Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, September 23, 2009

Catatan Iseng Lebran 2009

Ramadhan kali ini rasanya payah sekali. Kalau dilakukan self-assessment dan self-evaluation, maka saya akan beri diri saya nilai C. Itu juga sudah di ambang batas bawah D. Duh, mohon maaf ya Allah. Mudah-mudahan apa yang saya kerjakan boleh dimasukkan dalam kategori berjuang, sehingga masuk dalam nilai ibadah yang pahalanya berlipat ganda di bulan Ramadhan.

Hikmah yang saya dapat dari puasa kali ini adalah, bahwa jauh lebih sulit untuk menahan diri setelah bulan puasa selesai dibandingkan waktu sedang puasa itu sendiri. Saya sendiri tidak terlalu terganggu dengan lapar. Saya lebih tidak tahan dengan hausnya. Seperti selalu saya deskripsikan diri saya sendiri, saya seorang peminum.

Jadi waktu bulan puasa itu saya sempat ke Singapura. Dan saya perhatikan (terakhir ke sana saya tidak memperhatikan) bahwa di sana sedang banyak minuman dengan nama ‘Bandung’. Saya sempat cicip 2-3x. Kesimpulan saya, ini adalah sirup campolay + susu kental manis. Tanpa soda. Untuk mereka tidak member nama minuman ini ‘Sabah’ atau ‘Sarawak’ misalkan.

Malaysia ini memang kelewatan. Mereka jualan peyek bungkusan dengan cap bertuliskan ‘makanan terenak di Malaysia’ (saya tidak tahu harus sedih karena peyek juga sudah diklaim atau karena makanan terenak di Malaysia ternyata cuma peyek?), mereka menjual album religi menjelang Lebaran yang isinya melulu lagu-lagu Indonesia (‘selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin’, ini saya yakin lagu Indonesia karena dulu didendangkan di jaman Orba untuk Pak Harto), dan ternyata di brosur wisata mereka, kalau kita jalan-jalan ke Negeri Sembilan maka kita harus melihat rumah khas Minangkabau yaitu rumah Gadang.

Hebat sekali mereka, payah sekali kita.

Kembali ke minuman tadi. Jadi sesampainya di Bogor saya mengkonfirmasi untuk membuat minuman Bandung. Dan ternyata rasanya sama. Saya bikin tiap hari, sambil mencari soda. Ternyata soda sekarang susah dicari. Harus di supermarket besar dalam kemasan kaleng. Untung saja ada. Tapi kemudian ternyata Campolaynya yang habis.

Campolay ini ternyata laris keras kalau Lebaran. Susah dicari. Beberapa tahun lalu waktu istri saya dinas di Cirebon, saya sempat khawatir sirup ini hampir punah karena kekurangan penggemar. Ternyata saya salah. Syukurlah.

Jadi saya minum Bandung, dan soda-soda lainnya, selama beberapa hari Lebaran. Ini tampaknya menyumbangkan beberapa kg lemak tambahan untuk saya ‘recovery’ ke berat badan semula. Tidak ada kerjaan di rumah, membaca koran dan internetan.

Noordin sudah tertangkap, mati. Sekarang sedang ribut-ribut kasus KPK. Jadi semua orang lupa dengan bank Century. Negara ini memang kebanyakan masalah dan kelamaan memutuskan penyelesaiannya. Sudahlah.

Btw, hmm... saya koq akhir-akhir ini merasa ragu ya untuk berpendapat bebas. Takut di-Pritakan gitu. Mudah-mudahan tidak terjadi ya, mudah-mudahan kita di Indonesia tetap bebas berekspresi.

Yang jelas, kalau rajin mendengarkan radio, kita bakal tahu bahwa radio-radio sekarang sedang senang memutar lagu-lagu Krisdayanti. Hehehe. Mungkin Indonesia berduka karena pasangan ideal versi selebriti ini putus.

Hanya tadi koq saya baru menyadari lirik lagu yang dinyanyikan oleh KD dan Anang beberapa waktu lalu ternyata isinya semacam ramalan:

“Tak pernah kusesali, pengalaman cinta ini
Wanita terindah, pernah jadi milikku”


Koq pakai kata pernah ya? Berarti ini lagu yang dikarang di masa ini dan dinyanyikan di masa lalu. Sedikit seperti back to the future kedengarannya.

Sudah ah, saya mau minum Bandung dulu. Mohon maaf lahir bathin, semoga Allah SWT. menerima amal ibadah kita. Selamat Lebaran.

Saturday, September 19, 2009

Pertamina, Tari Pendet, dan Petronas

Kurtubi

Dalam kesempatan peluncuran buku ”Ibnu Sutowo, Saatnya Saya Bicara” yang dihadiri oleh Wapres, Dubes Malaysia, Menteri ESDM, direksi Pertamina, dan kalangan masyarakat perminyakan, penulis memaparkan mengenai pengembangan industri perminyakan di Indonesia yang dipelopori oleh pendiri Pertamina almarhum Ibnu Sutowo.

Ibnu Sutowo mengembangkan industri migas nasional melalui entitas bisnis milik negara. Dimulai dengan PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatra Utara (ETMSU) pada tahun 1957. PT ETMSU diubah menjadi Permina, kemudian menjadi PN Pertamina yang merupakan hasil merger dari tiga BUMN: Permina, Pertamin, dan Permigan. Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina diberikan kuasa pertambangan (KP) dan sekaligus wewenang bekerja sama dengan perusahaan minyak asing menggunakan kontrak model kontrak production sharing (KPS).

Model KPS merupakan inisiatif Ibnu Sutowo karena tidak puas dengan model kontrak karya (KK) meskipun bagian negara jauh lebih baik bila dibandingkan dengan model konsesi berdasarkan Indische Mijn Wet 1899. Tetapi, karena manajemen sepenuhnya masih berada di tangan perusahaan minyak asing, maka Ibnu Sutowo sangat tidak menyetujui model KK ini. Ibnu muncul dengan konsep KPS di mana manajemen sepenuhnya di tangan Pertamina yang akan dapat menjamin kedaulatan negara atas sumber daya alamnya, di samping bagian negara jauh lebih besar dibandingkan sistem konsesi maupun sistem KK.

Model pengembangan industri migas melalui BUMN dengan kontrak model KPS inilah yang kemudian diadopsi/ditiru oleh Malaysia dengan Petronas-nya. Petronas diberi wewenang bekerja sama dengan perusahaan minyak asing secara business to business (B to B) dengan menggunakan model KPS seperti yang dipelopori oleh Ibnu Sutowo.

Adopsi oleh Malaysia dalam bidang perminyakan ini tentu berbeda sekali dengan adopsi dan klaim Malaysia di bidang kebudayaan, seperti klaim terhadap tari reog maupun tari pendet yang belakangan menjadi pembicaraan hangat dan keprihatinan di Indonesia.

Lagi pula, model KPS juga diadopsi oleh sekitar 30 negara. Malaysia mengakui model KPS sebagai model kontrak yang dipelopori oleh Ibnu Sutowo/Pertamina. Ini dinyatakan secara implisit oleh mantan PM Mahathir Mohamad dan mantan Menteri Keuangan Malaysia Tengku Razaligh dalam tayangan video pada saat launching (peluncuran) buku Ibnu Sutowo beberapa waktu lalu di Hotel Sultan.

Akan tetapi, dengan UU Migas No 22/2001, model yang sudah banyak ditiru di sejumlah negara tersebut justru kini di negeri sendiri terancam musnah. Ini berbeda sekali dengan kreasi anak bangsa di bidang kebudayaan yang banyak ditiru oleh Malaysia. Meskipun tari reog, tari pendet, atau kreasi-kreasi kebudayaan lainnya banyak ditiru dan dijadikan ikon oleh Malaysia, justru kekayaan kebudayaan nasional tersebut tetap terpelihara dan tetap hidup di tengah masyarakat. Tidak dihapus atau dimatikan.

Dengan UU Migas, KP dicabut dari Pertamina. Akibatnya, Pertamina tidak lagi berwenang atau berfungsi sebagai ”pemilik” yang mewakili negara atas aset dan cadangan migas yang ada di perut bumi Indonesia. Pertamina tidak lagi berhak untuk mengembangkan dan menjual migas bagian negara yang berasal dari kontraktor KPS, termasuk pengembangan dan penjualan LNG yang berasal dari lapangan gas perusahaan minyak asing.

Dengan demikian, pengembangan LNG Tangguh tidak bisa otomatis dilakukan oleh Pertamina sebagaimana halnya Pertamina pada tahun 1970-an mengembangkan dan menjual LNG Arun dan Badak yang notabene gasnya berasal dari lapangan gas perusahaan minyak asing.

Kini yang terjadi justru sebaliknya. Lapangan gas yang ditemukan dan dioperasikan sendiri oleh Pertamina di Sulawesi Tengah justru oleh Pertamina diserahkan kepada pihak lain untuk dikembangkan dan dijual dalam bentuk LNG. Padahal, Pertamina sejak tahun 1970-an sudah sangat berpengalaman mengembangkan dan menjual sendiri LNG ke luar negeri dengan formula harga jual yang sangat visioner dan menguntungkan negara.

Selain itu, kini blok-blok yang potensial mengandung cadangan migas yang besar tidak otomatis bisa digarap oleh Pertamina, tetapi justru diberikan kepada pihak lain. Aset/peralatan yang dibeli oleh perusahaan minyak asing dalam rangka KPS dan dibebankan sebagai cost recovery tidak lagi otomatis menjadi aset Pertamina. Bahkan, aset LNG Arun dan Badak yang sejak semula merupakan bagian dari aset Pertamina oleh UU Migas harus dikeluarkan dari Pertamina.

Status

Dengan UU Migas, status Pertamina disamakan dengan perusahaan minyak asing. Jadilah Pertamina menjadi ”asing” di negerinya sendiri. Tapi anehnya, perusahaan minyak asing tetap bisa ”menikmati cost recovery”, sementara cost recovery PT Pertamina tidak bisa dimanfaatkan oleh Pertamina dan harus dikembalikan kepada negara!

Singkat kata, dengan UU Migas No 22/2001, Pertamina dikerdilkan secara sistemik baik wewenang, cakupan kegiatan bisnis, maupun asetnya. Menurut majalah Forbes, pada 2007 aset Petronas sekitar 125 miliar dollar AS, sementara aset Pertamina pada tahun yang sama hanya sekitar 25 miliar dollar AS atau hanya seperlima aset Petronas!

Kini faktanya, Pertamina sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Petronas. Petronas yang tetap konsisten dengan apa yang ditiru dari Pertamina kini terbukti telah berkembang menjadi salah satu perusahaan minyak raksasa dunia. Pada tahun 2008 Petronas meraup revenues sekitar 77 miliar dollar AS (Rp 770 triliun) atau sekitar 80 persen dari RAPBN 2010.

Petronas berada di urutan nomor 95 dari 500 perusahaan terbesar versi majalah Fortune. Keuntungan Petronas tahun 2008 sebesar 15,3 miliar dollar AS (sekitar Rp 153 triliun), menempatkan Petronas pada posisi ke-13 dari 40 perusahaan dunia yang memperoleh keuntungan paling besar (Fortune, 24 Agustus 2009).

Jangan sedih Indonesia! Peluang Pertamina untuk bisa melampaui Petronas masih sangat terbuka. Caranya sederhana, yaitu dengan mengadopsi kembali apa yang pernah ditiru oleh Petronas dari Pertamina. Untuk itu, segera amandemen UU Migas No 22/2001 atau Presiden SBY segera mengeluarkan perppu. Dalam beberapa tahun, aset dan revenues Pertamina pasti akan melampaui aset dan revenues Petronas.

Soalnya, luas wilayah dan potensi sumber daya migas Indonesia lebih dari 10 kali luas wilayah dan potensi sumber daya migas Malaysia. Pasar dalam negeri, pengalaman, dan SDM juga sangat mendukung. Tinggal kemauan saja. Percayalah!

Kurtubi Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs Paris

Thursday, September 03, 2009

That's Life

Another song from Buble. Keep on fighting guys!!!



(Don't let it get you, don't let it get you down
For this world keeps on spinning 'round)

That's life
That's what all the people say
You're riding high in April
You're shot down in May
I know I'm gonna change that tune
When I'm back on top in June

I say that's life
And as funny as it may seem
Some people get their kicks
Stompin' on your dreams
But I don't let it, let it get me down
'Cause this fine ol' world keeps spinning 'round

I've been a puppet, a pauper, a pirate,
A poet, a pawn & a king
I've been up & down & over & out
But I know one thing
Each time I find myself, flat on this face
I pick myself up & get back in the race

That's life
I can't deny it
I thought of quitting, baby
This heart wasn't gonna buy it
And if I didn't think it was worth one single try
I'd jump right on a big bird & then I'd fly

I've been a puppet, a pauper, a pirate,
A poet, a pawn & a king
I've been up & down & over & out
And I know one thing
Each time I find myself flat on my face
I pick myself up & get back in the race

That's life
That's life & I can't deny it
Many times I thought of cutting out
But my heart won't buy it
But if there's nothing shakin' come this here July
I'm gonna roll
I'm gonna roll
I'm gonna roll myself up in a big ball & die
Can't deny it
That's life

Tuesday, September 01, 2009

Menonton Merah Putih



Dengan semangat, saya mengajak istri saya menonton ‘Merah Putih. Film ini diproduseri oleh Hasyim (kakak/adik dari Prabowo Subianto) dan konon memakan dana sampai 20 milyar rupiah. Tidak tanggung-tanggung, penata efek, penulis skenario dan banyak ‘orang penting’ lainnya dalam film ini ditarik langsung dari Hollywood.
Katanya, penulisan naskah skenarionya sampai 2 tahun. Mantab.

Film pun mulai, dibuka dengan adegan kekejaman tentara Belanda yang membunuh satu keluarga di Sulawesi sana. Kekejaman tentara Belanda membunuh satu kampung diulangi lagi nanti di belakang.

Inti cerita, para pemuda dari latar belakang yang berbeda-beda bergabung dengan Sekolah Tentara Rakyat di suatu tempat di Jawa Tengah untuk menjadi perwira. Kemudian tiba-tiba Belanda menyerang dan membunuh hampir semua siswa dan instruktur (yang jumlahnya puluhan) dan menyisakan 4 orang saja. Keempat orang ini kemudian bertekad membalas dendam dan memporak-porandakan Belanda.

Di awal-awal film, dikisahkan bagai mana terjadi perseteruan antara kadet-kadet dari latar belakang yang berbeda (Kristen lawan Islam). Mungkin maksudnya untuk mengingatkan bahwa pejuang jaman dulu bisa mengatasi perbedaan. Tapi saya pribadi menganggap permasalahan ini terlalu mengada-ada. Saya tidak yakin bahwa dulu pertentangannya begitu keras. Apalagi di Jawa Tengah. Yang lebih membuat aneh, orang Islam tengil-nya diwakili oleh tokoh Marius. Seorang priyayi Jawa yang diperankan oleh Darius…

Coba anda bayangkan seorang priyayi Jawa pada jaman itu. Bayangkan nama Mangoensastro, Sastrowardojo, Mangoenkoesoemo, apa saja. Dan kemudian bayangkan Darius. Saya yakin dia lebih cocok memerankan Westerling.







Saya minta maaf pada Darius. Bukan saya melecehkan dia. Saya mempertanyakan yang melakukan casting.

Jadi film ini punya banyak faktor yang kuat menurut saya: casting yang aneh, dialog yang aneh, cerita yang aneh, kostum yang aneh, dan akting yang aneh.

Kalau sedikit kita belajar sejarah, kita tahu bahwa sekitar tahun 1945 sampai dengan agresi militer Belanda ke-2, yaitu di 19 Desember 1948, Jawa Tengah dan Jogja ada dalam kekuasaan Republik. Bahkan setelah agresi militer ke-2 Belanda hanya menguasai kota-kota. Karena itu Presiden pindah ke Jogja, ITB (Sekolah Tinggi Teknik Bandung) pindah ke Jogja, bahkan divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah (long march Siliwangi yang tersohor tea).

Kecil kemungkinannya, menurut saya, Belanda bisa menyerang akademi militer Repulik di Jawa Tengah tanpa ketahuan dan menghabisi semua orang. Kemudian kalau pun itu terjadi dan tersisa 4 orang, yang paling masuk akal adalah ke-4 orang itu akan bergabung dengan gerilyawan yang ada di sekitarnya.

Untuk skenario seperti itu butuh 2 tahun? My God.

Hebatnya, setelah bertempur semalaman, di hutang dan di sungai, para pahlawan kita masih memakai baju yang bersih, hanya kotor sedikit. Bahkan kalau mau diperhatikan, topi pet mereka masih tersimpan dengan rapi di bahu. Wow.

Saya bukan bermaksud mencela-cela film ini. Cuma kritik saja. Kritik pedas. Hehehe.
Kalau bisa membuat film perjuangan yang sedikit lebih realistis lah. Sudah bayar bule mahal-mahal, koq hasilnya begini. Ledakannya lumayan keren sih.

Sedikit cerita. Jadi dulu bapak dan kakak-kakak dari nenek saya ditangkap Belanda. Setelah ditangkap, mereka dibawa keliling kota untuk menunjukkan siapa gerilyawan lainnya. Kemudian Belanda dating ke rumah Iyut (ibu dari nenek) saya untuk mencari senjata (yang disembunyikan di sumur).

Kemudian Belanda menawari Iyut saya roti dan makanan yang enak-enak, kalau mau memberitahu siap saja gerilyawan di kota itu.

Belanda tidak memukuli Iyut saya, tidak membunuh sekeluarga atau sekampung. Ada kasus Westerling, dan saya tidak mengatakan bahwa Belanda tidak kejam. Saya mau mengingatkan, waktu Bung Karno dibuang ke pulau Banda, beliau mendapatkan tunjangan dari pemerintah Hindia-Belanda yang cukup untuk membeli buku (mungkin kalau sekarang via Amazon karena bukunya sampai tuh di Banda), cukup untuk nraktir-nraktir penduduk lokal. Beda dengan Orde Baru waktu membuang orang ke pulau Buru. Jangankan member tunjangan, melihara ayam aja diambil.

Saya ingin mengingatkan kita semua. Bagai mana kalau ternyata penjajah (dalam segala bentuknya) berwujud manis? Lebih manis dari bangsa kita sendiri? Atau mungkin juga saya ingin menanyakan, apakah kita tidak sedang dijajah atau menjajah bangsa sendiri?
Catatan terakhir saya, ini film perjuangan pertama seingat saya, yang Belandanya benar-benar diperankan oleh orang Bule. Bukan Indo Blasteran. Cuma ini juga salah, pada masa itu tentara KNIL banyak terdiri dari pribumi…