Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Wednesday, August 15, 2007

Ke Solo

Undangan dari Wahyu datang sedikit terlalu lambat untuk acara yang berlokasi di Solo, sekitar 2 minggu sebelum acara. Jadi tidak begitu banyak waktu untuk persiapan walaupun sebetulnya seperti biasa, persiapan dilakukan di akhir-akhir menjelang keberangkatan.

Saya hampir saja lupa untuk berangkat kalau Darmanto tidak menanyakan. Dia sendiri hendak berangkat dan mencari teman jalan. Sebetulnya saya malas jalan ke Solo tanpa istri, tetapi saya ingin datang ke nikahan Wahyu, dan kebetulan keadaannya memungkinkan. Jadilah saya katakan pada Darmanto bahwa saya akan berangkat.

Ini waktu yang kurang enak untuk berpergian. Beberapa waktu sebelumnya banyak kecelakaan bis sepanjang liburan sekolah. Kereta api tidak henti-hentinya anjlok. Dan pesawat terbang sendiri, walau kita tidak tinggal di Eropa tapi larangan terbang uni Eropa koq terngiang-ngiang. Saya sendiri cenderung memilih naik pesawat. Cepat, dan ternyata harga tiketnya lebih murah dari kereta api.

Saya tidak habis pikir bagai mana pesawat yang lebih mahal dari kereta api dan membawa penumpang lebih sedikit (100-an untuk pesawat dibandingkan 50-an per gerbong untuk kereta) bisa memberikan tarif yang lebih murah dari kereta api. Mungkin landasan pesawat hanya 1000 meter x 2 (di Jakarta dan di Solo) sedangkan panjang rel kereta api dari Jakarta ke Solo paling tidak 400-500km. Tapi kan rel itu dibangun dari jaman Belanda dan seharusnya sudah Break Even Point waktu jaman Jepang. Jadi tinggal dipelihara saja.

Tapi memang masalah perhitungan ekonomi di Indonesia sering aneh. Jalan tol dalam kota misalkan. Tarifnya direncanakan naik lagi. Mungkin di proposal dulu disebutkan bahwa tarif akan naik secara berkala. Dan mungkin harga dolar naik 4x lipat sejak proposal itu dibuat. Hanya saja kalau kita pikir-pikir lagi, jalan tol dalam kota itu dapat dipastikan menampung minimal 5x volume trafik yang direncanakan, sampai macet parah begitu. Jadi kenaikan dolar harusnya bisa dikompensasi oleh kenaikan volume.

Katakanlah memang masih merugi, koq tidak dibuka saja, setelah puluhan tahun beroperasi, sebetulnya di mana sih posisi pinjaman pemodal. Apakah sudah lunas? Apakah memang rugi? Di Amerika konon kabarnya, kalau tol sudah lunas, maka akan dijadikan jalan raya biasa.

Itu kan di Amerika. Mungkin di Amerika kalau tarif US 1 naik 50% artinya jadi US 1,2. Tetapi waktu terakhir kali tarif tol dinaikkan 10% (sesuai pengumumannya) maka jalur Bogor-Ciawi naik dari Rp 500,00 jadi Rp 1000,00 (Bogor-Jakarta naik dari Rp 4.000,00 jadi Rp 4.500,00). Kenapa nggak diumumkan saja kalau naik Rp 500,00.

Kembali ke cerita tadi, Darmanto cenderung naik kereta api, for the shake of safety. Dalam kasus seperti ini saya cenderung ikut saja. Kalau-kalau terjadi sesuatu dengan pesawatnya, ketika saya sedang berdoa sambil ingat pada keluarga, rasanya akan tambah berat kalau mendengar Darmanto bilang,"Tuh kan Dhit, gua bilang juga naik kereta aja..."

Saya berjanji mencari tiket kereta. Tetapi karena saya lambat (sedang banyak sekali urusan), akhirnya Darmanto yang membeli. Tinggal urusan hotel. Karena merasa bersalah lambat mencari tiket kereta, saya mencari hotel buru-buru.

Prinsipnya, saya suka mencari hotel kecil yang bagus. Misalkan di Cirebon ada Saresae. Di Bandung ada Wisma Dago. Saya ingin cari juga di Solo. Banyak orang yang ditanya bilang sebaiknya menginap di hotel Dana. Tetapi ada juga yang bilang Hotel Dana sudah tua. Jadi ada yang menyarankan hotel X. Buru-buru saya pesan. Kemudian datang pesan dari Darmanto,"Jangan di hotel X Dhit, kata temanku itu hotel remang-remang.". Wah, betul juga si Darmanto. Apa kata dunia kalau saya kepergok di hotel remang-remang. Bareng Darmanto pula...

Jadi saya tanya-tanya lagi. Hotel Novotel Solo ternyata cukup murah. Untuk standar room bisa didapatkan dengan Rp 350.000,00. Sementara hotel Dana Rp 210.000,00. Saya hampir saja memesan Novotel ketika saya berpikir, di kota di mana kita bisa berputar-putar naik becak dengan hanya membayar Rp 5000,00-10.000,00, koq rasanya tidak benar numpang tidur (saya toh tidak akan memakai fasilitas lainnya) di hotel seharga Rp 350.000,00 ketika hotel Rp 210.000,00 cukup. Akhirnya saya putuskan menginap di hotel Dana.

Ternyata hotel ini pernah menjadi tempat menginap Bung Karno tahun 50-an. Sebagai orang yang senang nostalgia, saya semakin bersemangat.

Akhirnya kami berangkat. Hampir 4-5 tahun tidak bertemu, Darmantor masih bisa mengenali saya. Artinya saya belum kelewat gendut. Kereta berangkat terlambat 20 menit (berangkat aja sudah telat), namun sampai cukup tepat waktu (aneh juga). Cukup beruntung, karena menurut tukang becak sejak kasus anjloknya Argo Dwipangga, kereta ke Solo dari arah Barat selalu terlambat.

Kabar baiknya, karena ada kamar kosong ternyata hotel sudah mau menerima kami pukul 5.30 pagi tanpa tambahan biaya. Hanya tidak ada sarapan. Fair enough, saya pikir. Saya sangat berterima kasih kepada hotel Dana karena saya sudah membayangkan masuk hotel pukul 13 (seperti di hotel lainnya) dan saya harus berjalan-jalan dulu membawa ransel.

Welcome to Solo. Dan ini foto Darmanto bergaya begitu menginjakkan kaki di Solo.

DCA dengan Singapura

Setelah berbulan-bulan, kontroversi tentang DCA dengan Singapura belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian. Untuk mengingatkan saja, perjanjian ini berisi pengaturan 2 masalah. Yang pertama adalah perjanjian ekstradisi buronan Indonesia dari Singapura. Yang kedua adalah diperbolehkannya pemakaian sebagian wilayah Indonesia oleh Singapura dengan pengaturan dari pihak Indonesia. Sebagai kompensasinya, Singapura akan membangun pusat latihan modern (dan mahal) di Riau untuk dipakai bersama dengan TNI dan menjadi milik Indonesia dalam 20 tahun.

Sebetulnya agak aneh kalau dua hal yang berbeda ini dijadikan satu perjanjian, sehingga kita dengan cepat menduga bahwa poin kedua adalah trade-off dari poin pertama. Sebagian besar menolak dengan alasan nasionalisme: wilayah kita tidak boleh dipakai oleh militer negara asing. Kita harus jadi tuan di negara sendiri. Sebagian lagi mendukung dengan alasan yang terdengar logis juga: latihan semacam ini sudah jalan dari dulu, Indonesia mengatur sepenuhnya, dan Indonesia membutuhkan tempat latihan untuk membina TNI yang profesional.
Saya punya beberapa catatan sendiri tentang ini.

Pertama, saya berkeyakinan walau pun Singapura tidak mendukung larinya buronan Indonesia ke Singapura, mereka diuntungkan dengan larinya uang panas ke sana. Dan saya kira Singapura tidak ambil pusing tentang asal uang itu. Sehingga, pada saatnya mereka akan enggan (hesitate) untuk melaksanakan ekstradisi. Atau paling tidak, mereka berkeyakinan bahwa pemerintahan Indonesia yang lamban (dan korup?) tidak akan mampu memanfaatkan fasilitas ini secara maksimal.
Kedua, saya merasa aneh kepada para anggota Dewan yang terhormat yang menolak dengan alasan nasionalisme. Ketika TNI kekurangan fasilitas (kapal dan pesawat udara) untuk mencegah penyelundupan, pencurian hasil laut, ketika tanah kita di sekitar Singapura dijual sehingga hanya tersisa air-nya (dari tanah air), ke mana nasionalisme mereka? Bukannya saya setuju kalau pesawat tempur Singapura terbang di Indonesia. Kalau keinginan saya malah, pesawat tempur Singapura bahkan tidak boleh terbang di Singapura. Tetapi nasionalisme sekarang bukan lagi nasionalisme jaman dulu, nasionalisme tiang bendera seperti selalu saya sebut. Kita kibarkan bendera dengan bendera, tali, tiang buatan Cina.

Ketiga, bagi yang mengatakan bahwa semuanya diatur oleh Indonesia, ini juga sedikit aneh. Kalau Indonesia hanya punya 10 F-16 dan 4 Sukhoi jalan (itu pun di Makasar dan Madiun), ketika Singapura datang bawa skuadron F 16 (blok C/D yang lebih maju dari blok A/B Indonesia), skuadron F 15 dan nantinya F 23, kita mau ngusir pakai apa? Anda bayangkan halaman rumah kita dipakai latihan oleh tentara bersenjata lengkap dengan mengatakan,"Kalau ada apa-apa nanti hansip kami akan mengusir anda semua". Maaf saya tidak bermaksud melecehkan TNI, tetapi kondisinya kira-kira begitu kalau untuk di udara.

Keempat, kalau pun tempat training itu sedemikian penting, yang mau kita latih apa? Seperti disebutkan di atas tadi kita hampir tidak punya pesawat. Latihan penembakan rudal dari kapal laut di selat Sunda terakhir gagal semua (satu tidak meluncur, satu tidak meledak, dst.). Buat Angkatan Darat anda bisa periksa berapa jumlah peluru yang mereka dapat buat latihan menembak setiap bulannya. Permasalahannya kemudian, ketika diserahterimakan 20 tahun lagi, bagai mana kondisi dari tempat latihan itu? Bayangkan,"Baik, saya beli komputer, kita pakai bersama, 20 tahun lagi boleh jadi milik anda."

Jadi bagai mana solusi sebaiknya?

Ini pendapat saya. Menurut saya sebaiknya kalau tempat latihan itu begitu penting, nilainya diuangkan saja. Katakanlah Singapura mau latihan di Indonesia, sewakan saja. Misalkan satu hari 1 juta dollar. Uangnya dipakai TNI latihan atau membeli ini-itu. Atau kalau ide ini dianggap terlalu berlebihan, ya sudahlah dibatalkan saja. Tetapi ada catatannya. TNI berhak menjadi profesional, dan TNI harus menjadi profesional. Karena itu, anggota Dewan yang nasionalis itu selain menolak DCA dengan Singapura harus juga mengeluarkan anggaran untuk TNI membeli peralatan dan membangun tempat latihan selain peningkatan kesejahteraan. Nah yang menarik, sampai sekarang kita tidak pernah mendengar, berapa sih sebetulnya biaya yang dikompensasikan oleh Singapura untuk membangun tempat latihan itu kira-kira?

Saya optimis dalam 10-20 tahun ke depan Indonesia sudah menjadi bangsa yang lebih makmur dan kuat (kalau belum bubar). Tapi ngomong-ngomong koq Presiden diam saja ya? Itu juga 3 opsi dari Tim evaluasi IPDN juga belum ada kabar lanjutnya. Sudah sempat mati 1 orang lagi. Lama ya...

Thursday, August 09, 2007

Sebuah Kesaksian Tentang Jawa

Dari buku 'Orang Indonesia dan Orang Perancis', kutipan catatan dari Perancis di sekitar tahun 1755:

Pulau Jawa yang panjangnya mencapai sekitar delapan ratus mil dan lebar antara 120 hingga 160 mil tampaknya sejak lama dikuasai oleh orang Melayu. Ajaran nabi Muhammad dan takhayul merupakan kultus yang dominan di sini. Di pedalaman, masih terdapat pemuja berhala. Mereka itu merupakan satu-satunya yang tidak terpengaruh oleh kebejatan akhlak.

Kekuasaan yang tadinya dipegang oleh seorang raja kini berada di tangan beberapa raja yang saling bermusuhan satu sama lain. Pertentangan abadi itu menyebabkan masyarakat mengabaikan kesusilaan dan semangat keprajuritan. Selain memiliki musuh yang berasal dari luar, mereka sendiri tidak memiliki rasa saling percaya. Tidak ada negeri lain di mana kita dapat merasakan kebencian separah di sini. Manusia memangsa manusia lainnya seperti serigala. Kelihatannya, yang justru menyatukan mereka dalam suatu tatanan masyarakat adalah hasrat saling merusak, bukan hasrat bergotong-royong. Orang-orang Jawa tidak pernah mendekati saudaranya tanpa membawa keris di tangan. Mereka selalu waspada untuk menghadapi serangan atau untuk menyerang. Para pembesarnya memiliki banyak budak yang mereka dapatkan dengan cara membeli, dari peperangan, atau dari pembayaran utang. Budak-budak tersebut diperlakukan tanpa peri kemanusiaan. Mereka bekerja di kebun dan melakukan pekerjaan berat. Orang Jawa memiliki kebiasaan makan sirih, mengisap madat, hidup dengan para selirnya, berperang, atau tidur. Mereka berjiwa spiritual namun sangat sedikit menganut prinsip moral. Mereka lebih tepat disebut bangsa yang mengalami degenerasi dari pada terbelakang. Tadinya, mereka berada di bawah pemerintahan yang teratur namun kemudian berubah menjadi anarki. Dengan tidak henti-hentinya mereka mengumbar keberingasan yang diturunkan alam dalam keadaam iklum yang sedemikai rupa.

Landaasan hukum feodal yang dimiliki oleh pemerintah pulau tersebut tampaknya memang menginginkan adanya perpecahan. Ayah dipersenjatai untuk melawan anaknya dan anak melawan ayahnya. Dalih kaum lemah untuk melawan yang kuat dan yang kuat melawan kaum lemah didukung sesuai dengan keadaan. Terkadang dukungan diberikan kepada raja penguasa dan terkadan kepada raja bawahan. Apabila seorang raja menunjukkan kemampuan yang membahayakan, maka dicarikanlah musuh untuknya. Mereka yang tidak tergiur oleh emas atau janji-janji akan ditundukkan dengan ketakutan. Setiap hari terjadi perubahan-perubahan yang selalu dipersiapan oleh para tiran, demi kepentingan mereka.

Saya kira, saya sedikit demi sedikit menerima, bahwa pada kenyataannya bukan penjajahan itulah yang merusak kebudayaan Indonesia, tetap kerusakan budaya Indonesia yang berhasil dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjajah. Bahkan ide bahwa sebetulnya Belandalah yang mengenalkan Indonesia kepada konsep negara modern yang bersatu dan berlandaskan hukum sedikit demi sedikit dapat saya terima.

Menerima kenyataan sejarah itu adalah satu hal. Memetik pelajaran darinya untuk menghadapi masa depan adalah hal berikut yang tidak kalah pentingnya. Yang ada di depan mata sekarang dalam pengamatan saya, adalah bagai mana Indonesia semakin kehilangan konsep negara modern itu. Masyarakat semakin kembali ke sifat kedaerah-daerahan dan mementingkan golongan sendiri. Konsep semacam 'putra daerah' dalam pemilihan kepala daerah maupun tender yang saya kira tidak sesuai dengan semangat negara nasional, justru semakin menguat. Dan bahkan daerah yang satu saat ini sering kali menyalahkan daerah lain tentang suatu masalah tanpa usaha untuk bekerja sama, seolah-olah mereka adalah negara yang berbeda.

Kerusakan ini ditambah lagi, bahwa selain pemikiran yang berorientasi pada kepentingan golongan dan sesaat, kebanyakan orang Indonesia (atau mungkin sebagian kecil elite) tidak mempunyai suatu panduan moral. Agama hanya dipakai sebagai pelarian dan justifikasi tentang kesalehan tanpa makna keduniaan. Di pihak rakyat, hal ini didukung oleh pola pikir mistisme: harapan akan datangnya Ratu Adil, kepercayaan bahwa permasalahan yang muncul adalah takdir, Mbah Maridjan lebih dipercaya dari para geolog, dan lain sebagainya.

Jika hal ini berkelanjutan, dapat dipastikan bahwa Indonesia hanya tinggal menjadi sejarah atau paling tidak Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa yang besar. Tentang perlunya ada suatu negara yang disebut Indonesia itu, mungkin dapat dibahas di waktu berbeda.


Monday, August 06, 2007

Kontroversi Indonesia Raya

Waktu melihat di TV tentang penemuan dokumentasi lagu Indonesia Raya dari tahun 1944 oleh Roy Suryo, yang terlintas di kepala saya adalah,"Wah, memang hebat si KMRT ini kalau bikin berita." Saya sungguh yakin bahwa dibandingkan sebagai pakar telematika, dia jauh lebih cocok menjadi pakar komunikasi atau marketing.
Tidak terpikir pada saat itu, bahwa akan terjadi kontroversi tentang lirik Indonesia Raya yang berbeda dengan yang kita nyanyikan saat ini.
Di saat seperti ini sering kali saya jadi bertanya-tanya, apakah hanya mimpi saya saja ketika mendapatkan pelajaran sejarah tentang Indonesia Raya dan penciptanya, WR. Supratman? Seingat saya, dalam pelajaran itu jelas-jelas disebutkan bahwa lagu Indonesia Raya ketika pertama kali diperkenalkan (pada sumpah pemuda) liriknya tidak seperti yang kita nyanyikan sekarang.
Kenapa? Coba saja anda bayangkan segerombolan pemuda di jalan Kramat Raya menyanyikan lagu dengan lirik,"Kalimantan Raya, mulia-mulia." Sekarang bayangkan kalau liriknya adalah,"Kalimantan Raya, merdeka-merdeka!"

Alasannya sangat jelas. Mereka tidak mengatakan,"Merdeka" agar tidak dikirim ke Pulau Buru oleh Belanda atau dipenggal oleh Jepang. Dan tidak usah ke Leiden kalau mau tahu bahwa lirik Indonesia Raya berubah dari yang dulu. Lirik yang ditulis di museum Sumpah Pemuda Kramat Jakarta juga berbeda.

Kita ini sering kali tidak memperhatikan beberapa hal yang sebetulnya sudah jelas. Misalkan, apakah ketika macet mobil pribadi boleh masuk ke busway. Hal ini dirapatkan oleh Pemda, DLLAJ dan polisi beberapa waktu lalu. Padahal dasar pemikirannya jelas, busway adalah transportasi massal yang diharapkan bebas macet sehingga diberi jalur khusus. Kalau mobil pribadi ikut masuk, maka hilanglah jalur khusus itu dan busway jadi macet. Gitu koq harus rapat lagi untuk menentukan.

Jadi kontroversi tentang lirik Indonesia Raya ini buat saya buang-buang waktu dan energi saja, dan sangat aneh kalau penemunya memberikan pernyataan seolah-olah memperoleh bukti bahwa Bung Karno nama aslinya adalah Rachmat Karnolo.

Cape deh...