatur. Kalau menyadap harus ijin pengadilan. “Seperti di negara-negara luar,” katanya,”setiap penyadapan di mana pun pasti begitu.”
Koq kayaknya lupa, kalau KPK itu di Indonesia dibentuk justru karena sebagian besar sudah tidak percaya lagi dengan institusi-institusi hokum yang lain. Malah minta ijin. Nanti, kalau indeks persepsi Indonesia sudah mendekati Singapura. Baru kita samakan prosedur dengan negara lain.
Mbak Minah mengambil kakao beberapa biji, dipenjara 2 bulan. Anda bayangkan, koruptor-koruptor yang mengambil puluhan milyar tidak pernah ada yang kena lebih dari 5 tahun. Yang dicuri Mbak Minah nggak sampai 100 ribu.
Apakah salah, orang mencuri kakao dipenjara? Tidak, kalau saja pencuri-pencuri besar juga. Inti dari hukum adalah penciptaan rasa keadilan dalam masyarakat.
Tapi memang dengar-dengar, Mbak Minah terlibat urusan KPK. Karena waktu ditanya, buat apa dia mengambil kakao, Mbak Minah menjawab,”Untuk bibit…”
Ngomong-ngomong Bibit. Waktu mendengarkan pidato SBY setelah rekomendasi tim 8, saya melihat Bibit mendengarkannya di rumahnya. Yang saya perhatikan, Bibit menonton pidato itu di sebuah tv 14 inch. Cembung. Bibit itu eks Kapolda saudara-saudara. Saya bahkan nggak punya tv cembung di rumah. Selain itu, mejanya mengingatkan meja nenek saya ketika saya liburan dl waktu SD.
Saya bingung juga, apa mungkin Bibit nonton di rumah pembantunya? Mungkin rekan-rekan wartawan bisa menjawab.
Kayaknya gitu dl deh. Pusing…