Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Friday, March 30, 2007

Semester Baru di IPB


Semester genap ini, di Diploma Teknik Komputer IPB saya diminta mengajarkan jaringan komputer. Jumlah mahasiswa yang diajar sekitar 130, dibagi dalam 2 kelas teori dan 4 kelas praktek. Jumlah yang cukup banyak. Untungnya Warih bersedia memberikan bantuannya. Jadi kelas kami bagi dua.

Umumnya, kuliah teknik komputer ini dilakukan dengan membahas TCP/IP, layering dan sebagainya. Saya sendiri lebih senang dengan hal-hal yang berbau praktis, dan saya pikir untuk diploma hal itu lebih tepat.

Jadi untuk kuliah ini lebih dititikberatkan pada praktek-praktek: pemasangan jaringan komputer, aplikasi berbasis jaringan komputer, routing, dsb. Dan tidak ada yang lebih menyenangkan dalam mengajar, selain menemui mahasiswa yang bersemangat dan gembira memperoleh ilmu.

Sementara mereka sibuk, saya menyempatkan diri mengambil beberapa foto.



Sudah 50 Posting? Wow

Waktu memulai blog ini saya bertanya-tanya apakah yang akan saya tuliskan. Tetapi ternyata sudah sampai 50 posting. Saya perhatikan, tulisan-tulisan saya jarang yang menceritakan kehidupan saya pribadi. Bahkan belum ada foto saya nih di blog. Apakah saya introvert? Mungkin juga ya. Yang jelas sering saya pikir, nggak pentinglah...

Saya cukup bersemangat kalau melihat statistik yang ada di bagian bawah blog saya bertambah. Walau saya tidak betul-betul tahu siapa yang sebetulnya membaca.

Jadi terima kasih sebanyak-banyaknya buat rekan-rekan yang membaca blog saya ini.

Friday, March 16, 2007

Non Botanic Botani-Square

Seiring dengan proses perubahan status beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN, perguruan-perguruan tinggi terkait kemudian tampaknya melakukan usaha-usaha untuk memperoleh pendapatan melalui bisnis. Orang selalu menyatakan bahwa tidak seharusnya perguruan tinggi berbisnis.

Terlepas dari perdebatan itu, saya koq melihat bahwa orang-orang (terutama pengurus kampus itu sendiri) melihat transformasi dari badan nirlaba ke badan yang semi-komersial semata dari mendapatkan untung. Maksud saya begini, beberapa hal penting yang seharusnya juga ada di perusahaan sering kali tidak digubris. Misalkan: transparansi, akuntabilitas, prinsip. Padahal hanya dengan cara inilah efisiensi dan efektivitas bisa dicapai. Tanpa itu semua, kemungkinan besar untung yang didapat mengorbankan hal-hal yang selayaknya tidak boleh dikorbankan.

ITB misalkan, waktu saya lulus sekitar tahun 2003 lalu, sedang mempersiapkan laporan keuangan untuk umum. Laporan keuangan pertama sejak Indonesia Merdeka. Itu langkah yang sangat baik. Tetapi setelah saya tidak lagi (kuliah) di ITB dan Pak Kusmayanto menjadi rektor, saya tidak tahu apakah laporan keuangan ini sudah bisa diakses sekarang.

Lain padang lain belalang. Menghadapi BHMN-isasi ini, IPB melakukan langkah-langkah yang cukup membelalakkan mata warga Bogor dan tampaknya jg civitas academicanya: pembangunan mal-mal di lahan-lahan milik IPB. Asrama Ekalokasari diubah menjadi Ekalokasari Plaza. Sedangkan di kampus utama Baranangsiang dibangun Botanic Square. Saya cukup sedih jg, mengingat saya dulu mengikuti UMPTN di bagian kampus yang turut tergusur. Mungkin di sekitar pintu utama Botanic Square sekarang.

Ah tetapi tulisan ini tidak untuk membahas kontroversi di sekitar pembangunan mal-mal tersebut. Saya hanya ingin menyampaikan keprihatinan saya. Apa yang anda bayangkan kalau mendengar kata 'botani' seperti di botanical garden? Taman yang rimbun dengan pohon-pohon besar? Ya, seharusnya begitu. Apalagi yang membangun IPB.

Anehnya koq bisa, Institut Pertanian Bogor membangun sebuah mal yang dinamakan Botani Square, tanpa sebatang pohon pun di dalamnya???? Tidak satu batang pohon pun di lapangan parkir. Dan bahkan tidak satu batang pohon pun di jalur hijau kecil sepanjang pagar yang mengelilinginya.

Kalau IPB saja sebagai institusi sudah tidak peduli, lalu siapa? Atau mungkin itu termasuk dalam tahap rencana yang belum dijalankan? Mudah-mudahan ini tidak termasuk dalam pengejawantahan,"Kaya di konsep, miskin di pelaksanaan."

Ini fotonya. Pepohonan yang terlihat di belakang itu adalah di luar kompleks Botani Square.


Kabut di Puncak



Banjir besar, kapal tenggelam, pesawat jatuh. Memang cuaca sedang jelek sekali. Beberapa minggu lalu waktu saya sedang parkir di lantai 4 sebuah gedung di Jakarta, ketika membuka pintu mobil saya pintu tersebut langsung terbanting membuka disapu angin.

Setiap Jumat sore, biasanya saya pergi ke Bandung. Selama paling tidak 6-8 minggu ini, tidak seperti biasanya, jika saya lewat sekitar pukul 4-5 sore di Puncak, kabut tebal turun. Dan penglihatan tidak lebih dari 15-25 meter.

Berikut foto-foto kabut di sekitar masjid At-ta'awun Puncak.

Tuesday, March 06, 2007

To Boldy Go Where No Man Has Gone Before


Saya penggemar berat Startrek. Asal tahu saja, semua teknologi ajaib yang ada di Startrek konon berdasarkan teori yang nyata. Paling tidak, yang dipercayai memungkinkan saat ini. Pemindahan materi ke tempat yang jauh misalkan, sedang diujicoba di Australia beberapa waktu lalu.

Jadi buat saya Startrek melebihi khayalan pengisi waktu luang. Startrek adalah harapan tentang masa depan. Cie cie.

Sayangnya TV di Indonesia tidak begitu akrab dengan Startrek. Mungkin dengan alasan yang jelas: film macam Ally Mc Beal kalah rating dengan sinetron Bawang Merah dan Bawang Putih. Apalagi Startrek. Jadi setelah Startrek Next Generation dan Deep Space Nine, Startrek:Voyager hanya sempat muncul sebentar di TV.

Tahun lalu, saya sempat melihat ada DVD serial Startrek terbaru di sebuah toko DVD (bajakan). Sayangnya si Mas berkeras saya harus membeli semuanya sekaligus. Itu kira-kira, 80rb. Waktu itu saya sedang bokek betul. Jd niat pembelian tidak pernah terlaksana. Sampai DVD itu hilang dari rak, dan bahkan penjualnya tidak ingat kalau dia pernah punya.

Tiba-tiba, sekitar satu bulan yang lalu, ketika sedang menonton tv sampai malam, saya terkejut melihat ada film Startrek di Indosiar. Saya sempat berpikir, ini mungkin rerun dari The Next Generation, atau salah satu dari versi layar lebarnya. Tapi saya betul-betul belum pernah lihat.

Dan ternyata, yes, memang inilah serial Startrek yang terbaru. Startrek: Enterprise. Bercerita tentang masa sebelum Kirk dan kawan-kawan, kira-kira 88 tahun setelah manusia bertemu Vulcan. Kira-kira tahun 2151 Masehi ceritanya. Jadi teknologi manusia masih cukup menyedihkan, dan tampak sekali bahwa dalam serial ini setiap ada apa-apa manusia kalah melulu.

Saya sering merasa bahwa kualitas ceritanya kalah dengan serial-serial sebelumnya. But it's ok. O ya bagi yang mau nonton, Selasa dini hari sekitar jam 1-2 (kalau malam saya tidak lihat jam lg) di Indosiar. Tampaknya sekali putar langsung 2 episode.

Yang saya terus bertanya-tanya. Kapan ya ada orang Melayu jadi kru Enterprise. Atau astronot beneranlah.

"Take her out ... straight and steady."




Monday, March 05, 2007

The Owl People

Teman saya Indres menyebutnya sebagai owl people. Orang-orang yang berenergi pada malam hari, bekerja di malam hari. Saya asumsikan bahwa yang dimaksudkan Indres adalah mereka yang memang tidur larut dan bangun 'agak' siang. Karena kalau tidur larut dan bangun tetap pagi, rasanya analogi dengan burung hantu koq kurang cocok. Mungkin energizer-bunny lebih tepat.

Saya terbiasa tidur agak malam sejak SMA. Waktu itu, saya sering nonton tv sampai malam, sekitar jam 12-01 malam. Akibatnya dengan susah payah saya harus diseret ke kamar mandi setiap pagi untuk sekolah.

Jadi saya sangat gembira waktu lulus SMA. Yang terpikir oleh saya waktu itu, kuliah masuk jam 9 (saya lihat di UI). Tapi di UI pun masih ada kelemahan. Rumah saya di Bogor sementara UI di Depok, jadi saya masih harus berangkat paling tidak jam 7. Sama saja.

Tentu bukan karena itu saya memutuskan masuk ITB. Sumpah! Masih banyak alasan menggelikan lainnya, saya kira tidak baik untuk dituliskan di sini. Cukuplah dikatakan: saya masuk ITB. Dan ternyata, di ITB kuliah paling pagi adalah jam 7! Alamak...

Tahun pertama saya masih bisa masuk tepat waktu. Waktu SMA selama 3 tahun saya hanya pernah terlambat 1 kali. Itu pun karena menginap di rumah teman dan kami berangkat terlambat. Jadi kolektif. Nah, di semester pertama kuliah pun, performansi saya hampir sama baiknya dengan waktu SMA. Bedanya hanya, kalau masuk pagi jam 7 di kuliah saya biasanya tidak mandi. Bandung masih cukup dingin waktu itu...

Nah, sementara itu, saya memupuk kebiasaan baru. Tidur lebih malam. Biasanya saya duduk di depan komputer atau meja belajar. Mengerjakan macam-macam, kecuali belajar. Sampai dengan jam 12, saya mendengarkan K-Lite (dulu di 107.2, sekarang di 107.1 FM). Setelah jam 12 K-Lite berhenti siaran, jadi saya pindah ke Ardan (dulu di 105.8, sekarang di 105.9 FM). Kecuali waktu Ardan nightmare sedang booming, saya mendengarkan Ardan Nightmare tiap malam Jumat.

TIBA-TIBA!!!! ... Eh, maksud saya, tiba-tiba tidur malam dan bangun agak siang menjadi kebiasaan. Btw, waktu awal kuliah MP3 belum musim. MP3 kalau tidak salah mulai agak banyak sekitar tingkat 3 (tahun 98). Komputer saya yang pentium 1 masih patah-patah kalau memainkan MP3. Bandingkan dengan HP jaman sekarang yang bisa memainkan MP3 sambil melakukan hal-hal lain. Mungkin di tingkat-tingkat akhir kuliah saya baru mulai sering mendengarkan MP3 di malam hari, kira-kira tingkat 6 dan 7 (lho, memangnya S1 itu sampai tingkat berapa ya???). O ya. Di tingkat 3 atau 4 itu juga ada fenomena aneh. Seorang anak Fisika angkatan 2000 mandi tiap harinya sebelum shalat subuh. Tidak usahlah kita bahas alasan kenapa dia harus mandi sebelum shalat subuh. Yang jelas, itu mematahkan dalih saya bahwa jam 6 terlalu dingin untuk mandi di Bandung. Pada saat itulah saya yakin saya tidak mandi memang sekedar karena saya malas.

Jaman-jaman itu adalah jaman yang masih cukup santai. Orang jarang pindah-pindah kanal, radio atau pun tv. Mungkin remote belum musim, yang jelas saya belum punya. Radio saya dituning secara manual dengan jarum yang menunjukkan frekuensi. Jarum-nya setebal 1 mili, padahal 5 Megahertz paling diwakili oleh beberapa mili saja. Bayangkan kesulitannya. Kalau mengganti kanal, saya harus mendengarkan beberapa menit (sampai penyiarnya bicara atau ada jingle) untuk memastikan stasiunnya memang benar yang saya maksud.

Setelah lulus, kebiasaan itu hilang. Tampaknya karena saya pindah kost, dan di tempat kos yang baru (bareng Faisal di Kawaluyaan) tidak ada meja komputer di kamar. Saya masih tidur malam, tapi saya tidak mendengarkan lagu lagi.

Jadi dua malam ini, ketika saya sedang lembur mrogram (ya ya, saya bisa mrogram), saya memutuskan untuk mendengarkan MP3. Kebetulan tadi sore Mas Adit mengirimkan lagu Lenggang Puspita-nya Achmad Albar (really, it's a great song). Baru saya sadari MP3 di laptop saya tidak banyak. Tetapi masih ada beberapa yang cukup jadul.

Misalkan, Just the Way You Are-nya Barry White. Saya nggak pernah bosan dengan lagu ini. Atau Can't Fight This Feeling-nya REO Speed wagon. Aduuh....

Anyway, ada lagu True Love-nya Fujiyama (Fujiyama siapa gituh). Ini kalau tidak salah soundtrack dr sinetron waktu sinetron Jepang sedang musim-musimnya di TV kita. Selama bertahun-tahun saya pengen tahu arti dari liriknya. Sekarang setelah teman-teman banyak yang kuliah di Jepang, mungkin ada yang berbaik hati mau membantu?

Kekerasan dan Kebebasan Berpikir

Setelah hampir 9 tahun reformasi, ternyata saya masih merasakan hambatan untuk menuliskan permasalahan ini. Ada rasa tidak nyaman dan tidak aman, sesuatu yang saya kira merupakan jejak orde baru dalam diri saya, ketika menuliskan tema yang berikut.

Tetapi malam ini, ketika membaca di detik, saya memutuskan untuk menuliskannya.

Sekitar tahun 2000-2001, rombongan rekan-rekan teknik elektro dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar berkunjung ke ITB dan menanyakan pendapat saya tentang tema hangat yang muncul saat itu: usul dari Presiden Aburrachman Wahid untuk mencabut ketetapan yang melarang ajaran komunisme di Indonesia.

Pendapat saya waktu itu, tidak berubah sampai sekarang: kita tidak bisa, dan karenanya tidak perlu melarang manusia untuk berpikir.

Beberapa berargumen, bahwa komunis adalah ajaran yang menghalalkan kekerasan. Tapi dari sejarah dan dari apa yang terjadi kita tahu, bahwa orang yang menentang komunisme pun melakukan kekerasan.

Itu juga terjadi misalkan, terhadap aliran agama yang 'menyimpang'. Kasus Ahmadiyah sebagai contoh. Kita melihat bagai mana tempat mereka diserbu dan dibakar. Beberapa orang mungkin menjadi korban kekerasan.

Bagi saya, orang beragama yang melakukan kekerasan sama tidak baiknya dengan orang tidak beragama yang melakukan kekerasan atau pun orang beragama menyimpang yang melakukan kekerasan. Karena itu, yang harus dilarang adalah kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun, atas alasan apa pun.

Lalu bagai mana jika mereka menyebarluaskan kepercayaannya? Lho bukankah kita juga berusaha untuk menyebarluaskan apa yang kita percaya? Dan ini akan menjadi sebuah dialektika. Misalkan kita berdiskusi dan kalah, itu adalah dorongan agar kita belajar lagi (kalau tetap tidak mau mengakui bahwa lawan diskusi kita benar). Beberapa hal memang perlu diatur: penyebaran pada anak-anak di sekolah, misalkan.

Bagai mana jika mereka menang (menjadi mayoritas, pada akhirnya)? Itu resiko yang harus diambil. Tetapi kita harus ingat lagi, bahwa hidup ini adalah masalah proses, bukan menang atau kalah. Walau bukan ahli agama, saya yakin betul bahwa Islam menghargai proses melebihi apa pun. Kita boleh kalah, tetapi itu tetap mendapat ganjaran jika dilakukan dengan tetap memperhatikan kaidah. Itu sebabnya kita mengutuk bom pembunuh massal, bom bunuh diri, dan juga seharusnya, orang-orang yang membakar dan menyerang orang lain atas nama agama.

Saya ingin menuliskan bagai mana pergulatan pemikiran memenuhi sejarah umat manusia dan bagai mana saya melihat kecenderungan bahwa kemajuan secara umum dicapai oleh bangsa-bangsa yang (pada masanya) memiliki iklim kebebasan berpikir. Termasuk di jaman kejayaan Islam. Juga bagai mana pelarangan terhadap ajaran komunisme berpengaruh terhadap Indonesia dalam 40 tahun terakhir ini. Topik-topik yang sangat menarik tetapi saya merasa belum punya cukup bahan dan pengertian. Mudah-mudahan di lain waktu.