Ke Solo
Undangan dari Wahyu datang sedikit terlalu lambat untuk acara yang berlokasi di Solo, sekitar 2 minggu sebelum acara. Jadi tidak begitu banyak waktu untuk persiapan walaupun sebetulnya seperti biasa, persiapan dilakukan di akhir-akhir menjelang keberangkatan.
Saya hampir saja lupa untuk berangkat kalau Darmanto tidak menanyakan. Dia sendiri hendak berangkat dan mencari teman jalan. Sebetulnya saya malas jalan ke Solo tanpa istri, tetapi saya ingin datang ke nikahan Wahyu, dan kebetulan keadaannya memungkinkan. Jadilah saya katakan pada Darmanto bahwa saya akan berangkat.
Ini waktu yang kurang enak untuk berpergian. Beberapa waktu sebelumnya banyak kecelakaan bis sepanjang liburan sekolah. Kereta api tidak henti-hentinya anjlok. Dan pesawat terbang sendiri, walau kita tidak tinggal di Eropa tapi larangan terbang uni Eropa koq terngiang-ngiang. Saya sendiri cenderung memilih naik pesawat. Cepat, dan ternyata harga tiketnya lebih murah dari kereta api.
Saya tidak habis pikir bagai mana pesawat yang lebih mahal dari kereta api dan membawa penumpang lebih sedikit (100-an untuk pesawat dibandingkan 50-an per gerbong untuk kereta) bisa memberikan tarif yang lebih murah dari kereta api. Mungkin landasan pesawat hanya 1000 meter x 2 (di Jakarta dan di Solo) sedangkan panjang rel kereta api dari Jakarta ke Solo paling tidak 400-500km. Tapi kan rel itu dibangun dari jaman Belanda dan seharusnya sudah Break Even Point waktu jaman Jepang. Jadi tinggal dipelihara saja.
Tapi memang masalah perhitungan ekonomi di Indonesia sering aneh. Jalan tol dalam kota misalkan. Tarifnya direncanakan naik lagi. Mungkin di proposal dulu disebutkan bahwa tarif akan naik secara berkala. Dan mungkin harga dolar naik 4x lipat sejak proposal itu dibuat. Hanya saja kalau kita pikir-pikir lagi, jalan tol dalam kota itu dapat dipastikan menampung minimal 5x volume trafik yang direncanakan, sampai macet parah begitu. Jadi kenaikan dolar harusnya bisa dikompensasi oleh kenaikan volume.
Katakanlah memang masih merugi, koq tidak dibuka saja, setelah puluhan tahun beroperasi, sebetulnya di mana sih posisi pinjaman pemodal. Apakah sudah lunas? Apakah memang rugi? Di Amerika konon kabarnya, kalau tol sudah lunas, maka akan dijadikan jalan raya biasa.
Itu kan di Amerika. Mungkin di Amerika kalau tarif US 1 naik 50% artinya jadi US 1,2. Tetapi waktu terakhir kali tarif tol dinaikkan 10% (sesuai pengumumannya) maka jalur Bogor-Ciawi naik dari Rp 500,00 jadi Rp 1000,00 (Bogor-Jakarta naik dari Rp 4.000,00 jadi Rp 4.500,00). Kenapa nggak diumumkan saja kalau naik Rp 500,00.
Kembali ke cerita tadi, Darmanto cenderung naik kereta api, for the shake of safety. Dalam kasus seperti ini saya cenderung ikut saja. Kalau-kalau terjadi sesuatu dengan pesawatnya, ketika saya sedang berdoa sambil ingat pada keluarga, rasanya akan tambah berat kalau mendengar Darmanto bilang,"Tuh kan Dhit, gua bilang juga naik kereta aja..."
Saya berjanji mencari tiket kereta. Tetapi karena saya lambat (sedang banyak sekali urusan), akhirnya Darmanto yang membeli. Tinggal urusan hotel. Karena merasa bersalah lambat mencari tiket kereta, saya mencari hotel buru-buru.
Prinsipnya, saya suka mencari hotel kecil yang bagus. Misalkan di Cirebon ada Saresae. Di Bandung ada Wisma Dago. Saya ingin cari juga di Solo. Banyak orang yang ditanya bilang sebaiknya menginap di hotel Dana. Tetapi ada juga yang bilang Hotel Dana sudah tua. Jadi ada yang menyarankan hotel X. Buru-buru saya pesan. Kemudian datang pesan dari Darmanto,"Jangan di hotel X Dhit, kata temanku itu hotel remang-remang.". Wah, betul juga si Darmanto. Apa kata dunia kalau saya kepergok di hotel remang-remang. Bareng Darmanto pula...
Jadi saya tanya-tanya lagi. Hotel Novotel Solo ternyata cukup murah. Untuk standar room bisa didapatkan dengan Rp 350.000,00. Sementara hotel Dana Rp 210.000,00. Saya hampir saja memesan Novotel ketika saya berpikir, di kota di mana kita bisa berputar-putar naik becak dengan hanya membayar Rp 5000,00-10.000,00, koq rasanya tidak benar numpang tidur (saya toh tidak akan memakai fasilitas lainnya) di hotel seharga Rp 350.000,00 ketika hotel Rp 210.000,00 cukup. Akhirnya saya putuskan menginap di hotel Dana.
Ternyata hotel ini pernah menjadi tempat menginap Bung Karno tahun 50-an. Sebagai orang yang senang nostalgia, saya semakin bersemangat.
Akhirnya kami berangkat. Hampir 4-5 tahun tidak bertemu, Darmantor masih bisa mengenali saya. Artinya saya belum kelewat gendut. Kereta berangkat terlambat 20 menit (berangkat aja sudah telat), namun sampai cukup tepat waktu (aneh juga). Cukup beruntung, karena menurut tukang becak sejak kasus anjloknya Argo Dwipangga, kereta ke Solo dari arah Barat selalu terlambat.
Kabar baiknya, karena ada kamar kosong ternyata hotel sudah mau menerima kami pukul 5.30 pagi tanpa tambahan biaya. Hanya tidak ada sarapan. Fair enough, saya pikir. Saya sangat berterima kasih kepada hotel Dana karena saya sudah membayangkan masuk hotel pukul 13 (seperti di hotel lainnya) dan saya harus berjalan-jalan dulu membawa ransel.
Welcome to Solo. Dan ini foto Darmanto bergaya begitu menginjakkan kaki di Solo.