Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Saturday, June 30, 2007

Bogor Cyberpark

Salah satu hal yang mengganggu saya sejak pertama kali mendengarnya adalah pembangunan Bogor Cyberpark.

Bogor Cyberpark dibangun di Bogor dengan niat memajukan IT di Indonesia. Saya kutip terlebih dahulu dari situs resminya:

PROFIL BOGOR CYBER PARK
Sasaran BOGOR CYBER PARK adalah akan disediakannya fasilitas Teknologi Komunikasi & Informasi untuk sektor pemerintahan dengan suatu tujuan untuk memberi nilai tambah untuk Bogor sebagai pusat mengembangan ICT di Indonesia, khususnya dalam pengembangan e-Government.

VISI PROYEK
Memberikan total solusi telematika bagi pemerintah Indonesia, dalam rangka turut serta mengembangkan dan mengimplementasikan e-Government di Indonesia.

TARGET PROYEK
Target proyek ini adalah agar pemerintah dapat bersedia kapan saja, dimana saja, dan dapat diakses oleh siapapun yang ingin mengaksesnya. Sebagai tambahan, pemerintah menjadi satu dengan warganegara melalui jaringan Bogor Cyber Park. Ini akan membuat seluruh pemerintahan di Indonesia menjadi suatu pemerintahan yang mampu mengetahui segala sesuatu melalui informasi masyarakat.


Sounds good. Jadi apa yang menggangu saya? Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa proyek ini sudah menghabiskan Rp 50 Milyar untuk pembangunan fisik awalnya saja.

Saya tidak sejalan dengan konsepnya di mana pembangunan fisik selalu dijalankan terlebih dahulu. Terlebih lagi jika harus dibiayai oleh hutang. Saya kira banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah tanpa harus membangun tempat semacam ini.

Misalkan untuk training IT. Training IT cukup dilakukan di daerah-daerah, dengan mengirimkan orang jika perlu. Mengirim 1 orang instruktur ke daerah jelas lebih murah dari pada mengirim 10 orang peserta ke Bogor. Apalagi kalau di Bogor harus dibangun gedung terlebih dahulu.

Untuk pengembangan industri IT. Pemberian insentif akan jauh lebih efektif. Misalkan dengan pengurangan atau penghapusan pajak sama sekali untuk perusahaan IT. Saat ini banyak perusahaan IT yang tidak berjalan dengan legal krn umumnya IT entrepreneur merasa malas untuk mengurus legalisasi. Efeknya, proses menginvetarisir perusahaan IT sebagai awal dari pembinaan mengalami kesulitan.

Berikutnya dengan menyediakan prasarana internet yang handal dan terjangkau. Satu-satunya akses yang terjangkau saat ini tampaknya speedy unlimited dengan biaya Rp 700 ribu per bulan. Ini relatif baru, dan memberikan harapan. Walau demikian kualitasnya sebetulnya masih jauh dari kebutuhan.

Yang juga penting adalah meningkatkan mutu pendidikan IT. Saya berani bilang bahwa mencari tenaga IT handal di Bogor sangat sulit dibandingkan di Bandung, Yogya, atau Jakarta.

Selain itu pemerintah bisa membuat tim khusus untuk membangun solusi di bidang tertentu. Misalkan, tim untuk membangun software e-gov yang akan dipakai semua daerah (tentunya bidang tertentu yang bisa diseragamkan). Thailand telah melakukannya untuk rumah sakit. Sebagai gambaran, rumah sakit di Indonesia umumnya menghabiskan beberapa milyar untuk pengembangan sistem informasi. Demikian juga kabupaten-kabupaten di Indonesia. Bahkan untuk web saja banyak yang habis miliaran. Coba diganti saja dengan CMS gratisan, rasanya lebih jelas. Sebagai bayangan, Sistem Informasi pembuatan KTP atau SIM/STNK yang sangat penting saja belum beres-beres.

Jadi semua hal tersebut di atas menurut saya jauh lebih efektif. Dan bisa dilakukan dengan Rp 50 Milyar kalau memang direncanakan dengan baik. Apalagi kalau dengan 400 Milyar sesuai rencana.

Saya khawatir, proyek ini bakal jadi warnet termahal di Indonesia. Mudah-mudahan saya salah.

Friday, June 15, 2007

ITB Lagi-Lagi Kalah di Kontes Robot Cerdas Maupun Tidak Cerdas

Sekali lagi, seperti biasa PENSI (Politeknik Negeri ITS, jadi bukan ITS) memenangkan Kontes Robot. Selama bertahun-tahun saya selalu bertanya kepada rekan-rekan yang masih di kampus (s2 atau pun s1) apa kendala ITB. Umumnya mereka mengatakan keterbatasan dana, di mana bisa dilihat di kampus-kampus lain (PENSI, POLBAN), dibentuk sebuah tim (baik dari dosen maupun mahasiswa) dan dikerahkan usaha maksimal untuk memenangkan perlombaan tersebut.

Saya sendiri berkeyakinan, bahwa urusan dana adalah urusan penting dalam bidang teknik. Beda seorang insinyur pintar dan bodoh mungkin hanya yang satu bisa membuatnya dengan 1x gagal, yang satu dengan 5x gagal.

Terlepas dari argumen yang dikatakan bahwa ITB sampai saat ini toh memimpin dalam riset robot dan kecerdasan artifisial di lapangan sesungguhnya (salah satunya dengan hasil berupa pesawat tanpa awak otonom) dan bahwa kontes robot hanyalah ajang 'permainan teknologi', siapa yang mengerti hal tersebut?

Memangnya enak, tiap tahun baca di koran (ya, tiap tahun hasilnya dimuat di koran, di Tempo paling tidak 2 halaman) bahwa ITB kalah?

Apakah memang ITB tidak merasa bahwa usaha untuk menang di kontes robot cukup worth it?
Atau mungkin kehebatan ITB sudah sedemikian hebatnya sampai merasa tidak perlu membuktikannya?

Berikut saya kutip email dari salah seorang tim robot dari ITB sebagai pembanding.

http://www.mail-archive.com/itb@itb.ac.id/msg41137.html

Wednesday, June 13, 2007

Belum Lima Detik

Entah sejak kapan, rasanya sejak saya mampu berkilah, setiap ada makanan yang jatuh ke lantai, saya akan mengatakan,"Belum lima detik", lalu mengambil dan memakan makanan itu. Saya benar-benar berpikiran bahwa lima detik adalah sebuah alasan untuk menenteramkan perasaan.

Tapi tampaknya, lima detik ini menjadi sebuah aturan yang umum di Indonesia, dan mungkin dunia. Baru saja saya melihat sebuah reportase video di yahoo yang memaparkan tentang sebuah penelitian.

Menurut penelitian itu, sebuah makanan yang jatuh di lantai membutuhkan waktu lebih dari lima detik untuk terkontaminasi. Penelitiannya kira-kira begini, makanan dijatuhkan di lantai untuk beberapa waktu tertentu, kemudian diamati perkembangan pertumbuhan bakterinya.

Untuk makanan basah, waktu yang diperlukan adalah 30 detik (di lantai). Sedangkan untuk makanan kering bisa sampai 5 menit. Tentu saja penelitian ini dilakukan dalam kondisi normal. Jika makanan terinjak selama berada di lantai, hasil penelitian tidak berlaku.

Nah, jadi sekarang jika saya mengatakan,"Belum lima detik", sambil mengambil makanan dari lantai dan menelannya dalam kurang dari sedetik, saya punya alasan ilmiah untuk menguatkannya.

Catatannya, bahkan setelah penelitian ini, si peneliti sendiri menyatakan bahwa dia tetap enggan untuk memakan makanan yang sudah jatuh ke lantai.

Tuesday, June 12, 2007

An Inconvenient Truth

Saya mendengar tentang film dokumenter An Inconvenient Truth ketika diluncurkan. Tetapi saya baru melihat kopi (resmi)-nya beberapa minggu lalu di Gramedia. Setelah edisi Oprah tentang film ini (dengan menampilan Al Gore) Minggu malam (10/06/07), saya tekadkan untuk membelinya.

Saya percaya tentang terjadinya pemanasan global sejak kira-kira SD. Namun sampai beberapa waktu yang lalu saya masih bertanya-tanya apakah pada tingkat lokal tertentu, fenomena ini terjadi lebih cepat dikarenakan faktor kelalaian manusia.

Misalkan di Bandung, nenek saya dulu bercerita bahwa ketika memasak air panas di Bandung, ketika air itu dituang maka air itu sudah tidak mendidih lagi. Atau Oom saya yang bercerita bahwa waktu dia kuliah di Bandung tahun 70-an, walaupun sudah memakai jaket himpunan yang tebal dia masih menggigil kalau naik motor di siang hari. Jaket yang tebalnya sama masih dipakai saat ini di ITB yang suhunya sudah naik paling tidak 5-10 derajat...

Saya pikir, kejadian di Bandung dipicu oleh beberapa faktor: perluasan kota, penyempitan lahan hijau, dan padatnya transportasi. Apakah ini menyebar di luar Bandung, saya tidak terlalu yakin. Lagi pula, Bandung berupa cekungan. Mungkin saja permasalahannya terisolasi di Bandung.

Tetapi dari film itu saya mendapatkan gambaran bahwa kejadian ini terjadi di seluruh dunia. Dan akselerasinya meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir (itu menjelaskan mengapa di awal kuliah saya sering memakai jaket himpunan dan di ujung kuliah saya cenderung memakai jaket divisi yang lebih tipis).

Saya menangkap, bahwa jika hal ini dibiarkan, pada saat anak saya kuliah nanti, dia tidak mengenal kosa kata 'jaket' karena sudah tidak pernah dipergunakan lagi.

Hal berikut yang menjadi jelas adalah, bahwa pemanasan global membuat kekacauan alam. Waktu SD kita belajar bahwa perbedaan suhu laut dan darat menyebabkan perbedaan tekanan yang menimbulkan angin. Secara matematis, bisa dihitung kenaikan perbedaan tekanan dikarenakan kenaikan suhu 5-10 derajat, serta besarnya angin yang ditimbulkannya. Topan, banjir, kekeringan, merupakan efek langsung dari pemanasan global ini.

Sampai saat ini, masih bisa ditemukan artikel-artikel yang membantah pemanasan global. Ini sangat menggelikan menurut saya karena jelas terasa. Membeli AC tidak pernah terlintas di pikiran saya ketika saya SMA di Bogor tahun 93-96 dan malah akan menjadi gurauan. Saat ini, pikiran untuk membeli AC memenuhi pikiran saya.

Satu hal lagi yang saya bingung dari film itu, bagai mana mungkin orang Amerika bisa memilih George Bush yang goblok itu (dari tampangnya saja kita sudah tahu) dibandingkan Al Gore yang (terlihat) cerdas?

Dunia memang sudah gila.

Saya berencana menyebarkan film ini semampu saya. Target pertama saya, keluarga dan mahasiswa saya...

Wednesday, June 06, 2007

Penertiban Sirene dan Voorridjer, Akhirnya...

Buat yang sebel lihat mobil petentang-petenteng pakai sirene, atau diselip sama rombongan nggak penting yang dikawal voorridjer, ada berita baik. Akhirnya yang macam begini-begini ini ditertibkan.

Katanya melanggar PP no 44 tahun 1993. Dan penertibannya diinstruksikan oleh presiden SBY. Aneh jg ya, masa urusan lampu begini aja harus diinstruksikan oleh presiden. Pada nggak bisa mikir sendiri kali ya.

Mene ketehe.... Hehehe.