Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Thursday, November 29, 2007

Cisadane, seorang Ayah dan Seekor Kambing

Saya hampir tidak tidur malam sebelumnya. Biasanya bahkan ketika saya tidur cukup pun tidak ada jaminan saya bangun pagi-pagi, terutama di akhir minggu. Tapi hari itu saya punya kewajiban, mencari kambing buat akikah Lintang.

Saat ini banyak orang menawarkan paket akikah. Kita cukup membayar harga paket, dan segalanya akan diurus. Bapak saya tidak setuju dengan cara itu. "Mahal", katanya. Namun saya kira alasan sesungguhnya adalah beliau senang mengurus hal-hal seperti ini, yang terlihat dari semangatnya ketika membangunkan saya. Semangat yang sama dengan akikah-akikah 3 cucu sebelumnya.

Seminggu sebelumnya, Bapak sudah menghubungi tukang sate kambing yang dulu juga dimintai tolong untuk menyiapkan akikah. Dulu dia jualan di sekitar Mawar, Bogor. Sekarang yang jualan di Mawar anaknya, dia sendiri pindah ke Empang. Anaknya walau jualan sate kambing juga, tidak berani meng-handle urusan akikah sendirian. Saya baru tahu, ternyata urusan potong-memotong dan masak kambing juga ada levelling berdasarkan pengalaman.

Seumur-umur, hampir 15 tahun mengaku tinggal di Bogor, saya baru sekali ini datang ke Pasar Kambing di Empang. Tepatnya di lapangan depan masjid Empang. Kambing-kambing merumput di situ dan kita bisa melihat dari pagar. Kalau ada yang tertarik, si kambing akan diajak ke pinggir untuk dilihat-lihat.

Dari situ, kambing yang bersangkutan akan dibawa ke pemotongan. Bukan pejagalan seperti rumah potong, tapi di pinggir sungai Cisadane. Tolong dalam kasus ini jangan mempertanyakan masalah kebersihan dan sebagainya. Paling tidak saya yakin, SOP yang dijalankan mencukupi untuk 95% masyarakat Indonesia.

Sungai Cisadane cukup besar. Dari pinggir sungai itu saya berpikir berapa listrik yang bisa dikembangkan seperti air di situ (tapi tidak pernah dikembangkan), sambil juga berpikir kira-kira berapa banyak kambing yang sudah kehilangan nyawanya di situ.

Di pantai biasanya, tanah sudah dikavling-kavling sehingga kita tidak bisa main sembarangan. Menurut saya itu tidak benar. Seharusnya paling tidak wilayah antara tepi laut sampai jalan terdekat tidak boleh didirikan bangunan dan merupakan milik umum. Jadi orang yang menyusuri jalan sepanjang pantai pun bisa menikmati pemandangan.

Begitu juga dengan sungai. Seharusnya sisi terdekat dengan sungai, bantaran sungai, tidak boleh dibangun. Kita sering lupa bahwa ada sungai di dekat kita karena ditutupi oleh gedung. Ngeri juga melihat bagai mana manusia memaksakan membangun gedung di lereng pinggir sungai.

Air menetes dari tebing, resapan dari bambu yang tumbuh di pinggiran sungai. "Bambu bergerombol jangan ditebang, banyak setannya.", begitu kata orang-orang tua dulu. Mungkin mereka tahu, bahwa bambu-bambu itu yang meresapkan air dan melestarikan sungai serta lingkungan. Kearifan yang tidak dapat dilestarikan lagi saat ini.

Tanpa sengaja, saya melihat ibu-ibu sedang buang air (besar) di kejauhan. Cukup jauh sehingga saya tidak bisa melihat sedetail yang anda bayangkan. Ini sebetulnya pemandangan biasa di sungai. Yang tidak biasa, dia bersama temannya. Ngobrol. Saya selalu menyangka bahwa kalau pun kita buang air di sungai, maka itu dilakukan dalam suasana yang sebisa mungkin mendekati kesendirian. Pagi itu saya melihat ini dilakukan seperti creambath di salon, sambil ngobrol.

Berjalan kaki pulang, saya berharap bahwa suatu hari kita bisa menikmati sungai di kota-kota di Indonesia.

Monday, November 12, 2007

Lintang Nur Ramadhani

Alhamdulillah anak saya lahir pada tanggal 18 September 2007 pukukl 18.55 WIB di RS. Hermina Bandung. Berat 3.040 gram, panjang 55 cm. Dibantu oleh DokterAnita.


Sekitar 2 bulan sebelumnya, ibunya (istri saya tercinta) mengusulkan nama Lintang. Tidak lama kemudian, ibu saya (mertua istri saya tercinta) juga mengusulkan nama yang sama. Dua kejadian paralel yang tidak berhubungan. Jadi saya segera setuju. Bagi yang belum mengetahui, Lintang diambil dari bahasa Jawa yang artinya Bintang. Dan bukan karena dia melintang waktu lahir cesar, walau pun itu memang terjadi.


Persis setelah kelahirannya, saya dihadapkan pada kesibukan yang luar biasa, sampai-sampai hampir tidak pernah di rumah. Niat untuk menulis blog ini juga terhambat terus. Kata orang-orang, rejeki anak. Mungkin juga.

So please welcome, Lintang Nur Ramadhani.

Berikut foto-fotonya ketika menjadi korban percobaan model rambut dari kakeknya...


Wednesday, November 07, 2007

Biaya Pemilu demi Kepentingan Kita juga

Mungkin rekan-rekan bingung, kenapa untuk pemilu 2009 ini diajukan anggaran sebesar Rp 47,9 Trilyun. Tiap tahun, sampai beberapa tahun belakangan ini, kita berhutang ke IGGI/CGI dsb-nya saja hanya sekitar USD 5M per tahun. Untuk membangun monorel yang tidak kunjung ada dananya itu konon butuh USD 600juta (kira-kira Rp 5,5T). Kredit Ekspor senjata dari Rusia yang hanya USD 1M (kira-kira Rp 9,2T) kemarin cukup buat beli 6 sukhoi, 2 kapal selam kelas kilo, beberapa helikopter Mi yang secara keseluruhan sudah cukup membuat negara-negara tetangga berpikir-pikir tentang postur militer Indonesia.

Subsidi listrik? Rp 30T. Dana askeskin diperkirakan Rp 2,2T.

Tapi anda tidak perlu bingung, dan tidak sepantasnya untuk membandingkan dana-dana di atas dengan dana pemilu. Pemilu adalah hal yang sangat penting bagi negara demorasi seperti Indonesia dan karenanya pantas mendapat dana sangat besar.

Hanya saja, tentu kita perlu tahu dari mana keluarnya anggaran sebesar itu. Dan jika hitungan panitia terlalu rumit untuk diikuti, berikut adalah hitungan yang disederhanakan tentang rencana anggaran KPU.

Misalkan, jumlah orang yang memilih di Indonesia adalah 200 juta orang (out of 230 juta artinya dengan asumsi ini kemungkinan anak SMP juga punya hak pilih). Berarti untuk setiap orang yang memilih, dana yang diajukan adalah Rp 239,5 ribu.

Nah sekarang kita hitung. Katakanlah kertas suara dicetak dengan kertas tebal, cetak berwarna, disampul plasik, dimasukkan lagi ke dalam amplop, diberi label masing-masing nama pemilih, kalau perlu foto pemilih dan seterusnya. Yah... habislah Rp 5rb per lembar. Kalau kita nyoblos 3x (Parlemen, Presiden putaran 1 dan 2), maka setiap orang habis kira-kira Rp 15 ribu buat kartu suara.

Kemudian, katakanlah satu TPS memiliki 100 orang pemilih. Untuk sewa tenda dan kursi, biaya disediakan Rp 1 juta. Berarti per orang tambah lagi Rp 10rb. Kemudian katakanlah yang menjaga TPS dibayar (total) Rp 1 juta. Nambah lagi Rp 10rb per orang. Totalnya sudah habis Rp 35rb per orang. Untuk menarik minat pemilih, disediakan makan siang prasmanan dari catering terkenal dengan biaya Rp 60rb per orang. Total per kepala sekarang jadi Rp 95rb.

Ya sebetulnya ada sih, biaya untuk mengirim logistik ke daerah terpencil. Tapi karena 60% penduduk INdonesia tinggal di Jawa, dan tiket pesawat ke irian saja hanya beberapa juta, dana itu sebetulnya tidak terlalu bear. Ada orang menawarkan alat penghemat listrik dengan biaya pengiriman ke Irian Rp 27.000,00 (http://www.gerbangmilyuner.com/hematlistrik.php). Ya kita anggap saja segitu untuk semua orang (yang di Jawa juga lho). Totalnya sudah menjadi Rp 122.000,00 per kepala.

Karena pemerintah menganggap pemilu ini penting sekali, setiap orang juga diberi ongkos Rp 38rb untuk menuju TPS. Memang yang terpaksa mudik harus menanggung sendiri sebagian, tapi lumayanlah. Jadi biaya pemilu per orang sekarang sudah Rp 160rb.

Untuk sisa Rp 79,5 rb per orang, total Rp 15,9 Trilyun, dipakai untuk iklan di media masa, sosialisasi, pengawasan kampanye, beli mobil dinas, IT dan sebagainya.

Jadi kira-kira, itulah rencana yang akan dilakukan oleh KPU untuk pemilu 2009. Mudah-mudahan menghasilkan Presiden dan Parlemen yang baik. Amien.