Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, April 25, 2007

Menonton Nagabonar

Saya sebetulnya sudah lupa film Nagabonar. Satu-satunya yang saya ingat adalah waktu Nagabonar meratapi si Bujang,"Sudah kubilang kau jangan bertempur..."

Tetapi waktu tahu Nagabonar 2 akan dibuat, sekitar tahun lalu, saya betul-betul bersemangat. Dan cukup lama sampai akhirnya film ini betul-betul masuk di bioskop. Saya tidak terlalu sering nonton bioskop. Mungkin 2-3 bulan sekali. Dan hampir tidak pernah film Indonesia.

Yang sering saya tonton biasanya film Hollywood. Kalau ini saya kira semua orang juga melakukannya. Terasa pantas untuk membayar semahal tiket bioskop untuk menonton film Hollywood.

Dan film Hongkong. Kalau yang ini dimulai sekitar 15 tahun lalu di Cepu. Di sana bioskop cuma 1000 sekali nonton, saya bisa mentraktir teman-teman nonton tanpa harus banyak berpikir. Seringnya film Hongkong.

Film India, pernah sekali. Kutch Kutch Hutahea. Di 21 BIP Bandung. Waktu itu film ini belum ngetop. Saya dan Agus Hermanto menunggu hujan di BIP dan memutuskan nonton. Hampir saja dibatalkan karena penontonnya cuma 6. Saya tidak tahu apa yang lebih memalukan waktu itu, bahwa saya menonton film India, atau bahwa saya menonton berdua dengan seorang cowok.

Film Indonesia, memang sudah pernah. Tapi rasanya yang terakhir itu Lupus atau Dono Kasino Indro, sekitar tahun 1992. Wow, 15 tahun. Ngomong-ngomong, saya baru satu kali saja mimpi buruk setelah nonton film. Film itu adalah film Dono-Kasino-Indro. Yang ceritanya mereka mencari anak hilang di hutan dan dikejar-kejar pocong. Malamnya saya mimpi dikejar pocong.

Hanya saja waktu film Nagabonar keluar, saya merasa harus menonton di bioskop. Agar menjadi box office. Supaya film seperti ini banyak diproduksi dan film Indonesia tidak berisi setan dan kuntilanak melulu. Saya dorong juga kakak dan orang tua saya menonton di bioskop. Bahkan saya umumkan di kantor bagi yang mau mentonton Nagabonar, ditanggung oleh kantor (yah.. murah sih dan orang kantor saya cuma 5, jangan ditanggapi dengan pemikiran saya semurah hati itu).

Dan film ini betul-betul bagus. Saya tidak bisa mereviewnya. Anda harus nonton! Jangan lupa beli juga DVD-nya. Kita dukung film nasional!

Peranan Ujian Akhir Nasional dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia dan Relevansinya dalam Mengikis Budaya Tidak Tahu Diri (hehehe)

Minggu kemarin dan minggu ini sedang berlangsung Ujian Akhir Nasional (UAN). UAN ini sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan setiap tahunnya selalu mengundang kontroversi. Banyak yang menentang, banyak yang mendukung.

Di tengah-tengah keributan itu, saya bertanya kepada Bapak saya bagai mana UAN pada jamannya. Apakah ada? Bapak saya bersekolah di tahun 50-60an. Jaman dengan sistem peninggalan Belanda, yang sering kali kita harus terima sebagai sistem yang dibuat oleh orang-orang waras.

Bapak saya bilang pada jamannya, UAN ada. Batas nilainya adalah 6. Ini artinya jauh lebih tinggi dari pada 4,5 untuk tahun ini. Jadi saya tanyakan kembali kepada Bapak saya, apakah orang-orang pada waktu itu tidak protes?

Bapak saya berhenti untuk berpikir, dan akhirnya menjawab,"Ya.... orang-orang jaman itu lebih tahu diri."

Beberapa tahun lalu saya mengajar pemrograman di sebuah universitas swasta di Bandung. Yang saya ceritakan ini tidak kemudian dapat dijadikan sampel umum tentang kualitas universitas itu, tetapi bisa menjadi contoh dari permasalahan yang menjadi dasar pemikiran saya sampai sekarang.

Di satu pertemuan awal, saya meminta mereka untuk membuat program perhitungan bunga bank. Kita masukkan nilai tabungan, kita masukkan suku bunga bank, kita masukkan lama tabungan, dan program akan mengeluarkan hasilnya.

Beberapa mahasiswa ternyata tidak bisa melakukannya. Mereka tidak bisa menghitung bunga bank secara manual. Mereka tidak dapat menghitung berapa yang akan mereka dapatkan kalau uang senilai 1000 ditabung 6 bulan dengan bunga 6% per tahun.

Ini adalah materi yang seharusnya (sesuai dengan kurikulum kita) bisa diselesaikan oleh seorang lulusan SMP. Lalu jika ini terjadi, apakah dosen harus mengulang materi-materi yang diperlukan?

Karena itu saya berpendapat, UAN diperlukan. Harus ada sebuah parameter untuk menguji apakah seseorang lulus atau tidak dari SMA. Dan saya heran di negara di mana anak harus tes membaca untuk masuk SD (yang sesungguhnya tidak boleh), banyak orang menentang UAN dengan alasan-alasan yang terdengar mulia.

Misalkan, UAN melupakan proses selama 3 tahun dan mengutamakan 3 hari ujian. Atau UAN hanya menguji hal-hal yang sifatnya teknis tapi melupakan hal-hal lain yang juga penting seperti moral, dsb.

Itu omong kosong. Kalau guru di sekolah sudah mengajar dengan baik maka proses akan berjalan baik selama 3 tahun dan 3 hari UAN tidak akan seperti pergi ke tiang gantungan. Jadi kalau sampai proses dilupakan, itu adalah tanggung jawab guru.

UAN juga memang hanya menguji sebagian dari yang sesungguhnya perlu diuji. Tapi itu masih lebih baik dari pada tidak ada yang diuji sama sekali. Atau anda dapat membuat metoda untuk menguji moral? Silakan diajukan untuk UAN. Tapi saya percaya itu belum ada.

Beberapa memprotes karena UAN diakukan pada saat kualitas pendidikan tidak merata. Justru dengan UAN kita tahu mana yang kualitasnya bagus mana yang tidak. Yang tidak baik bisa diperbaiki atau dibubarkan. Dengan demikian diharapkan bakal menjadi merata kualitasnya.

Mengapa ujian akhir harus dilakukan oleh pusat dan tidak diserahkan kepada masing-masing sekolah? Justru menurut saya saat ini sekolah menjadi bagian dari masalah. Selama ini toh memang sekolah yang memutuskan, dan hasilnya adalah kelulusan seratus persen bahkan untuk siswa yang mendapatkan nilai EBTANAS dengan rata-rata 3. Mungkin terlalu keras untuk dikatakan bahwa sekolah saat ini tidak bisa dipercaya. Nyatanya dalam UAN ini saja kita temui banyak sekolah yang berupaya untuk 'membantu' siswa-siswanya lulus.

Nah, permasalahan berikutnya adalah penyempurnaan sistem pendidikan itu. Tidak menguasai matematika, fisika, dan seterusnya bukanlah akhir dari dunia. Dengan tidak lulus UAN artinya siswa tidak bisa kuliah. Itu saja. Di negara-negara maju itu dihadapi dengan wajar. Siswa yang tidak menguasai sains mungkin memiliki bakat lain. Musik, misalkan. Inilah yang harus diberikan kesempatan untuk mengembangkannya.

Saya sendiri punya kecenderungan, UAN bisa dilakukan untuk semua kuliah. Tapi siswa tidak harus menempuh semuanya. Kalau mau kuliah di elektro misalkan, dia cukup mengambil matematika, fisika, bahasa Inggris. Kalau mau kuliah di seni rupa, dia bisa mengambil mata kuliah yang berkesesuaian.

Dulu pada jaman orde baru, para pejabat daerah tidak mau jika daerahnya disebut miskin. Mereka takut dianggap tidak berhasil. Di jaman reformasi, daerah miskin mendapatkan bantuan dana, dan pejabat daerah berlomba-lomba mengaku sebagai daerah miskin.

Mungkin perlu diumumkan bahwa sekolah-sekolah dengan hasil UAN jelek akan mendapatkan dana bantuan, dan kita lihat hasilnya.

Anyway, saya sering berpikir bahwa ketiadaan UAN selama ini juga yang membuat bangsa Indonesia tidak tahu diri. Yang seharusnya tidak lulus merasa berhak dan harus lulus. Akhirnya menjadi sifat. Yang menabrak di jalan karena melanggar peraturan malah marah-marah. Tidak tahu diri. Yang tidak mengerti mengaku pakar (kalimat ini tidak merujuk pada orang tertentu walaupun terlintas juga di pikiran saya... ). Tidak tahu diri.

Thursday, April 19, 2007

Kejutan dari Akademi Kepolisian

Sore ini saya mendengar kabar yang cukup mengejutkan. Untuk mendaftar menjadi Taruna Akademi Polisi (Akpol), tahun ini disyaratkan gelar S1. Kemungkinan disebabkan oleh keinginan POLRI untuk meningkatkan kualitas anggotanya.

Pada posting-posting sebelumnya, saya mendapatkan komentar yang menentang pembubaran atau peleburan Pendidikan Keprofesian seperti STPDN, STAN, dsb. Beberapa alasannya antara lain, dikarenakan dikelola sendiri oleh user, maka lulusannya biasanya lebih siap pakai.

Tentu saja saya setuju dengan pendapat tersebut. Pendidikan profesi sesungguhnya adalah pendidikan spesialis. Namun saya tetap menyatakan bahwa sebaiknya pendidikan-pendidikan tersebut disesuaikan sesuai dengan UU Sisdiknas 2003.

Menurut UU tersebut, yang berhak menyelenggarakan pendidikan bergelar adalah Perguruan Tinggi (biasa), dan institusi semacam ini harus dikelola oleh Depdiknas. Nah, dengan mengacu pada UU Sisdiknas 2003, ada dua macam penyelesaian: pembubaran/peleburan atau pendidikan profesi lanjutan.

Yang dimaksud dengan pendidikan lanjutan adalah pendidikan lanjutan bagi pegawai negeri yang sudah diterima. Dengan pola seperti ini, misalkan, pemerintah daerah bisa merekrut sarjana dari perguruan tinggi umum dan memberikan pendidikan lanjutan (1, 2, 3 tahun?) di STPDN. Tentu saja pola seperti ini akan jauh berbeda dengan pola yang sekarang.

Masih banyak alasan untuk melaksanakan pola tersebut, untuk sementara tidak saya bahas di sini. Cukup saya katakan keyakinan saya bahwa dengan pola ini akan dihasilkan orang-orang yang lebih siap pakai dari pada yang telah diklaim selama ini.

Saya memberikan salut kepada kepolisian yang telah berani merubah tradisi puluhan tahun. Indonesia membutuhkan orang-orang yang berani mengintrospeksi diri sendiri. Mudah-mudahan ini bisa bertahan, mengingat penentangan yang pasti keras sekali.

Tuesday, April 10, 2007

Komentar (lagi) Tentang STPDN

Teman saya bertanya, kenapa saya kekeuh (berkeras) untuk merubah STPDN menjadi pabrik tahu Sumedang. Saya katakan pada dia, tahu sumedang mungkin terlihat sepele. Tapi jauh lebih penting dari pada STPDN.

Sebetulnya saya sudah malas menulis. Tapi ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan.

Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, sudah dinyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan semacam STPDN itu seharusnya ditiadakan. Pilihannya bisa dibubarkan atau dilebur dengan universitas negeri. Apa tepatnya yang tidak 'direstui' oleh Sistem Pendidikan Nasional:
1. Keberadaan lembaga pendidikan di bawah departemen selain Depdiknas (dalam kasus ini Depdagri)
2. Lembaga profesi setingkat D3 atau pun S1. Dalam UU dinyatakan bahwa pendidikan profesi itu adalah tambahan setelah S1.

Dari pengaturan itu, idealnya kalau seseorang mau menjadi aparatur negara, dia bisa lulus dari FISIP dan mendapat pelatihan tambahan 1-2 tahun (di IIP, atau di mana saja).

Jadi sesungguhnya perlu atau tidaknya, bahkan boleh atau tidaknya STPDN/IPDN sudah pernah dibahas dan diputuskan dalam UU Sisdiknas sehingga perdebatan tentang hal tersebut tidak lagi relevan.

Tetapi pemerintah tutup mata terhadap UU Sisdiknas ini dan bertindak seolah-olah permasalahannya hanyalah kekerasan yang terjadi. Mengacu kepada UU Sisdiknas ini pula, ada satu hal lagi yang dilanggar oleh pemerintah: alokasi 20% dari anggaran untuk pendidikan, yang tidak pernah tercapai hingga tahun ini.

Anda pernah menonton film 'The Untouchables?"

Dalam film itu, setelah babak beluar memberantas mafia minuman keras, sang jagoan ditanya oleh wartawan,"Bagai mana kalau besok minuman keras dilegalkan?" Sang jagoan menjawab,"Maka saya akan minum bersama anda."

Negara hukum adalah negara yang mematuhi peraturan.

Btw barusan ada berita di detik.com yang tidak bisa saya kopi linkya, bahwa IPDN akan dijadikan di bawah depdiknas, dan calon prajanya minimal S1.

Kita lihat saja.

Wednesday, April 04, 2007

Kenangan di STPDN

Menulis tentang STPDN, saya jadi ingat kenangan di STPDN.

Teman saya Warih menikah di masjid STPDN. Kami semua Respati-ers (DeJeCe-ers) waktu itu cukup heboh karena Warih menikah pertama di antara kami. Jadi sore sebelumnya kami membeli seragam baju koko/muslim. Kalau tidak salah di Rabbani sebelah Unpad. Baju koko/muslim hijau muda itu masih ada sampai sekarang.

Jadi Sabtu pagi itu, dengan memakai baju koko hijau muda, celana panjang, sarung sepaha (gaya minang) dan tak lupa kaca mata hitam serta peci, kami hadir di pernikahan Warih (akad nikah). Dari parkir ke masjid, kami berpapasan dengan serombongan mahasiswa STPDN.

Faisal, teman saya yang baik itu, kebetulan adalah seorang yang sangat easy going. Sambil berpapasan dia mengucapkan,"Selamat pagi, bapak-bapak calon camat se-Indonesia." :))

Saya yakin, kalau gaya kami nggak nyentrik waktu itu, pasti sudah terjadi keributan. Tampaknya karena gaya nyentrik itu mereka ragu-ragu, jangan-jangan kami pejabat, anak pejabat atau sekedar pelarian dari RSJ.

Beberapa Alasan Membubarkan STPDN/IPDN

Alasan paling utama dari pembubaran STPDN/IPDN adalah kekerasan yang selalu (bukan kerap) terjadi di dalamnya. Senior memukuli yunior setiap ada kesempatan dengan berbagai justifikasi mulia seperti 'pembinaan'.

Saya perhatikan bahwa orang yang suka menindas ke bawah cenderung menjilat ke atas dan sebaliknya. Dan ini adalah karakter yang sangat umum di masyarakat (pemerintahan?) kita. Ini harus dibasmi, di mana STPDN tampaknya (melalui bukti kejadian-kejadian) menjadi sarang dari karakter ini. Kalau anda rajin mengamati cerita para orang tua, jaman dulu yang disebut perkelahian dan keberanian di sekolah adalah yunior yang berani melawan senior (tentunya karena kesalahan senior). Berbeda dengan sekarang di mana senior memukuli yunior tapi takut dengan yang lebih senior.

Kemudian, ini membuktikan bahwa mereka tidak bisa berubah, beradaptasi. Padahal Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu beradaptasi.

Selain itu ada beberapa alasan lain.
1. Sudah tidak saatnya ada pendidikan di luar pendidikan umum
Saya tidak punya dokumentasinya, tetapi beberapa tahun yang lalu negara ini pernah membahas tentang pendidikan di luar pendidikan umum. Termasuk di dalamnya adalah sekolah-sekolah negara: STPDN, STAN, dsb. Juga beasiswa-beasiswa lainnya. Hasilnya cukup mengejutkan (saya). Biaya pendidikan itu hampir sama besarnya dengan biaya pendidikan umum saat itu, yaitu yang dipakai untuk membiayai seluruh sekolah negeri dari SD sampai universitas.
Pada dasarnya, semua jurusan yang ada di institusi-institusi itu (kecuali polisi dan tentara tentunya) sudah ada di universitas negeri. Untuk STPDN misalkan, seharusnya bisa digantikan oleh FISIP. Kalau dirasakan ada kekurangan pada kurikulum FISIP, maka sebaiknya disesuaikan.

2. Jalur 'khusus' dari sekolah tertentu menyebabkan mafia
Ada beberapa kasus, misalkan STT Telkom untuk masuk PT. Telkom (walau sekarang tidak terlalu kuat lagi). Tapi di pemerintahan hampir pasti dimonopoli oleh lulusan STPDN. Bagi saya ini tidak baik. Tidak ada persaingan antar alumni, tidak ada perbedaan kultur dan warna. Sistem satu STPDN lebih cocok (atau mungkin memang dimaksudkan?) dengan jaman orba yang sentralistik (sentralnya siapa hayo?)

3. Militerisasi sipil sudah tidak jaman
Saya ingat penjelasan Rudini tentang alasan pendirian STPDN,"Pemimpin militer sudah disiplin, tetapi saya ingin pemimpin sipil juga bisa. Supaya ada kepemimpinan sipil yang kuat." Aneh sekali. Pertama, siapa yang bilang pemimpin militer berdisiplin? Kalau benar klaimnya, tidak akan ada tembak-menembak antara Polisi dan Tentara. Kedua, dia lupa kalau kepemimpinan sipil menjadi lemah karena selama orde baru kepemimpinan diambil alih oleh militer dan sisanya diinjak-injak.
Nah, permasalahan berikutnya, masyarakat yang ditemui nantinya bukanlah masyarakat militer dengan komando. Anda bisa memastikan 600 orang tentara mengerjakan seluruh instruksi dari komandannya. Namanya juga tentara. Tapi coba anda kirim instruksi warga RT untuk kerja bakti. Kepemimpinan sipil membutuhkan seni yang berbeda, walau sering kali tradisi di militer membantu.
Kemudian, jika kita mengamati, dengan mudah kita sampai pada kesimpulan, bahwa sipil yang dimiliterkan sering kali atau hampir selalu kebablasan: laskar-laskar di masyarakat, STPDN, dan sebagainya. Itu mungkin karena mereka sering ingin membuktikan mereka sama hebatnya atau bahkan lebih hebat. Jadi kira-kira begini pemikiran anak STPDN,"Di Akmil tuh cemen, kalau dipukul cuma sekali sehari. Coba nih di STPDN, bisa 2x sehari."
Kalau mau sipil yang kuat, sekalian dijadikan militer: jadi tentara cadangan, dapat pangkat, harus latihan periodik, bisa dipanggil sewaktu-waktu.

4. Pemerintahan perlu merekrut lebih banyak lulusan teknik
Beberapa waktu lalu dibahas di koran, di Indonesia pegawai pemerintahan hampir 80% adalah administrasi. Bandingkan dengan Cina yang lebih dari 50% adalah lulusan teknik. Saya tidak bermaksud menyombongkan bidang teknik kalau mengatakan: lulusan teknik lebih mudah mempelajari peraturan daerah dibandingkan lulusan sosial mempelajari pembangunan jalan dan jembatan. Tentu ada alasan kenapa S1 teknik boleh mengambil S2 administrasi/sosial sedangkan lulusan administrasi/sosial hampir tidak pernah mengambil S2 elektro misalkan.

5. Indonesia membutuhkan pabrik Tahu Sumedang Raksasa...

Rasanya cukup dulu deh. Takut juga saya dipukulin anak STPDN. Seperti biasa, ada juga lulusan STPDN yang tidak begitu. Saya pernah bertemu beberapa di antaranya. Dan kepada mereka saya mohon maaf.

STPDN oh STPDN

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya sering bertemu dengan mahasiswa STPDN yang sekarang berubah nama menjadi IPDN. Pada waktu itu, entah bagai mana saya tidak terlalu menyukai mereka. Kesan saya mereka congkak dan angkuh. Walau bisa jadi ini hanya kasuistik, cerita bagai mana di saat antri ATM saja anak STPDN sering memotong antrian dan cerita-cerita lainnya cukup umum.

Bisa saja hal ini dilatarbelakangi oleh suasana di sekitar 90-an yang terasa sekali anti militer atau pun militerisasi. Selain STPDN, organisasi semacam Menwa juga kurang mendapat simpati dari mahasiswa pada umumnya. Tapi mungkin juga, ini sekedar sentimen dari saya melihat seragam mereka yang terlalu ketat. Entahlah.

Sampai beberapa tahun yang lalu, kalau tidak salah tahun 2003, kematian seorang praja STPDN mencuat ke tingkat nasional. Reaksi masyarakat luar biasa hebat. Saya ingat ketua alumni STPDN muncul di TV membela almamaternya," institusi mana lagi yang dalam waktu singkat bisa menghasilkan ribuan S2 dan bahkan S3?" Dia lupa (atau melupakan, atau kemungkinan besar memang tidak mampu berpikir sedemikian rupa) kalau beasiswa-beasiswa S2 dan S3 memang sengaja diberikan kepada lulusan STPDN sebagai jalur cepat di pemerintahan. Itu sama saja dengan misalkan tentara membela akademi militer dengan mengatakan, "institusi mana lagi yang bisa menghasilkan ratusan jenderal dan ribuan perwira?"

Setelah itu, seolah-olah STPDN berubah. Sampai muncul kembali berita tentang kematian praja
Cliff Muntu dari Sulawesi Utara. Anda mungkin tidak mendapat kesempatan merasakan anak anda mati dipukuli seniornya. Anda hanya bisa membayangkan. Tapi paling tidak, anda kemungkinan merasakan mempunyai camat yang dulu waktu sekolah sering memukuli yuniornya.

Di ITB dulu, sampai dengan pertengahan 90-an, OS juga dilaksanakan dengan sangat keras. Pameonya kira-kira sebagai berikut: doktrinasi yang terkenal sukses adalah gaya ABRI dan komunis, jadi (mahasiswa) ITB menggabungkan keduanya. Saya sebagai angkatan 96 tidak terlalu mengalaminya karena kasus meninggalnya Zaki, mahasiswa Fisika 95.

Sewaktu menjadi ketua kaderisasi dan ketua himpunan, saya mengalami beberapa kasus tentang kekerasan ini. Pada waktu itu, saya berkeras untuk mengurangi kekerasan dalam OS. Tetapi terjadi banyak hal. Ada peserta yang menabrak penjual sayur sampai meninggal setelah pulang dari OS (terlalu letih), padahal sudah dilarang bawa mobil. Ada peserta yang masuk rumah sakit, padahal acaranya hanya duduk diskusi. Ternyata memang dia sering kejang-kejang. Shit happens, istilahnya. Sampai saya waktu itu kadang berpikir,"Mendingan dikerasin sekalian kalau gini caranya..."

Tapi hal-hal seperti ini harus dievaluasi secara serius dan jujur. Tidak perlu ditutup-tutupi. Dalam kasus Zaki kalau tidak salah dia meninggal karena terlalu letih dan kondisi badannya lemah. Bukan lebam-lebam dipukuli. Dan kalau mau dibandingkan, yunior maupun senior sama-sama letih, bukannya senior hanya berleha-leha. Itu kalau tidak salah.

Yang lebih penting, sesungguhnya walaupun dari pihak Rektorat masih penuh curiga, mahasiswa ITB berubah tanpa tekanan dari Rektorat pun (walau mungkin tekanan itu mempercepat). Sekarang OS sudah sangat santai. Bahkan di elektro seolah tanpa OS. Waktu saya main ke ITB, saya dikenalkan sebagai,"Ini dia ketua himpunan jaman sering berkelahi di ITB dulu." Saya sampai terkejut. Terkejut senang karena sekarang sudah jarang ada kekerasan. Dan terkejut karena dituduh sering berkelahi. Elektro itu tidak pernah berkelahi. Dianiaya, lebih tepatnya.... Padahal di angkatan saya ketua unit Karate, Judi, Silat, dsb. adalah mahasiswa elektro. Tapi memang umumnya anak elektro tidak suka ribut-ribut.

Satu hal yang saya cermati. Ketika ada pihak-pihak yang menginginkan kekerasan yang lebih tinggi, hal tersebut diimbangi oleh pihak-pihak yang menginginkan sebaliknya. Saya ingat salah seorang teman saya, datang siap tempur dan mengatakan pada saya,"Nanti kalau mereka (yang mau keras) berkeras, kita sikat saja!"

Artinya suasana yang berkembang adalah suasana yang human, yang menginginkan sebuah kegiatan yang normal. Bila begitu keadaannya, bolehlah kita mengatakan bahwa pelaku kekerasan adalah oknum.

Tetapi di STPDN, kekerasan terjadi begitu sering. Bahkan 1-2 tahun lalu ada berita praja STPDN yang dipukuli seniornya (walau tidak sampai mati) ketika datang bersilaturahmi pada saat lebaran di kampung. Mereka betul-betul sudah gila. Selain itu kekerasan tampaknya dilakukan terlalu beramai-ramai. Artinya kekerasan sudah menjadi wabah, habitus, dan bukan kasuistik sifatnya.

Sejak tahun 90-an tercatat 10 kematian di STPDN terungkap. Artinya hampir 1-2 tahun sekali. Lebih edan lagi, ternyata dilaporkan sesungguhnya 35 kematian di STPDN sejak tahun 90-an. Artinya 2 per tahun. Ini ditambah dengan laporan 660 kasus free sex dari tahun 2000-2004. Artinya sekitar 115 per tahun atau 3 hari sekali. Coba anda bayangkan sekolah di tempat yang terjadi kasus 3 hari sekali. Ini kasus tercatat ya. Artinya ketahuan dan sesungguhnya dianggap bermasalah. Dan tidak satu pun yang dikeluarkan.

Dan setiap ada kasus, pejabat STPDN selalu mengatakan hal yang sama: kecolongan dan sebagainya. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari (anyway guru saya kencing berdiri dan saya juga berdiri, demikian juga mahasiswa saya).

Jadi saya kira sudah cukup. Bubarkan saja STPDN. Ubah kampusnya menjadi pabrik Tahu Sumedang terluas di Asia Tenggara.