So, Anda Mau Jadi Pengusaha?
Terlalu tipis batasnya antara employer, self-employed dan unemployed. Jangan-jangan sebetulnya saya self-employed. Atau malah-malah unemployed.
Seperti sekarang, kerjaan rasanya tidak selesai-selesai. Belum ada titik terang kapan kerjaan yang ada bakal selesai, kerjaan baru sudah mau datang. Jangan salah artikan banyak kerjaan= banyak uang. Beda sekali. Jadi jangan harap saya mentraktir hanya karena anda membaca tulisan ini.
Maka saya sering heran kalau ada yang memotivasi orang menjadi pengusaha dengan bilang,”Dengan jadi pengusaha, anda akan memiliki kebebasan waktu dan kebebasan finansial.”
O ya?
Kita sering kali menganggap remeh banyak hal. Kalau melihat pedagang di Glodok, kita bilang,”Enak ya, tokonya sudah laris dan dia bisa santai jaga toko.” Nggak pernah terpikir oleh kita bagai mana si pedagang itu menjaga toko 4x4 yang sama selama 30 tahun, hampir setiap hari. Yang dibayangkan enaknya saja.
Ada juga yang bilang,”Kalau jadi pegawai, gajinya bisa dihitung. Coba saja jadi pengusaha.”
Seingat saya, teman saya dulu lulus dan jadi pegawai konsultan asing dan langsung mampu beli Honda City di 1-2 tahun kemudian. Sedangkan saya setelah 6 tahun lebih masih belum mampu beli Honda Supra Fit.
Kalau anda bukan anak orang kaya atau pejabat, atau tidak berkongsi dengan pengusaha dan pejabat, dan apa lagi kalau tidak punya modal, jadi pengusaha itu susah. Ada contoh kasus yang berhasil, tapi itu hanya segelintir.
Yang saya maksud susah itu bukan susah berhasil. Tapi susah hidupnya. Nggak punya uang, nggak punya kepastian, diragukan oleh orang tua, mertua, bahkan calon istri mau pun istri. Coba bayangkan. Kalau anda bertemu calon mertua. Kalau calon mertua bertanya, “Kerja di mana?”, maka pertanyaan itu kemungkinan akan berhenti kalau anda memberikan jawaban semacam,”di Telkom Bu.”
Kalau anda bilang anda bekerja di PT. XYZ Abal-abal, maka kemungkinan anda akan ditanya lagi,”Perusahaan apa itu ya?”. Setelah anda jawab maka kemungkinannya percakapan berhenti di situ walau pun di belakang nanti dia berpesan agar anaknya mencoba mencari tahu berapa kira-kira gaji anda.
Coba anda bilang,”Saya usaha sendiri Bu.” Pertanyaannya pasti panjang. Dia ragu apakah kita akan berhasil. Jangan-jangan anaknya nggak dikasih makan. Saya sendiri pernah mengalami pengalaman seperti ini. Padahal saya sudah coba jelaskan dengan segamblang-gamblangnya, bahwa dia tidak perlu khawatir karena saya sudah punya rencana bahwa saya akan jadi konglomerat.
Jadi angan pernah memutuskan menjadi pengusaha karena pertimbangan uang yang lebih banyak. Lakukan saja yang anda suka. Seperti kata dosen saya dulu,”Lakukan apa yang anda suka, uang akan mengikuti.” Jadi pengusaha tidak lebih baik dari pada jadi pegawai. Begitu juga sebaliknya. Pengusaha yang berusaha sebaik-baiknya, dan pegawai yang bekerja dengan sebaik-baiknya adalah apa yang dibutuhkan negara ini.
Nah, berbicara tentang menjadi pengusaha. Teman saya Peto membuat tulisan pendek tentang pengusaha. Menurut riset kecil-kecilan yang dia adakan, syarat untuk suatu negara sejahtera adalah paling tidak 2% dari penduduknya pengusaha. Di Singapura, pengusahanya 7%. Di Amerika, 10-an%. Indonesia tidak sampai 0,5%. Jadi Indonesia masih butuh banyak.
Tapi jangan lupa, di Amerika, dari semua orang yang berusaha jadi pengusaha, hanya 10% yang berhasil menjadi pengusaha biasa, dan 2% menjadi pengusaha luar biasa. Sisanya gagal.
Jangan berkecil hati, insyaAllah kita bisa jadi yang 10%, bahkan 2%. But don’t do it for money.