Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, May 13, 2009

Menghargai Kartini, Menyelamatkan Kartono

Agak terlambat untuk hari Kartini. Tapi rasanya masih bolehlah.
Seingat saya, dulu sekali, saya pernah membaca ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Saya sudah lupa isinya. Surat-menyurat antara Kartini dan kenalannya di Belanda, menceriatakan tentang pemikiran dan cita-citanya.

Kartini memang punya cita-cita agar wanita bangsanya lebih maju. Mulia sekali. Cuma saya sering bertanya juga, bagai mana sebetulnya posisi Kartini dibandingkan Dewi Sartika, misalkan. Sartika jelas tidak menulis surat. Tapi beliau membuka sekolah. Mungkin harus ditelaah lagi, apakah Sartika sendiri terinspirasi oleh Kartini.
Bukan sejarah itu yang ingin saya bahas.

Jadi sekitar setahun yang lalu, seorang supplier saya dari China (seorang perempuan), tiba-tiba bertanya pada saya,”Bagai mana kondisi wanita di Indonesia?”
Terus terang saya agak kaget. Saya tidak terlalu akrab dengan supplier ini, dan komunikasi pun jarang.

Saya bilang, saya pikir wanita di Indonesia baik-baik saja. Kalau ada yang sekolah tidak ada yang meremehkan hanya karena dia wanita. Bahkan mungkin di Indonesia, wanita memegang peranan yang sangat penting. Karena sudah menjadi rahasia umum: istri pejabat lebih berkuasa dari suaminya, istri jenderal punya satu bintang lebih banyak dari suaminya.

Waktu saya kuliah di ITB, perempuan hanya 10% dari populasi di jurusan saya. Di Mesin waktu itu konon katanya rasionya 1 banding 4: 1 wanita tiap 4 angkatan. Tapi berbeda dengan di film-film Amerika yang mengisahkan tentang perempuan yang masuk ke akademi yang didominasi laki-laki, saya tidak merasa ada pembedaan dalam artian dipersulit.

Malah di mesin, satu-satunya mahasiswi itu kelihatannya dibela dan didukung oleh rekan-rekannya.

Saya tidak tahu bagai mana di tahun 70-an. Buat saya, maaf jika saya menyimpulkan seperti ini, masalah gender di Indonesia saat ini tidaklah terlalu kritis seperti apa yang ada di Amerika mau pun Eropa. Kondisi Indonesia sendiri tidak terlalu menyudutkan perempuan. Mungkin kita bisa menengok perjalanan sejarah yang berbeda antara bangsa-bangsa dan mempelajari bagai mana sejarah itu pada akhirnya mengantarkan kita pada persepsi yang berbeda-beda tentang wanita.
Justru yang ingin saya soroti saat ini, banyaknya tenaga kerja pria yang diganti oleh wanita.

Beberapa orang menuduh, bahwa emansipasi sebetulnya ditunggangi oleh pengusaha. Pemikirannya adalah, total biaya yang dikeluarkan untuk satu orang wanita di posisi yang sama lebih murah dari pada laki-laki. Selalu ada alasannya. Misalkan di tempat istri saya bekerja, tidak ada tunjangan kesehatan untuk suami dan anak karena dianggap itu urusan suaminya. Padahal istri saya menempati posisi yang jika diisi oleh suami, memiliki key performance indicator yang sama (target pemasaran dsb.)
Belum lagi, pegawai wanita dianggap lebih bisa diatur, tidak banyak tuntutan. Biasanya ibu-ibu takut dipecat di pabrik karena suaminya pekerjaannya tidak tetap, lebih memikirkan keluarga dibanding bapak-bapak yang kalau egonya tersenggol tidak lagi memikirkan keluarga.

Tidak sulit mendapatkan keluhan, bahwa saat ini pria sulit mendapat kerja di pabrik, pompa bensin, dan sebagainya. All women gas station makin banyak saja saya temui.
Saya terus terang agak khawatir tentang hal ini. Tuduhlah saya bias gender, tapi buat saya seharusnya pekerjaan itu diprioritaskan untuk wanita.

Alasannya?

Secara psikologis, laki-laki yang tidak bekerja dalam masyarakat mendapatkan tekanan yang lebih besar dari pada wanita yang tidak bekerja. Sebabnya jelas, karena Indonesia masyarakatnya masih beragama. Kalau wanita punya hak mencari nafkah, maka buat laki-laki itu adalah kewajiban.

Jadi selama kita masih berbasiskan agama, maka laki-laki dan wanita itu setara, sejajar. Bukan sama hak dan kewajibannya. Ini yang perlu sedikit ditekankan.
Saya bingung juga meneruskannya. Ya sudah diposting aja dulu. Kalau ada yang tidak sependapat baru diskusi lagi.

Monday, May 04, 2009

Susu Kapitalis...

Tertegun juga saya membaca berita di Kompas. Katanya para peternak sapi meminta agar harga susu tidak terlalu turun. Mereka mempermasalahkan perbedaan Rp 150,00 per kg. Saya baru memperhatikan, ternyata harga beli susu ke petani (oleh industri susu) adalah di kisaran Rp 3.500,00 per kg.
Baru siangnya, saya memeriksa harga susu anak saya. Per kaleng berisi 1 kg, harganya Rp 177.000,00. Tapi ini kan susu bubuk. Saya jadi ingin tahu, bagai mana cara mengkonversi ukuran 1 kg susu sapi murni menjadi susu kaleng.
Katakanlah, berat jenis susu setara air. Artinya kira-kira 1 kg memiliki volume 1 liter. Katakanlah lagi, setiap kali susu dikonsumsi sebanyak 1 gelas yaitu 200ml. Jadi 1 liter itu bisa untuk 5x konsumsi. Anak saya minum susu kira-kira juga sekitar 5x sehari. Dan habis sekitar 1 kaleng per 5-7 hari. Anggaplah 7 hari.
Jadi kalau menggunakan susu murni, maka biaya yang harus saya keluarkan adalah Rp 3.500,00 dikali 5 hari dikali 1 liter/hari = Rp 17.500,00. Sedangkan dengan menggunakan susu formula, biaya yang saya keluarkan adalah Rp 177.000,00.
Bukannya saya tidak mau membelikan anak saya susu mahal-mahal. Saya hanya ingin tahu, apa yang menyebabkan harga susu yang dikonsumsi anak saya sampai dengan 10x lipat. Apakah karena AA-DHA? Tambahan vitamin? Kaleng yang funky? Biaya marketing? Apalagi masih ada kalimat: industri pemroses susu lebih suka memakai susu impor yang harganya lebih murah.
Saya benar-benar merasa para petani susu berhak untuk mendapatkan harga yang lebih baik, yaitu di kisaran Rp 4.500,00 seperti yang mereka minta dan seperti yang telah dihitung oleh konsultan sebagai angka yang layak agar peternak sapi bisa hidup dengan baik.
Apakah ada yang bisa menjelaskan kepada saya, biaya produksi susu? Jangan-jangan ini seperti sepatu Nike yang dijual dengan harga 20x biaya produksi. Hanya saja, di ‘empat sehat lima sempurna’ tidak ada sepatu…
Saya jadi teringat, bayangan yang melintas di kepala saya bertahun-tahun yang lalu. Ketika mencari makan di Simpang, saya melihat iklan susu yang besar. Saya bertanya dalam hati, jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah konsumen bisa mendapatkan susu yang berkualitas? Dan apakah jika tidak ada perusahaan-perusahaan raksasa ini, apakah harga susu akan lebih murah atau bahkan sebaliknya?
Apakah kapitalisme semacam ini memang memberikan kepada konsumen yang terbaik atau benarkah Bung Hatta yang menganjurkan koperasi? Apakah pemerintah perlu membentuk BUMN yang memproduksi susu (yang jika diperlukan) bersubsidi?
Kurang dari setahun yang lalu saya masih menanyakan pertanyaan yang sama kepada teman saya yang bekerja di produsen susu internasional.
Saya tetap belum mendapat jawaban.
Tapi ada artikel menarik yang bisa disimak

http://lita.inirumahku.com/health/lita/menyoal-harga-dan-suplementasi-aa-dha-di-susu-formula-bayi/