Blog Dhita Yudhistira

Apakah Blog kata resmi dalam Bahasa Indonesia?

Monday, March 30, 2009

Seekor Puma di Saparua

Tujuan saya sebetulnya sederhana saja. Cita-cita lugu pemuda kota: sarapan nasi timbel di Bawean. Bertahun-tahun meninggalkan Bandung, saya tetap merasa paling tenteram kalau bisa sarapan di sana. Nggak peduli teman-teman sudah jadi manajer dan pengusaha sukses di mana-mana, kalau timbel + ayam goreng dan kawan-kawannya sudah di piring saya, rasanya surga dunia dalam genggaman. Surga yang tidak mereka rasakan. Hehehehe. Yang membuat masih ingat bahwa ini masih di dunia adalah, kenyataan saya menahan diri untuk tidak memesan es duren. Kolesterol.

Tempat sarapan lainnya yang memberikan ketenangan hidup dunia ada di nasi kuning Sumur Bandung. Duduk sambil melihat mahasiswa-mahasiswa dengan masa depan cerah (setelah lepas dari mahasiswa masa depan tidak secerah itu kelihatannya) berlalu-lalang sambil berpikir, mengapa setelah satu dekade lebih, si Ibu nasi kuning masih suka mengambil perkedel dengan tangan yang sama dengan yang dipakai untuk memegang uang. Apa mungkin itu rahasia kelezatan nasi kuningnya?

Jadi Jumat kemarin saya berencana sarapan timbel. Tujuan sederhana ini terasa sulit sekali dicapai, karena ada kampanye partai Demokrat di Gazibu. Akan terlalu berlebihan kalau saya menyimpulkan bahwa sistem politik kita membuat orang sulit mencari sesuap nasi (timbel). Tapi kira-kira begitulah ilustrasinya. Macet di mana-mana.

Setelah itu saya bergerak menuju jalan Riau, sekedar karena memang tidak ada acara hari itu. Ketika melewati Saparua, saya tertegun melihat ada kendaraan tidak biasa parkir di situ. Bukan BMW, bukan Porsche. Agak berbeda, ini super Puma!!!

Super puma sebetulnya bukan barang yang tidak biasa buat saya. Kakak ipar saya sering nyetir yang satu ini. Punya kantor, Angkatan Udara. Cuma baru sekali ini saya lihat Super Puma mendarat di lapangan, lapangan Saparua. Kagum juga.

Setelah mengelilingi lapangan Saparua beberapa kali untuk memastikan saya tidak salah lihat, juga untuk mencari tahu di mana seharusnya parkir di lapangan Saparua, akhirnya saya memutuskan untuk parkir di Kantor Pos, lalu berjalan kaki.

Keputusan ini ternyata salah berat, karena pintu masuk lapangan Saparua ternyata ada di sisi yang berseberangan. Sebagai fotografer amatiran, saya terlalu malas untuk menyeberang. Jadi saya foto saja dari sisi sebelah sini (arah kantor Pos maksudnya).

Ternyata bukan saya saja yang melongo melihat ada helikopter mendarat di lapangan. Seorang kakek mengajak cucunya melihat-lihat, bahkan ada yang sampai ke tengah lapangan. Seorang tukang korang segera memberikan komentar,"Hebat ya sebesar itu bisa terbang..."

Iya, hebat juga ya.

Tanpa terasa setengah jam saya terseret mendengarkan perdebatan antara si tukang koran dengan seorang pensiunan Pepabri tentang kondisi bangsa, dipicu oleh helikopter yang nongkrong di lapangan. Sedikit pun saya tidak mengerti, bagai mana helikopter yang sedang santai itu memberi mereka inspirasi untuk merefleksikan kondisi bangsa yang sedang terpuruk. Setengah jam kemudian saya masih mendengarkan pandangan si tukang korang tentang berbagai macam persoalan bangsa. Tentang bagai mana antar suku dan ras harus bekerja sama membangun (termasuk,"Orang Cina juga bagian dari bangsa Indonesia dan punya perannya"), tidak boleh membedakan seseorang karena suku, agama, atau ras-nya ("jangan dilihat agamanya beda-beda, yang penting kita lihat, bagai mana kelakuannya"), ketidaksetujuannya tentang BLT ("saya tidak dapat BLT dan kalau dapat pun saya nggak mau karena saya msh bisa cari makan"), dan sebagainya.

Terakhir dia tanya ke saya, helikopter ini buatan mana. Saya bilang,"Buatan Bandung Pak. Kerja sama dengan Perancis." Dan beliau kelihatan bangga sekali bahwa bangsanya sudah bisa membuat helikopter. "Berarti hebat ya Habibie memang. Gimana ke depannya, apa kita bisa lebih maju lagi?"

"Insya Allah Pak, Insya Allah," Saya bilang. "Kita akan usahakan sama-sama."

Saya berharap helikopter ini lebih sering mendarat di tengah-tengah masyarakat.
t.

Monday, March 16, 2009

Merokok itu Haram

Beberapa waktu lalu, ada ribut-ribut soal diharamkannya rokok oleh MUI. Tampaknya fatwa ini dianggap angin lalu, dan dari situ kita bisa mengukur pengaruh MUI di masyarakat.

Penarikan kesimpulan haram ini sebetulnya semacam analogi. Analogi dengan babi, alkohol, dan kemudian rokok. Tapi sebetulnya masih banyak celah kalau dibandingkan dengan alkohol. Alkohol dilarang karena memabukkan, bukan karena membahayakan. Jadi kalau rokok dilarang karena membahayakan seperti alkohol, rasanya nggak kena. Paling-paling bisa dibilang,"lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya." Tapi kalau begitu artinya juga bukan haram.

Seperti hukum KUHP, banyak pasal yang bisa dipakai untuk menjerat sebuah tindakan.

Sebetulnya saya berharap, para ulama melihatnya dari sisi lain. Yaitu bahwa rokok mengganggu dan membahayakan orang lain, merenggut hak orang lain (untuk mendapatkan udara dalam kondisi defaultnya: bersih), dan karena itulah dia diharamkan. Dengan demikian kalau seseorang merokok di tempat yang menyebabkan terhisapnya asap oleh orang lain, maka dia berdosa.

Kalau ada yang merokok di tempat sepi? Itu hak dia, bahkan kalau dia mau menghisap 5 batang sekaligus.

Thursday, March 12, 2009

Mencermati Kontrak Politik PDI Perjuangan


Sekitar 1-2 minggu yang lalu, kaget juga saya melihat iklan besar berwarna merah di koran. Ternyata PDIP memasang kontrak politik. Hebat juga ya, saya pikir. Yang buat pasti orang hebat. Warna merah sebanyak itu tidak luntur atau tembus di kertas koran. Percetakan sekarang memang hebat-hebat.

Membahas iklannya sendiri, ya memang mencerminkan kelakukan PDIP selama ini. Kurang lebih iklan itu terbagi atas 4 bagian utama: janji, penjelasan, persyaratan, dan konsekuensi.

Janji pertama, memperjuangkan sembako murah.

Tentu tidak disebutkan apa definisi murah. Untungnya apa saja yang disebut sembako sudah dibakukan di jaman Orba. Misalkan harga beras sekarang 6 ribu rupiah, janji ini tidak bilang bahwa harga beras akan jadi 5 ribu. Tidak. Yang penting murah. Kemungkinannya mereka memakai definisi murah sebagai harga relatif terhadap daya beli. Karena itu maka di penjelasannya dikatakan "kenaikan sembako tidak melampaui kenaikan daya beli masyarakat, berbeda dengan saat ini di mana harga sembako semakin tak terjangkau".

Nah daya beli ini, bagi saya juga masih membingungkan. Karena dalam beberapa tahun ini, gaji naik tapi daya beli turun. Apakah yang mau dijadikan patokan gaji? Apakah daya beli? Apakah inflasi? Data siapa yang akan dipakai? BPS? Bank Dunia? Apa hasil dari studi PDIP sendiri? Nah kalau ternyata memang benar turun, apakah harga sembako juga dijanjikan turun?

Sebetulnya kita perlu mencermati juga bahwa selama berkuasa hanya beberapa tahun PDIP membuktikan bisa menyediakan barang-barang dengan harga murah. Lihat saja, BUMN dijual murah, tanker Pertamina dijual murah, dsb (definisi saya: murah relatif terhadap harga pasar saat itu dan harga jual kembali oleh pembeli). Jadi mudah-mudahan dengan pengalaman ini mereka bisa menyediakan sembako murah juga.

Janji kedua, menciptakan jutaan lapangan kerja.

Perlu diketahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 8-10 juta orang Indonesia menganggur. Yang jarang disimak adalah bahwa tiap tahun paling tidak 2,5 juta tenaga kerja baru datang tiap tahun. Nah jd sebetulnya tiap tahun sudah tercipta jutaan lapangan kerja baru. Hanya saja butuhnya lebih dari 2,5 juta. Artinya dengan mengutip salah seorang dosen saya,"Tukang rumput saya taruh di situ juga bisa!", siapa saja yang jadi presiden pasti tercipta jutaan lapangan kerja. Berapa juta, pertanyaannya?

Di penjelasan disebutkan "Prosentase pengangguran berkurang, berbeda dengan saat ini di mana pengangguran cukup tinggi." Ada 2 hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pernyataan ini menyesatkan karena sesungguhnya selama 5 tahun pemerintahan SBY, prosentase pengangguran berkurang (saya belum melihat data terakhir imbas dari krisis finansial). Artinya benar bahwa pengangguran saat ini cukup tinggi, tapi prosentasenya berkurang. Tapi ini tidak disebutkan oleh iklan itu, karena tentu saja akan menumpulkan efektivitas janji menciptakan jutaan lapangan kerja. Kedua, kl prosentase pengangguran berkurang saja, artinya berkurang 0,1% saja sudah dianggap berhasil. Dan kembali ke pertanyaan di atas, data siapa?

Jadi bisa kita yakini dari sekarang, janji kedua akan dilaksanakan oleh PDIP.

Janji ketiga, tingkatkan kesejahteraan rakyat.

Ini sebetulnya ngukurnya gampang-gampang susah. Tapi di penjelasannya tertulis memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan. Mengurangi ketimpangan dengan indikator indeks gini. Ya bolehlah. Sebetulnya Indonesia sudah cukup sandang, pangan, papan. Mungkin berlebih. Cuma belum terbeli saja sama masyarakat. Mungkin kita pakai indeks gini saja untuk mengukur janji ini. Sekarang indeks gini Indonesia berapa ya?

Yang menarik, dengan 3 janji yang 'hampir pasti terlaksana itu', PDIP masih ragu-ragu memberikan komitmennya,"Jika gagal mengawal tiga agenda di atas 2009-2014, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan diminta tak lagi mencalonkan diri pada pemilu berikutnya di tahun 2014"

Diminta? Kenapa nggak ditulis saja,"PDI Perjuangan tidak akan ikut pada pemilu 2014" atau yang lainnya? Sudah gitu masih pakai penjelasan,"Berlaku jika PDI Perjuangan menduduki jabatan presiden dan 30% DPR-RI"

Benar-benar. Hebat yang bikin iklan. Koq bisa nggak tembus ya tintanya....

Perjanjian Perbatasan Indonesia-Singapura Segmen Barat Ditandatangani


Sebuah berita kecil menarik perhatian saya di Kompas. Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian perbatasan di segmen Barat.

Indonesia mengalami banyak permasalahan akibat tidak jelasnya perbatasan dengan Singapura. Berbagai kontroversi muncul di dalam negeri terkait dengan ketidakjelasan perbatasan tersebut. Sehingga, aneh buat saya bahwa berita ini hanya mendapatkan kolom kecil.

Perlu ditekankan bahwa yang disetujui adalah bagian Barat, termasuk di dalamnya pulau Nipah yang selama ini diributkan sebagai ujung terluar Indonesia yang akan tenggelam jika terus digali pasirnya. Disepakati bahwa batas tetap dihitung dari Pulau Nipah, sehingga pemekaran wilayah Singapura hasil reklamasi tidak mempengaruhi perhitungan.

Sedangkan untuk segmen Timur, terkait Batam dan Bintang, belum disepakati.

Namun ada juga beberapa ahli yang menyatakan harus dilihat dulu apakah perjanjian ini merugikan dan menguntungkan Indonesia. Interpretasi dari pernyataan ini, tentu artinya ada poin-poin perjanjian lain di luar masalah perbatasan saja. Kira-kira di mana seorang warga negara dapat mengetahui perjanjian apa saja yang sudah ditandatangani oleh negaranya? Kadang-kadang saya merasa rakyat Indonesia ini hanya numpang hidup saja karena susah sekali mencari informasi-informasi yang seharusnya berhak diketahui.

Sementara itu, terkait dengan perjanjian pertahanan dan ekstradisi, pemerintah Singapura memutuskan untuk tidak melanjutkan perundingan. Menurut Hassan Wirayuda, Singapura menganggap perjanjian ekstradisi tidak masuk akal.

Menurut saya mereka ada benarnya. Tentu saja tidak masuk akal bagi Singapura mengekstradisi orang-orang yang menyimpan milyaran dollar di Singapura...

Selamat kepada Departemen Luar Negeri. Ngomong-ngomong, perjanjian bisa batal juga ya?