Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Saturday, February 16, 2008

Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji : "Jangan Pernah Setori Saya"

Mau nangis rasanya bacanya. Terharu. Mari kita doakan berhasil, seiring jg dengan doa kita agar kesejahteraan aparat TNI-Polri juga semakin membaik.

Maju terus Pak, kami beserta anda!


*Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji,*

*"Jangan Pernah setori Saya"*

*Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008*

RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H.,
M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai
tingkat polres hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke
Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu
baru dimulai pukul 16.00 WIB.

Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit.
Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan
"menyentak".
Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang
kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.

Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan
(tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya).
"Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari
gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi
pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah
ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.

Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari
pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan
bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.

Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah,
menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan
masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami
dari Ny. Herawati itu.

Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di
lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke
pimpinan teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno
tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil
Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK
adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.

Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri
dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar
menguak korupsi.

Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?

Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja
sebagai seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan.
Terbayang ¢kan betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan
yang pas-pasan. Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol
karena gratis.

Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa
di antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat.
Sepertinya, enak sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat.
Sejak itulah, terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara
ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya
sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di
PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa
menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan
uang rakyat. Ada kepuasan batin.

Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang
melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar ?

Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau
pungli, terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah
korupsi.
Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak
zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum
yang korup.
Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau
kitanya sendiri korupsi.

Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam,
baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati,
direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi.
Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini.

Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan
tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu
pejabat-pejabat di Polda.
Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.

Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di
Polda Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi
yang bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang
ketik, atau petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran.
Akan tetapi, dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.

Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam,
seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari
pengusaha-pengusaha , mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil
anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit
dari dirlantas, direskrim, atau kapolwil. Tidak juga mengambil
anggaran mereka, atau uang bensin mereka.

Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan
karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja.
Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.

Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?

Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita
menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut
nama kita jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak
akan jatuh merek dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi
berbintang yang korupsi.
Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran.

Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang
saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya
pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan.

Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi.
Polisi itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa
lebih tidak terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak
korupsi.

Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus
korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik
tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan
alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan
waktu lama?

Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh
lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap
kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak
kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan
beberapa kemungkinan lainnya.

Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat.
Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal
dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah
ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala
projek, dan rekanan. Itu saja.
Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam
memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus
diakui, itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu
nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan.

Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda.
Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang.
Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau
saya, jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa
sih duit banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya
saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang
tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah
kerja semua. Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.

Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap
kasus korupsi?

Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah
bersih di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan
menjadi salah satu target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus
korupsi biar Jabar bergetar.

Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut
kasus-kasus korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK
pasti mau membantu asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya.
Kita juga bisa diberi kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap
"bermain" bagaimana bisa dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama
kita, maka banyak kasus yang masuk.

Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot.
Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib
administrasi, salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara
berbasis IT yang terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa?
Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk.

Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah
perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu
isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada
klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres,
dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor
boleh di mana saja.

Kita juga harus mempertanggungjawab kan hal itu ke pelapor dengan
mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik
ini, ini, dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan
menjadi standar penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua
ini karena sistemnya ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak
suka yang pabaliut-pabaliut.
Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang
tidak tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar
tidak?

Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar
kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan
anggaran yang minim.
Menurut Anda?

Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau
anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik.
Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain.
Siapa yang suruh?
Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik.
Kita tidak perlu sok pahlawan.

Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu
ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat
serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani
kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus
agar tidak ada lagi sistem setoran.

Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga
karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau
bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha
judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya
Rp 5-6 juta.

Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya.
Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.

Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di
lingkungan kepolisian?

Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas
dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan.
Titik.

Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan
kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan
sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua
jalan petantang-petenteng , tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi
dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong
kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing
(pengawalan) , sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.

Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya
korup dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya
dengan pelacur.

Tuesday, February 12, 2008

Kita Masih Serumpun?

Saya pernah membaca, entah di mana. Cina begitu marahnya dengan Jepang, karena Jepang menginvasi Cina di sekitar perang dunia II. Mungkin Cina merasa lebih 'tua' dari Jepang. Selama ribuan tahun kisah invasi adalah invasi Cina ke Jepang, dan sebaliknya. Tiba-tiba Jepang menduduki tanah Cina.

Marah itu bersisa sampai sekarang. Kalau ada kunjungan dari PM Jepang ke kuil untuk menghormati pahlawan perang dunia II, hubungan Cina-Jepang, atau Korea-Jepang akan memburuk. Orang Cina, konon, tidak sudi memakai produk Jepang jika tidak terpaksa. Itu sebabnya, mereka lebih suka memakai produk buatan sendiri walau pun jelek mutunya, ketimbang impor dari Jepang.

Indonesia, tidak punya sifat seperti itu.

Dari kecil kita diajarkan memaafkan. Jangan mengungkit-ungkit keburukan orang lain. Akhirnya kita menjadi bangsa yang super ramah. Kalau ada orang menegur saya di jalan, bertanya atau lainnya, secara reflek saya akan tersenyum. Bukannya itu jelek, tapi sering kali saya berpikir bahwa saya seharusnya memahami betul apa yang diucapkan oleh orang itu sebelum saya betul-betul tersenyum. Bayangkan, misalkan, saya bertemu seseorang di jalan yang mengatakan pada saya,"Permisi Mas, anda kelihatannya ndeso banget." Secara reflek saya akan tersenyum. Sudah diajarkan dari kecil.

Jadi begitulah. Malaysia saat ini negara pengekspor kayu lapis, salah satu yang terbesar di dunia. Mereka membanggakan diri berhasil melakukannya dengan menjaga hutan mereka. Dengan cepat kita bisa berkesimpulan, mereka bisa melakukannya karena yang dibabat adalah hutan Indonesia, diselundupkan ke Malaysia. Setiap kayu yang masuk ke Malaysia dianggap sah jika sudah membayar retribusi. Malaysia tidak peduli jika itu kayu ilegal di Indonesia.

Setelah hutan kita digunduli, ikan kita dicuri, TKI kita dipukuli, wisatawan kita di razia (hanya karena orang Indonesia), pulau kita diklaim, kesenian kita diaku, kita masih tersenyum. Mungkin karena didikan sejak kecil. Dalam kasus-kasus yang panas, Presiden Indonesia bahkan masih mengatakan Malaysia adalah kawan baik Indonesia, teman serumpun. Saya merasa aneh, ketika Malaysia menyatakan hal yang sama hanya di saat mereka membutuhkan sesuatu dari Indonesia. Misalkan ketika kita marah tentang Reog, mereka bilang,"Ah sudah jangan diributkan, kita kan serumpun." Enak di loe nggak enak di gua.

Only the paranoid survive. Ada yang bilang begitu. Saya cenderung setuju. Singapura begitu takutnya akan digilas oleh Indonesia dan Malaysia, kita bisa lihat hasilnya. Bagai mana dengan Indonesia? Indonesia seolah tidak pernah punya masalah. Tapi sebetulnya, masalah apa yang belum datang di Indonesia? Dan kita masih butuh tantangan untuk lebih berusaha?
Pagi ini, dua berita sekaligus mengganggu pikiran saya. Pertama, AL Singapura menerima 3 lagi frigat kelas formiddable. Perlu diketahui di sini, postur AL Singapura kalah jauh dari TNI AL. Tetapi pembaharuan yang dilaksanakan akhir-akhir ini jelas lebih meyakinkan di pihal Singapura. Kita membeli 4 korvet, mereka membeli 6 frigat (kelas frigat di atas korvet). Konon kabarnya senjata anti serangan udara dan harpoon yang ditenteng frigat Singapura lebih canggih, lebih jauh jangkauannya. Mereka juga mengakuisisi beberapa kapal selam dari Swedia. Kalau anda membayangkan Singapura, lautnya tidak lebih besar dari Teluk Jakarta. Jadi buat apa mereka memiliki angkatan laut seperti itu? Pesawat tempurnya memasuki wilayah udara Indonesia begitu lepas landas, dan mereka mempunyai lebih banyak pesawat tempur dan tentunya dijamin lebih canggih. Buat apa? Di mana kapal selam singapura berkeliaran kalau bukan menyerempet-nyerempet laut kita?

Dan kita tidak merasa itu mengganggu kita. Toh Singapura masih saudara kita, teman baik. Kalau Singapura tahu-tahu mengebom kilang minyak Dumai atau Jakarta, kita mau apa? Paling bilang,"Sebagai negara serumpun pakcik tidak boleh begitu."

Berita kedua, adalah Malaysia mulai melatih rakyat sipil sebagai paramiliter. Saya pikir-pikir, membaca berita Malaysia ini seperti nostalgia orde baru. Persnya memuja-muja pemerintah, tidak pernah ada berita jelek. Pemerintahnya sukses luar biasa (menurut pers Malaysia). Tidak boleh demonstrasi. Tidak banyak partai pilihan. Kalau UMNO tidak menang tidak dibangun daerah itu (seperti Golkar dulu). Dan sekarang mereka mulai ikut menggalakkan paramiliter. Seberti jaman pamswakarsa (pamswakarsa memang jaman reformasi, tapi sisa Orba).
Yang mengganggu, sebagian yang dilatih adalah WNI di perbatasan. Sehingga ditakutkan oleh Komandan TNI di sana, kalau terjadi sesuatu maka TNI terpaksa menembaki warga Indonesia, saudara sendiri. Saya heran sama sekali mengapa pers tidak menganggap hal ini berita penting, tidak ada yang meletakkannya di halaman pertama.

Bayangkan kembali anda berada di sekolah. Anda memiliki teman-teman 'preman' (bully). Anda bisa diam saja, menuruti semua kemauan mereka, dan mereka akan terus mengambil apa yang bisa didapatkan dari anda. Atau anda bisa juga berdiri (stand up) dan melawan mereka. Tidak ada bedanya dengan seorang murid SD, sebuah negara harus melakukan hal yang sama.

Sunday, February 10, 2008

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Artikel ini dimuat di Kompas beberapa waktu yang lalu. Saya lupa telah berniat menaruhnya di blog. Tetapi baru saja ada yang memposting di milis. Syukurlah. Ayo kita maju bersama!


Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia
Sabtu, 26 januari 2008 | 02:17 WIB

Koh Young Hun

Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, ”sikap rajin bekerja”. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, ”sikap hemat”, yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, ”sikap self-help”, yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. ”Rajin pangkal pandai...” dan ”sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.

”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.

”Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.

”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!” bantah si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

Koh Young Hun Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

Wednesday, February 06, 2008

Saya Belum Ngeblog Tentang Pak Harto

Mereka yang kenal saya, tentu sedikit heran bahwa saya belum menulis sedikit pun sekitar Pak Harto di Blog saya.

Permasalahannya sebetulnya ada dua.

Pertama, Pak Harto baru saja sakit dan meninggal, saya tidak merasa cukup enak buat menulis tentang beliau dikarenakan hal tersebut. Namun demikian saya tegaskan bahwa saya tidak setuju jika dinyatakan ajaran agama melarang membicarakan keburukan orang yang sudah meninggal, keburukan saudara sendiri. Saya bukan saudara Pak Harto, itu pasti. Tapi yang lebih penting, harus dibedakan antara bergunjing dan membicarakan fakta dengan harapan ada sesuatu yang bisa dipelajari darinya. Ini juga bukan urusan dendam. Saya tidak memaafkan Pak Harto juga semata karena tidak pernah ada dosa langsung Pak Harto ke saya (misalkan Pak Harto bilang,"Dhita, kamu gendut dan malu-maluin"). Walau jelas kepemimpinan Pak Harto sangat mempengaruhi hidup saya.

Aneh, kalau kita tidak boleh bicara tentang hal-hal negatif, ya departemen sejarah dan sebagian departemen agama harus ditutup.

"Abu Jahal itu orang yang memegang prinsip sampai akhir hayatnya."

atau

"Abu Lahap entrepreneur tangguh dan gigih."

atau

"Daendels adalah project manager yang kukuh dan all out."

Begitulah kita membahas sejarah jika tidak boleh membahas hal-hal negatif dari orang yang sudah tidak ada.

Kedua, menuliskan tentang Pak Harto sangatlah sulit buat saya. Banyak hal yang sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata. Sulit bagi saya untuk menulis sebuah tulisan tentang Pak Harto yang memenuhi kriteria saya pribadi.

Jadi sampai saat ini saya belum menulis tentang Pak Harto. Yang bisa saya tuliskan di sini adalah, buat saya keberhasilan Pak Harto lebih banyak omong kosongnya, termasuk mitos tentang keberhasilan pembangunan dan swasembada beras.

Yang tidak terbantahkan suksesnya cuma KB. Yang lain masih bisa dibicarakan. May be next time.

Heath Ledger dan Arnold

Saya memang mendengar bahwa Heath Ledger meninggal. Awalnya saya kira Heath Ledger seorang aktris wanita. Baru saya tahu bahwa dia seorang aktor. Dan seorang aktor yang saya kenal.

Entah bagai mana saya menyukai Heath Ledger, walau saya tidak tahu namanya sebelumnya. Di film seperti The Patriot atau A Knight's Tale. Dia terlihat sebagai seorang aktor yang baik. Aktor yang terlihat baik lainnya misalkan Matt Damon. Tidak neko-neko, berbakat, serius. Dan saya berharap di masa depan akan menyaksikan karya-karya mereka lainnya.(saya bagai mana pun kurang antusias menonton Brokeback Mountain). Sayang sekali tampaknya tidak mungkin lagi dalam kasus Heath Ledger.

Beberapa malam yang lalu saya menonton acara Pimp My Ride. Saya selalu mengagumi kerja kru Pimp My Ride, walau tidak pernah memahami untuk apa speaker sebesar itu ditaruh di mobil (volume radiotape mobil saya jarang lewat dari 15, umumnya di sekitar 11).

Nah yang menarik, malam mereka memodifikasi sebuah Impala. Setelah selesai, mereka mengisinya dengan biodiesel 100%, dan menandingkannya dengan Lamborghini baru. Dan impala menang. Pesannya,"Biodiesel is cool."

Menarik sekali, sebuah kebijakan publik ditumpangkan pada acara komersial. Tentu efeknya akan mengena. Dan kemudian, datanglah gubernur California ke bengkel mereka. Yap, Arnold Schrwazeneger (apakah benar ejaannya?).

Saya selalu menganggap enteng Arnold. Dari penampilannya sekilas saya menyimpulkan dia msh agak jauh levelnya dalam proses evolusi, dan kurang cerdas. Hehehe.

Tetapi sesungguhnya dia seorang businessman yang berhasil. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan Stallone, misalkan. Dan ketika Arnold menjadi gubernur, saya masih menyepelekannya.

Kenyataannya, Arnold tampaknya lebih pintar dari presiden Amerika saat ini, Mr. Bush jr (presiden yang satu ini tampaknya sangat tidak pintar, anyway). Dalam pandangan saya. Arnold begitu serius dengan masalah pemanasan global. Amerika menolak protokol Kyoto, tapi negara bagian California di bawah pimpinan Arnold menerapkan standar emisi yang mengikuti Kyoto. Malam itu, Arnold jg yang mensponsori pemakaian biodiesel di Pimp My Ride.

Two thumbs up buat Arnold! I owe you an apology. Good Luck Mr. Terminator.

Bela Sungkawa untuk Para Prajurit Marinir

Yang selalu ditakutkan itu terjadi. Tank amfibi tua kita tenggelam. Tidak ada yang kaget. Beberapa tahun lalu ada berita bahwa ketika latihan gabungan dengan marinir AS, marinir AS tidak berani naik tank tua itu. Prajurit kita memang pemberani.

Tetapi itu selalu membuat kesal saya. Bayangkan seorang pilot yang menaiki helikopter berumur 40 tahun. Saya saja malas naik mobil berumur 25 tahun milik Bapak saya. Takut mogok di jalan. Dan kalau pesawat mogok di udara?

Selalu dikatakan,"Tapi itu sudah diretrofit, direpowering, dan layak pakai." Omong kosong. Kenapa pesawat kepresidenan tidak pakai pesawat tahun 60-an saja yang sudah di-retrofit dan direpowering kalau begitu?

Khusus masalah tank ini. Sebetulnya saya kira harganya tidak mahal. Tahun lalu Indonesia memutuskan membeli 20 tank BMP-3 baru dari Rusia, harganya USD 1,7jt per buahnya, atau sekitar 15 Milyar. Di jalan kita lihat bagai mana tentara mampu membeli Land Cruiser atau sedan mewah. Jadi di mata saya, hal ini semata tidak diprioritaskan. Mumpung tentara Indonesia pemberani.

Memang negara ini aneh. Lion Air mampu membeli 60 pesawat sedang TNI AU tidak mampu. Luar biasa tidak wajar. Perlu diketahui harga sebuah pesawat tempur tidak lebih mahal dari sebuah Boeing 737.

Saya pikir sudahlah, kalau memang dananya tidak ada, ya sudah tidak dipakai. Panser-panser itu dikandangkan saja dan nyatakan saja TNI AL tidak punya panser. Nggak usah dipaksakan memakai yang tua.

Panglima TNI AL mengatakan bahwa tenggelamnya tank amfibi harus dijadikan pelajaran. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Dengan tetap dipakainya panser itu kita tahu bahwa ternyata Panglima TNI AL sendiri tidak belajar dari tenggelamnya panser itu.