Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Tuesday, February 27, 2007

Memahami Pemikiran Supir Angkot

Dari rumah saya di Bogor, kalau mau pergi, harus lewat perempatan Taman Siswa. Di situ, belok ke kiri harusnya langsung. Tetapi sering kali angkot yang jalurnya lurus berhenti di kiri, menutupi jalan. Akibatnya, orang-orang mengklakson habis-habisan. Hebatnya, angkot ini keukeuh bertahan di tempatnya.

Kalau di perempatan dari arah jalan Kumbang ke arah Taman Kencana (perempatan dengan jalan Pajajaran) Bogor, ada juga lampu merah. Dulunya, lampu merah di situ memberikan jalan (lampu hijau) langsung ke dua arah, seperti umumnya lampu merah di Bandung. Jadi kalau kita jalan, mobil dari seberang kita juga jalan.

Tahun-tahun terakhir programnya sudah diubah tampaknya. Dan lampu hijau menyala bergantian di keempat sisi. Tetapi sampai sekarang, tetap saja kalau kita berhenti menunggu lampu hijau sementara mobil dari arah depan jalan, mobil-mobil di belakang akan membunyikan klakson. Mereka seolah berdalih bahwa lampu merah itu rusak, seharusnya sudah hijau. Karena dulu-dulu juga begitu.

Aneh memang kalau setiap orang mengartikan hukum sesuai dengan keperluannya sendiri. Saya kira untuk aturan semacam ini kita harusnya ikut sajalah. Beda dengan aturan pembagian tunjangan DPRD yang memang demo menjadi kewajiban. Anehnya malah saya yang jadi tidak enak karena diklakson seperti itu. Dan demikian jg bbrp orang lain yang saya perhatikan. Akhirnya, kadang-kadang saya mengikuti mereka melanggan lampu merah. Sing waras ngalah? Bukan. Sing waras kalah.

Jadi tentu menjadi sangat menarik buat saya, bagai mana angkot yang jelas-jelas salah itu bisa bertahan ketika diklakson. Saya ingin mengamati langsung. Kesempatannya tidak kunjung datang karena tidak mudah untuk memposisikan diri di sebelah supir angkot yang berhenti paling depan di jalur kiri ketika lampu merah. Benar-benar butuh perhitungan peluang yang tinggi. Toh akhirnya saya ada di posisi itu.

Saya perhatikan supir angkot. Ketika dia berhenti dan menurunkan penumpang. Mobil di belakang mulai membunyikan klakson. Dia menerima pembayaran, mobil di belakang terus membunyikan klakson. Dan akhirnya... karena lampu merah, dia tetap berhenti walaupun tidak ada penumpang yang naik dan turun, dan walaupun menghalangi jalur orang yang berbelok ke kiri.

Apa yang akan terlihat di wajahnya? Saya menanti harap-harap cemas. Apakah dia akan gelisah? Dan kemudian dia berpaling ke kanan. Menyapa temannya,"Sabaraha rit?"

Edan. Ternyata dia melanjutkan menunggu sambil ngobrol santai dengan temannya sementara klakson tidak putus-putus dari mobil yang ada di belakang. Tetap tenang, tanpa sebutir pun rasa bersalah. Baginya klakson yang di belakang tidak ditujukan pada angkotnya.

Jadi sekarang saya berkesimpulan, tidak ada gunanya membunyikan klakson pada supir angkot. Kerbau mungkin akan berpindah. Keledai mungkin. Tapi supir angkot?

Yang paling aneh buat saya adalah, bahwa ketika angkotnya ditutupi oleh mobil atau angkot lain persis seperti yang dia lakukan, dia akan marah-marah.

Salah satu keinginan saya yang paling terpendam adalah meminjam tank untuk dikendarai menggilas angkot-angkot yang ngetem...

Thursday, February 22, 2007

Perang Pasir

Bicara tentang kunjungan ke Singapura, jarang sekali turis Indonesia yang mampir ke URA: Urban Redevelopment Auothority. Letaknya di dekat ChinaTown. Badan ini yang mengatur pembangunan di Singapura. Di sini kita bisa mengetahui rencana pembangunan Singapura, dan membaca apa yang menjadi kekhawatiran Singapura: tanah.

Kampanye tentang bagai mana mereka harus menyisihkan tanah yang hanya sedikit untuk berbagai macam keperluan dan bagai mana mereka sedang merencanakan reklamasi (yang mungkin bisa dibaca sebagai: Jangan khawatir, kita sedang reklamasi!) adalah jeritan hati nurani orang Singapura: mereka kekurangan tanah. Bagai mana tidak, sehebat apa pun negara itu, anda tidak pernah terlalu takut kalau tiba-tiba semua kendaraan mogok dan harus jalan kaki pulang, it wouldn't be too far away. It'd take no more than 2-3 hours walk asalkan tidak mampir-mampir untuk belanja.

Anda tentu akan heran, mengapa Singapura harus mempunyai angkatan udara yang sedemikian hebat. Begitu lepas landas dari Changi, pesawat mereka akan langsung masuk wilayah Indonesia. Begitulah gambaran tentang bagai mana kecilnya Singapura. Bahkan seluruh Singapura bisa dimasukkan dalam 1 maket dengan skala yang cukup besar untuk dipamerkan dalam sidang skripsi sarjana arsitektur di ITB.


Karena itulah mereka sangat berkepentingan untuk mengimpor pasir dari Indonesia. Pasir ini biasanya diambil di pulau-pulau sekitarnya, seperti pulau Nipah. Seiring dengan meluasnya wilayah Singapura, sayangnya, beberapa pulau Indonesia tenggelam karena diambil pasirnya.

Selain dampak lingkungan, hal ini membawa permasalahan lain bagi pemerintah Indonesia. Status perbatasan Singapura-Indonesia untuk sisi sekitar Riau itu belum jelas. Singapura selalu mengulur pembicaraan dengan alasan reklamasi belum selesai. Padahal, sampai saat ini saja dengan reklamasi itu wilayah mereka sudah menjorok 12 km ke arah Indonesia dan sebaliknya wilayah Indonesia berkurang 6 km.

Karena berbagai alasan itu, akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor pasir ke Singapura. Dan tentu saja ini mengguncang Singapura. Berita hari ini bahkan, pesawat TNI-AL yang berpatroli mencari kapal pengangkut pasir merasa dihadang oleh jet-jet Singapura.

O ya. Bagai mana jet Singapura bisa menghadang pesawat Indonesia di wilayah Indonesia? Begini ceritanya. Karena kemampuan radar Indonesia yang terbatas jaman dahulu kala, pengaturan wilayah udara di sekitar Singapura diatur oleh Singapura. Itu mencakup Batam dan mungkin sampai Riau. Artinya kalau pesawat yang anda tumpangi dari Batam akan berangkat, dia minta ijin ke Singapura. Bahkan, pesawat TNI yang akan melintasi daerah sekitar situ harus minta ijin ke ATC (Air Traffic Controller) Singapura. Bagai mana rasanya? Ya kira-kira seperti kalau anda mau masuk ke rumah anda yang luasnya 1 hektar tetapi harus minta ijin ke tetangga anda yang tinggal di Rumah Sederhana 40 meter persegi, padahal anda bahkan tidak harus lewat tanah dia untuk masuk.

Dan tentu saja, RSAF (AU Singapura) mendapat ijin untuk berlatih di sekitar wilayah itu. Perjanjian ini seingat saya, seharusnya selesai sekitar tahun 2000-2001. TNI AU dan Angkasa Pura sendiri sudah mempersiapkan diri untuk itu. Entah bagai mana, tampaknya diperpanjang oleh DPR.

Kembali ke masalah tadi. Singapura paling tidak mengimpor 8 juta ton pasir per tahun dari Indonesia. Dan itu baru angka yang resmi. Sementara yang didapatkan oleh pemerintah Indonesia sekitar 500 juta Rupiah (!) setahun dari pajak dan retribusi.

Beberapa teman saya menyatakan, biarlah, toh wilayah seluas itu tidak ada artinya buat Indonesia. Saya kira masalahnya bukan masalah luas wilayah. Masalahnya adalah mereka tidak menunjukkan niat baik. Niat baik seperti apa? Misalkan kalau Singapura memang berniat baik, ya impor-nya saja diatur. Tidak usah ambil dari pulau yang mau tenggelam, dicari bareng-bareng dengan pemerintah Indonesia. Kemudian jumlahnya diawasi dan dibayar pajaknya dengan benar. Wilayah laut Singapura sedemikian sempit (dan mereka punya 6 fregat!) sehingga tidak susah menanggulangi penyelundupan kalau mereka mau kerja sama.

Tapi Singapura memang tidak pernah menunjukkan niat baik, saya kira. Dalam kasus di mana Indonesia babak belur karena kasus korupsi, mereka menolak menandatangani ektrasidisi koruptor. Pertama ditunda-tunda. Sekarang dalam status belum ada kesamaan istilah tentang korupsi karena bagi Singapura (katanya) yang termasuk korupsi itu hanya penyuapan (terhadap pejabat negara).

Jadi kalau anda melihat Singapura memberi bantuan kepada Indonesia dalam bencana alam, jangan langsung bingung koq mereka tetap baik setelah berbagai macam permasalahan dengan Indonesia. Itu sekedar perwujudan dari themesong,"Dunia ini panggung sandiwara." Tampaknya satu-satunya yang main sandiwara tanpa skenario hanya Indonesia.

Memang ini bukan salah Singapura. Ini salah kita sendiri. Sama sekali saya tidak bermaksud untuk mengajak perang dengan Singapura atau melempari kedutaan mereka. Saya hanya mengingatkan bahwa kita tidak usah terpukau oleh kehebatan Singapura. They're not that great. Urusan pasir saja bisa bikin mereka blingsatan. Satu-satunya kelebihan mereka dari Indonesia adalah mereka bertetangga dengan lebih dari 200 juta orang bodoh, atau paling tidak 200 juta orang yang dipimpin oleh beberapa ribu orang bodoh. Itu saja.

Thursday, February 08, 2007

Tidak Ada Vampir di dunia?

Tadi waktu browsing, tanpa sengaja saya menemukan blog yang menjelaskan secara matematis menjelaskan bahwa vampir tidak ada. Sangat sederhana, tapi saya kira efektif. Brilian.

Begini, katakanlah kalau kita mengikuti film-film, setiap orang yang digigit vampir berubah menjadi vampir. Kalau lah dalam satu periode tertentu vampir harus makan, maka dalam periode itu jumlah vampir akan berlipat dua. Dengan demikian jumlahnya akan berubah menjadi 2 pangkat n, di mana n adalah periodenya.

Misalkan, periode itu setiap malam. Kalau ada 2 vampir, dalam 2 malam atau 2 pangkat 2 jumlahnya menjadi 4. Kalau periodenya bulan, artinya menjadi 4 dalam 2 bulan. Dengan kalkulasi sederhana kita dapatkan bahwa 2 pangkat 34 adalah 8.589.934.592, melebihi jumlah penduduk bumi. Berikut daftar perhitungannya untuk n sampai dengan 34.

1. 1
2. 2
3. 4
4. 8
5. 16
6. 32
7. 64
8. 128
9. 256
10. 512
11. 1.024
12. 2.048
13. 4.096
14. 8.192
15. 16.384
16. 32.768
17. 65.536
18. 131.072
19. 262.144
20. 524.288
21. 1.048.576
22. 2.097.152
23. 4.194.304
24. 8.388.608
25. 16.777.216
26. 33.554.432
27. 67.108.864
28. 134.217.728
29. 268.435.456
30. 536.870.912
31. 1.073.741.824
32. 2.147.483.648
33. 4.294.967.296
34. 8.589.934.592

Berarti kalau benar apa yang diceritakan di film-film, maka dalam 34 hari, atau 34 bulan atau 34 tahun, seluruh bumi sudah menjadi vampir. Itu juga kalau nggak ada vampir rakus yang makan 2 kali per periode. Nambul gitu...

Tentunya ada beberapa perkecualian dalam kasus itu, di antaranya:
1. Kemungkinan bahwa ada orang-orang macam Van Helsing yang terus melakukan perburuan
terhadap vampire
2. Vampir makan cukup 1-2 abad sekali
3. Ada vampir yang sedang istirahat panjang menunggu sesuatu untuk membangkitkannya
kembali seperti 'kamu tahu siapa' di Harry Potter
4. Vampir modern minum dr labu darah transfusi seperti di film-film

Tuesday, February 06, 2007

Sedikit Pemikiran dalam Memilih Bank

Di detik.com barusan saya baca bahwa Menperin meminta Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dihapus.

Sebelumnya saya permisi kepada rekan-rekan yang bekerja di bank. Selain itu juga ada kemungkinan saya salah dalam beberapa hal teknis, tetapi secara konsep keseluruhan saya yakin saya benar. Perlu juga dicatat bahwa istri saya bekerja pada bank Syariah. Ini mungkin menyebabkan bias, tetapi mungkin juga menyebabkan saya memperhatikan fakta yang tidak banyak diperhatikan orang lain.

Begini. Kalau anda menaruh uang di sebuah bank konvensional, katakanlah bank A, apa yang terjadi dengan uang anda?

Kita selalu mendapat penjelasan, bahwa uang kita dipinjamkan lagi kepada pihak ke-3, dengan bunga yang lebih tinggi dari bunga yang kita dapatkan untuk tabungan kita. Selisih bunga itulah yang menjadi keuntungan dari bank.

Hal tersebut tidak salah. Permasalahannya, sering kali tidak semua dana yang bisa dihimpun oleh sebuah bank bisa disalurkan ke peminjam. Penyebabnya ada banyak. Perbandingan antara dana yang dipinjamkan dibandingkan dana yang terhimpun dikenal dengan parameter Lend to Deposit Ratio atau LDR. LDR 100% artinya, dana yang dihimpun dari masyarakat seluruhnya dipinjamkan. LDR 50% artinya, hanya 50% yang dipinjamkan.

Perlu diingat, bahwa fungsi bank dalam perekonomian nasional bukanlah sebagai tempat menyimpan uang, melainkan untuk intermediasi: mengumpulkan dana untuk disalurkan, jika memungkinkan disalurkan sebagai kegiatan ekonomi produktif. Dengan demikian, parameter LDR ini sering dipakai untuk melihat sehat-tidaknya perekonomian nasional. Selain itu kita bisa melihat seberapa besar peran bank tersebut dalam mendorong perekonomian rill (memodali pengusaha, mendanai riil estate, dsb.).

Nah, jika ternyata LDR suatu bank tidak mencapai 100%, ke mana sisa dana masyarakat yang dihimpun? Dana ini disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Istilahnya, bank-bank menabung di BI. Bunga SBI ini, lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung. Selisihnya menjadi keuntungan bank.

Lalu dari mana BI mendapatkan dana untuk memberikan bunga? BI melakukan usaha-usaha untuk memutar uang tersebut, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tetapi mengingat besarnya dana yang mungkin ditaruh di SBI, ada kalanya BI tidak dapat memutar semua dana tersebut dan menjadi defisit. Lalu coba tebak dari mana dana untuk menambal defisit BI? Tepat, dari APBN yang dikumpulkan dari keringat rakyat. Besarnya bisa beberapa trilyun per tahun. Perlu disebutkan juga, selain dana dari perbankan, BI tampaknya juga menanggung bunga SBI dari beberapa sumber lain.

Defisit seperti ini tidak harus selalu terjadi, tetapi juga tidak bisa dijamin tidak terjadi.

Bagai mana dengan bak Syariah? Bank Syariah menempatkan kelebihan dananya di BI dalam bentuk Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia. Perbedaan utama antara SBI dan SWBI ini adalah tepat seperti perbedaan tabungan di antara bank konvensional dan bank Syariah. Dalam sistem Syariah, bagi hasil ditetapkan proporsional terhadap keuntungan (atau kerugian) bank. Dengan kata lain, kalau memang BI tidak bisa memutar SWBI, bank Syariah tidak menerima bagi hasil nol rupiah pun (tentunya BI tidak sampai merugi). Dengan kata lain, subsidi APBN terhadap SWBI tidak pernah terjadi.

Apa implikasinya? Implikasinya, bank Syariah lebih 'bernafsu' untuk menyalurkan kredit, karena dianggap lebih menguntungkan dari pada menempatkannya di SWBI. Sedangkan untuk bank konvensional, yang penting adalah menarik konsumen sebanyak-banyaknya tanpa perlu tergesa-gesa menyalurkannya ke pengusaha agar perekonomian nasional berputar.

Tampaknya ini pula yang menyebabkan bank Syariah tidak pernah mengadakan undian berhadiah mobil mewah seperti yang dilakukan oleh bank konvensional.

Data sampai dengan tahun 2006 menunjukkan bahwa rata-rata LDR bank Syariah berada di kisaran 100%, sedangkan rata-rata LDR bank konvensional hanya berada di kisaran 45-50%. Dalam hal ini saya tidak dapat menunjukkan datanya krn kekhawatiran akan permasalahan etika. Cukup anda ketikkan kata kunci LDR ditambah dengan nama bank anda di Google, atau dapat juta dilihat dari neraca yang diumumkan di koran setiap tahun.

Konsep bank Syariah cukup panjang untuk dibahas. Umumnya kita hanya mengetahui bahwa bank Syariah tidak memakai bunga sambil menertawakan seolah-olah bank Syariah hanya mengganti kata 'bunga' dengan 'bagi hasil'. Pada kenyataannya tidak seperti itu, dan saya sendiri baru memahami sepenuhnya setelah perdebatan dengan istri saya selama 3 tahun lebih. Jika ada kesempatan, insyaAllah saya akan tuliskan di kemudian hari.

Semakin besar tabungan anda, semakin besar kemungkinan subsidi APBN terhadapnya. Dan BMW yang anda dapatkan mungkin sekali dibayari oleh pajak dari anda, istri anda, orang tua anda, tetangga anda, dan teman-teman sekantor anda.

Monday, February 05, 2007

Katulampa oh Katulampa

Saya sedang diskusi informal, Kamis 1 Februari 2006 sekitar pukul 23:00, ketika mendapat kabar bahwa Mampang terendam sampai sepinggang. Pemikiran pertama,"Wah, nggak usah ke Jakarta nih besok, bisa membatalkan janji!"

Maklum, waktu itu saya sudah ngantuk berat dan belum ada tanda-tanda diskusi akan selesai. Dan walaupun sampai saat ini masalah 'tidak harus ke Jakarta' tetap menyenangkan buat saya, saya merasa bersalah karena sedikit menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagai mana pun, saya tidak terpikir bahwa banjir tahun ini bakal sedahsyat itu.

Jakarta memang tampaknya akan selalu dilanda banjir. Saya sampai berpikir, dari pada membangun saluran banjir kanal Barat dan Timur, tampaknya akan jauh lebih efektif kalau kita membangun tanggul mengelilingi Jakarta supaya banjirnya permanen dan mulai menyiapkan Venesia of the East....

Apa sebetulnya masalahnya? Setahu saya, dari sejak jaman Belanda dulu, Batavia sudah kebanjiran. Karena itu Belanda sibuk membangun kanal-kanal, seperti yang bisa kita lihat sekarang di Jakarta Utara. Dan penting untuk diingat, bahwa pada jaman Belanda sudah diingatkan larangan untuk membangun daerah resapan-resapan air di sekitar Jakarta seperti Bogor. Padahal waktu itu Jakarta baru sampai Gambir.

Bagai mana sekarang? Sekarang Jakarta sudah penuh sesak sampai ke Selatan. Jalan Gatot Subroto-DI Panjaitan yang tahun 70-an masih merupakan lingkar luar Jakarta, sekarang sudah menjadi lingkar tengah digantikan oleh TB Simatupang. Dan tampaknya sebentar jalan Tol Antasari-Depok akan menjadi batas terluar Jakarta.

Nah bagai mana dengan Bogor? Waktu berbincang-bincang dengan orang pengairan beberapa waktu yang lalu, saya mendapat cerita menarik.
"Pak, waktu saya mulai kerja di Bogor tahun 80-an, di Bogor (Kodya) ada paling tidak sepuluh ribu seratus hektar sawah, dan semuanya teririgasi dengan baik. Sekarang paling jumlahnya tidak sampai seratus hektar."

Jadi ke mana air yang biasanya dipakai untuk mengairi 10.000 hektar sawah itu? Dikirim langsung ke Jakarta tentunya. Dengan paket ekspres 9 jam. Kiriman itu biasanya dipantau dari bendung Katulampa.

Bagi yang belum tahu di mana lokasi bendung Katulampa, lokasinya kira-kira ada di dekat loket tol Ciawi. Kalau kita membayar tol ketika keluar dari arah Jakarta, di sebelah Kanan kita bisa melihat sungai, dan samar-samar terlihat jembatan. Itu bendung Katulampa. Saya kadang-kadang lewat di atasnya dengan mengendarai motor. Waktu banjir mencapai puncaknya kemarin, kalau tidak salah motor tetap bisa menyeberang dengan catatan pengemudinya tidak ngeri melihat derasnya air.

Bendung Katulampa ini, seperti juga pintu air Manggarai, pada umumnya diingat oleh warga 1x dalam setahun. Ketika banjir itu. Sisanya, jika kita menyebut Katulampa, orang akan lebih teringat akan sebuah toko tas dan kerajinan kulit di Bogor. Tas Katulampa. Mungkin memang seperti itulah cara kita menghadapi musibah akibat kelalaian kita sendiri: berteriak pada saat terjadi, dan dengan cepat melupakannya.

Katanya, bahkan keledai tidak akan terperosok di lubang yang sama dua kali. Dan ini banjir terbesar ketiga dalam 15 tahun terakhir. It's getting worst.

Tidak lupa saya mengingatkan kepada rekan-rekan yang ada di Jawa, cuaca buruk ini bergeser ke Timur (Sumatera banjir di awal Januari/akhir Desember). Jadi ada baiknya bersiap-siap.