Memahami Pemikiran Supir Angkot
Dari rumah saya di Bogor, kalau mau pergi, harus lewat perempatan Taman Siswa. Di situ, belok ke kiri harusnya langsung. Tetapi sering kali angkot yang jalurnya lurus berhenti di kiri, menutupi jalan. Akibatnya, orang-orang mengklakson habis-habisan. Hebatnya, angkot ini keukeuh bertahan di tempatnya.
Kalau di perempatan dari arah jalan Kumbang ke arah Taman Kencana (perempatan dengan jalan Pajajaran) Bogor, ada juga lampu merah. Dulunya, lampu merah di situ memberikan jalan (lampu hijau) langsung ke dua arah, seperti umumnya lampu merah di Bandung. Jadi kalau kita jalan, mobil dari seberang kita juga jalan.
Tahun-tahun terakhir programnya sudah diubah tampaknya. Dan lampu hijau menyala bergantian di keempat sisi. Tetapi sampai sekarang, tetap saja kalau kita berhenti menunggu lampu hijau sementara mobil dari arah depan jalan, mobil-mobil di belakang akan membunyikan klakson. Mereka seolah berdalih bahwa lampu merah itu rusak, seharusnya sudah hijau. Karena dulu-dulu juga begitu.
Aneh memang kalau setiap orang mengartikan hukum sesuai dengan keperluannya sendiri. Saya kira untuk aturan semacam ini kita harusnya ikut sajalah. Beda dengan aturan pembagian tunjangan DPRD yang memang demo menjadi kewajiban. Anehnya malah saya yang jadi tidak enak karena diklakson seperti itu. Dan demikian jg bbrp orang lain yang saya perhatikan. Akhirnya, kadang-kadang saya mengikuti mereka melanggan lampu merah. Sing waras ngalah? Bukan. Sing waras kalah.
Jadi tentu menjadi sangat menarik buat saya, bagai mana angkot yang jelas-jelas salah itu bisa bertahan ketika diklakson. Saya ingin mengamati langsung. Kesempatannya tidak kunjung datang karena tidak mudah untuk memposisikan diri di sebelah supir angkot yang berhenti paling depan di jalur kiri ketika lampu merah. Benar-benar butuh perhitungan peluang yang tinggi. Toh akhirnya saya ada di posisi itu.
Saya perhatikan supir angkot. Ketika dia berhenti dan menurunkan penumpang. Mobil di belakang mulai membunyikan klakson. Dia menerima pembayaran, mobil di belakang terus membunyikan klakson. Dan akhirnya... karena lampu merah, dia tetap berhenti walaupun tidak ada penumpang yang naik dan turun, dan walaupun menghalangi jalur orang yang berbelok ke kiri.
Apa yang akan terlihat di wajahnya? Saya menanti harap-harap cemas. Apakah dia akan gelisah? Dan kemudian dia berpaling ke kanan. Menyapa temannya,"Sabaraha rit?"
Edan. Ternyata dia melanjutkan menunggu sambil ngobrol santai dengan temannya sementara klakson tidak putus-putus dari mobil yang ada di belakang. Tetap tenang, tanpa sebutir pun rasa bersalah. Baginya klakson yang di belakang tidak ditujukan pada angkotnya.
Jadi sekarang saya berkesimpulan, tidak ada gunanya membunyikan klakson pada supir angkot. Kerbau mungkin akan berpindah. Keledai mungkin. Tapi supir angkot?
Yang paling aneh buat saya adalah, bahwa ketika angkotnya ditutupi oleh mobil atau angkot lain persis seperti yang dia lakukan, dia akan marah-marah.
Salah satu keinginan saya yang paling terpendam adalah meminjam tank untuk dikendarai menggilas angkot-angkot yang ngetem...
Kalau di perempatan dari arah jalan Kumbang ke arah Taman Kencana (perempatan dengan jalan Pajajaran) Bogor, ada juga lampu merah. Dulunya, lampu merah di situ memberikan jalan (lampu hijau) langsung ke dua arah, seperti umumnya lampu merah di Bandung. Jadi kalau kita jalan, mobil dari seberang kita juga jalan.
Tahun-tahun terakhir programnya sudah diubah tampaknya. Dan lampu hijau menyala bergantian di keempat sisi. Tetapi sampai sekarang, tetap saja kalau kita berhenti menunggu lampu hijau sementara mobil dari arah depan jalan, mobil-mobil di belakang akan membunyikan klakson. Mereka seolah berdalih bahwa lampu merah itu rusak, seharusnya sudah hijau. Karena dulu-dulu juga begitu.
Aneh memang kalau setiap orang mengartikan hukum sesuai dengan keperluannya sendiri. Saya kira untuk aturan semacam ini kita harusnya ikut sajalah. Beda dengan aturan pembagian tunjangan DPRD yang memang demo menjadi kewajiban. Anehnya malah saya yang jadi tidak enak karena diklakson seperti itu. Dan demikian jg bbrp orang lain yang saya perhatikan. Akhirnya, kadang-kadang saya mengikuti mereka melanggan lampu merah. Sing waras ngalah? Bukan. Sing waras kalah.
Jadi tentu menjadi sangat menarik buat saya, bagai mana angkot yang jelas-jelas salah itu bisa bertahan ketika diklakson. Saya ingin mengamati langsung. Kesempatannya tidak kunjung datang karena tidak mudah untuk memposisikan diri di sebelah supir angkot yang berhenti paling depan di jalur kiri ketika lampu merah. Benar-benar butuh perhitungan peluang yang tinggi. Toh akhirnya saya ada di posisi itu.
Saya perhatikan supir angkot. Ketika dia berhenti dan menurunkan penumpang. Mobil di belakang mulai membunyikan klakson. Dia menerima pembayaran, mobil di belakang terus membunyikan klakson. Dan akhirnya... karena lampu merah, dia tetap berhenti walaupun tidak ada penumpang yang naik dan turun, dan walaupun menghalangi jalur orang yang berbelok ke kiri.
Apa yang akan terlihat di wajahnya? Saya menanti harap-harap cemas. Apakah dia akan gelisah? Dan kemudian dia berpaling ke kanan. Menyapa temannya,"Sabaraha rit?"
Edan. Ternyata dia melanjutkan menunggu sambil ngobrol santai dengan temannya sementara klakson tidak putus-putus dari mobil yang ada di belakang. Tetap tenang, tanpa sebutir pun rasa bersalah. Baginya klakson yang di belakang tidak ditujukan pada angkotnya.
Jadi sekarang saya berkesimpulan, tidak ada gunanya membunyikan klakson pada supir angkot. Kerbau mungkin akan berpindah. Keledai mungkin. Tapi supir angkot?
Yang paling aneh buat saya adalah, bahwa ketika angkotnya ditutupi oleh mobil atau angkot lain persis seperti yang dia lakukan, dia akan marah-marah.
Salah satu keinginan saya yang paling terpendam adalah meminjam tank untuk dikendarai menggilas angkot-angkot yang ngetem...