Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji : "Jangan Pernah Setori Saya"
Mau nangis rasanya bacanya. Terharu. Mari kita doakan berhasil, seiring jg dengan doa kita agar kesejahteraan aparat TNI-Polri juga semakin membaik.
Maju terus Pak, kami beserta anda!
*Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji,*
*"Jangan Pernah setori Saya"*
*Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008*
RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H.,
M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai
tingkat polres hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke
Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu
baru dimulai pukul 16.00 WIB.
Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit.
Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan
"menyentak".
Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang
kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.
Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan
(tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya).
"Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari
gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi
pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah
ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.
Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari
pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan
bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.
Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah,
menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan
masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami
dari Ny. Herawati itu.
Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di
lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke
pimpinan teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno
tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil
Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK
adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.
Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri
dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar
menguak korupsi.
Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja
sebagai seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan.
Terbayang ¢kan betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan
yang pas-pasan. Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol
karena gratis.
Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa
di antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat.
Sepertinya, enak sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat.
Sejak itulah, terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara
ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya
sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di
PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa
menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan
uang rakyat. Ada kepuasan batin.
Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang
melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar ?
Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau
pungli, terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah
korupsi.
Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak
zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum
yang korup.
Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau
kitanya sendiri korupsi.
Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam,
baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati,
direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi.
Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini.
Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan
tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu
pejabat-pejabat di Polda.
Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.
Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di
Polda Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi
yang bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang
ketik, atau petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran.
Akan tetapi, dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.
Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam,
seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari
pengusaha-pengusaha , mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil
anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit
dari dirlantas, direskrim, atau kapolwil. Tidak juga mengambil
anggaran mereka, atau uang bensin mereka.
Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan
karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja.
Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita
menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut
nama kita jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak
akan jatuh merek dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi
berbintang yang korupsi.
Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran.
Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang
saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya
pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan.
Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi.
Polisi itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa
lebih tidak terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak
korupsi.
Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus
korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik
tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan
alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan
waktu lama?
Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh
lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap
kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak
kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan
beberapa kemungkinan lainnya.
Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat.
Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal
dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah
ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala
projek, dan rekanan. Itu saja.
Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam
memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus
diakui, itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu
nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan.
Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda.
Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang.
Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau
saya, jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa
sih duit banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya
saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang
tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah
kerja semua. Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.
Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap
kasus korupsi?
Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah
bersih di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan
menjadi salah satu target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus
korupsi biar Jabar bergetar.
Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut
kasus-kasus korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK
pasti mau membantu asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya.
Kita juga bisa diberi kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap
"bermain" bagaimana bisa dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama
kita, maka banyak kasus yang masuk.
Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot.
Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib
administrasi, salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara
berbasis IT yang terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa?
Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk.
Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah
perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu
isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada
klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres,
dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor
boleh di mana saja.
Kita juga harus mempertanggungjawab kan hal itu ke pelapor dengan
mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik
ini, ini, dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan
menjadi standar penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua
ini karena sistemnya ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak
suka yang pabaliut-pabaliut.
Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang
tidak tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar
tidak?
Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar
kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan
anggaran yang minim.
Menurut Anda?
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau
anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik.
Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain.
Siapa yang suruh?
Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik.
Kita tidak perlu sok pahlawan.
Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu
ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat
serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani
kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus
agar tidak ada lagi sistem setoran.
Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga
karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau
bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha
judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya
Rp 5-6 juta.
Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya.
Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di
lingkungan kepolisian?
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas
dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan.
Titik.
Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan
kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan
sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua
jalan petantang-petenteng , tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi
dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong
kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing
(pengawalan) , sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.
Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya
korup dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya
dengan pelacur.
Maju terus Pak, kami beserta anda!
*Kapolda Jabar Irjen Pol. Susno Duadji,*
*"Jangan Pernah setori Saya"*
*Pikiran Rakyat, Edisi 10 Februari 2008*
RABU (30/1) lalu, Kapolda Jabar Irjen Pol. Drs. Susno Duadji, S.H.,
M.Sc., mengumpulkan seluruh perwira di Satuan Lalu Lintas mulai
tingkat polres hingga polda. Para perwira Satlantas itu datang ke
Mapolda Jabar sejak pagi karena diperintahkan demikian. Pertemuan itu
baru dimulai pukul 16.00 WIB.
Dalam rapat itu, kapolda hanya berbicara tidak lebih dari 10 menit.
Meski dilontarkan dengan santai, tetapi isi perintahnya "galak" dan
"menyentak".
Saking "galaknya", anggota Satlantas harus ditanya dua kali tentang
kesiapan mereka menjalani perintah tersebut.
Isi perintah itu ialah tidak ada lagi pungli di Satlantas, baik di lapangan
(tilang) maupun di kantor (pelayanan SIM, STNK, BPKB, dan lainnya).
"Tidak perlu ada lagi setoran-setoran. Tidak perlu ingin kaya. Dari
gaji sudah cukup. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi, tetapi
pengusaha. Ingat, kita ini pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya, malah
ingin dilayani," tutur pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan itu.
Pada akhir acara, seluruh perwira Satlantas yang hadir, mulai dari
pangkat AKP hingga Kombespol, diminta menandatangani pakta kesepakatan
bersama. Isi kesepakatan itu pada intinya ialah meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat biaya.
Susno memberi waktu tujuh hari bagi anggotanya untuk berbenah,
menyiapkan, dan membersihkan diri dari pungli. "Kalau minggu depan
masih ada yang nakal, saatnya main copot-copotan jabatan," kata suami
dari Ny. Herawati itu.
Pernyataan Susno itu menyiratkan, selama ini ada praktik pungli di
lingkungan kepolisian. Hasil pungli, secara terorganisasi, mengalir ke
pimpinan teratas. Genderang perang melawan pungli yang ditabuh Susno
tidak lepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjabat Wakil
Kepala PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). PPATK
adalah sebuah lembaga yang bekerja sama dengan KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) menggiring para koruptor ke jeruji besi.
Berikut petikan wawancara wartawan "PR" Satrya Graha dan Dedy Suhaeri
dengan pria yang telah berkeliling ke-90 negara lebih untuk belajar
menguak korupsi.
Apa yang membuat Anda begitu antusias memberantas pungli atau korupsi?
Saya anak ke-2 dari 8 bersaudara. Ayah saya, Pak Duadji, bekerja
sebagai seorang supir. Ibu saya, Siti Amah pedagang kecil-kecilan.
Terbayang ¢kan betapa sulitnya membiayai 8 anak dengan penghasilan
yang pas-pasan. Oleh karena itu, saat lulus SMA saya memilih ke Akpol
karena gratis.
Nah, waktu sekolah, kira-kira SMP, saya punya banyak teman. Beberapa
di antaranya dari kalangan orang kaya, seperti anak pejabat.
Sepertinya, enak sekali mereka ya, bisa beli ini-itu dari uang rakyat.
Sejak itulah, terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara
ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya
sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di
PPATK. Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa
menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan
uang rakyat. Ada kepuasan batin.
Pengalaman di PPATK itukah yang membuat Anda menabuh genderang perang
melawan pungli saat masuk ke Polda Jabar ?
Seperti itulah. Akan tetapi, harusnya diubah, bukan pungli. Kalau
pungli, terkesan perbuatan itu ketercelaannya kecil. Yang benar adalah
korupsi.
Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak
zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum
yang korup.
Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau
kitanya sendiri korupsi.
Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam,
baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati,
direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi.
Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini.
Tahap awalnya biasa saja. Umumkan, lalu periksa ke atasan
tertingginya, yaitu saya, selanjutnya keluarga saya. Setelah itu
pejabat-pejabat di Polda.
Baru kemudian ke kapolwil, kapolres, dan seterusnya.
Kenapa harus dimulai dari saya. Karena saya pimpinan tertinggi di
Polda Jabar ini. Ingat, memberantas korupsi bukan dimulai dari polisi
yang bertugas di jalan raya. Kalau di pemerintah, bukan dari tukang
ketik, atau petugas kecamatan yang melayani pembuatan akte kelahiran.
Akan tetapi, dimulai dari pimpinan tertinggi di kantor itu.
Artinya, saya sebagai pimpinan jangan korupsi. Bentuknya macam-macam,
seperti mendapat setoran dari bawahan, setoran dari
pengusaha-pengusaha , mengambil jatah bensin bawahan, atau mengambil
anggaran anggota saya. Oleh karena itu, saya tidak akan minta duit
dari dirlantas, direskrim, atau kapolwil. Tidak juga mengambil
anggaran mereka, atau uang bensin mereka.
Jadi, kalau di provinsi, misalnya, ada korupsi, yang salah bukan
karyawannya, tetapi gubernurnya. Memberantasnya bagaimana? Mudah saja.
Tinggal copot saja orang tertinggi di instansi itu.
Untuk program "bersih-bersih" itu, kira-kira Anda punya target sampai kapan?
Secepatnya. Ya, dua-tiga bulan. Kalau tidak segera, bagaimana kita
menunjukkan kinerja kepada rakyat. Kita tidak perlu malu dan takut
nama kita jatuh kalau bersih-bersih dari korupsi di dalam. Kita tidak
akan jatuh merek dengan menangkap seorang kolonel polisi atau polisi
berbintang yang korupsi.
Kalau perlu, tulis gede-gede itu di koran.
Dan, anggota saya yang ketahuan korupsi, akan saya pecat. Jika memang
saya harus kehabisan anggota saya di Polda Jabar karena semuanya saya
pecat gara-gara korupsi, kenapa tidak. Apa yang harus ditakutkan.
Saya yakin, rakyat pasti senang kalau polisi bebas dari korupsi.
Polisi itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Saya justru merasa
lebih tidak terhormat kalau memimpin kesatuan yang anggotanya banyak
korupsi.
Berbicara soal penanganan kasus korupsi. Betulkah mengusut kasus
korupsi bagaikan mengurai benang kusut. Pasalnya, para penyidik
tipikor Polda Jabar mengaku kesulitan mengungkap kasus korupsi dengan
alasan perlu kajian yang mendalam atas bukti-bukti sehingga memakan
waktu lama?
Hahaha.... (Susno tertawa lepas). Mengusut kasus korupsi itu jauh
lebih mudah ketimbang mengusut kasus pencurian jemuran. Mengungkap
kasus pencurian jemuran perlu polisi yang pintar karena banyak
kemungkinan pelakunya, seperti orang yang iseng, orang yang lewat, dan
beberapa kemungkinan lainnya.
Kalau kasus korupsi, tidak perlu polisi yang pintar-pintar amat.
Misal, uang anggaran sebuah dinas ada yang tidak sesuai. Tinggal
dicari ke mana uangnya lari. Orang-orang yang terlibat juga mudah
ditebak. Korupsi itu paling melibatkan bosnya, bagian keuangan, kepala
projek, dan rekanan. Itu saja.
Jadi, kata siapa sulit? Sulit dari mananya. Tidak ada yang sulit dalam
memberantas korupsi. Kuncinya hanya satu, kemauan yang kuat. Harus
diakui, itu (memberantas korupsi) memang susah karena korupsi itu
nikmat. Apalagi, saat memegang sebuah jabatan.
Contohnya saja posisi kapolda. Siapa sih yang tidak mau jadi kapolda.
Ibaratnya, tinggal batuk, apa yang kita inginkan langsung datang.
Pertanyaannya, mau atau tidak terjerumus di dalamnya (korupsi). Kalau
saya, jelas tidak. Itu hanya kenikmatan duniawi sesaat saja. Untuk apa
sih duit banyak-banyak hingga tidak habis tujuh turunan. Gaji saya
saja sekarang sudah besar. Mobil dikasih. Bensin gratis. Ada uang
tunjangan ini-itu. Sudah lebih dari cukup. Anak-anak saya juga sudah
kerja semua. Bahkan, gajinya lebih besar dari saya.
Lalu, langkah apa yang akan Anda buat agar Polda Jabar giat mengungkap
kasus korupsi?
Seperti saya katakan tadi, bersih-bersih dulu di dalam. Jika sudah
bersih di dalam, baru membersihkan di luar. Dan kasus korupsi akan
menjadi salah satu target kami. Kami akan genjot pengungkapan kasus
korupsi biar Jabar bergetar.
Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan PPATK untuk mengusut
kasus-kasus korupsi di Jabar yang melibatkan pejabat publik. PPATK
pasti mau membantu asalkan anggota saya bersih dan bisa dipercaya.
Kita juga bisa diberi kasus-kasus. Kalau tidak bersih dan tetap
"bermain" bagaimana bisa dipercaya. Kalau orang sudah percaya sama
kita, maka banyak kasus yang masuk.
Akan tetapi, bukan karena basic saya di korupsi sehingga korupsi digenjot.
Kasus lainnya juga dikerjakan. Dan, untuk itu harus tertib
administrasi, salah satunya dengan membuat sistem pelaporan perkara
berbasis IT yang terintegrasi dari polsek hingga ke polda. Untuk apa?
Agar kita tahu setiap ada perkara yang masuk.
Jadi, alangkah bodohnya seorang kapolda jika tidak mengetahui jumlah
perkara di jajarannya. Kalau jumlahnya saja tidak tahu, bagaimana tahu
isi perkaranya. Dalam sistem pelaporan perkara tersebut, nantinya ada
klasifikasi perkara. Perkara mana yang porsinya polda, polwil, polres,
dan polsek. Untuk polda, misalnya kasus teror dan korupsi. Soal lapor
boleh di mana saja.
Kita juga harus mempertanggungjawab kan hal itu ke pelapor dengan
mengirim surat kepada pelapor bahwa kasusnya ditangani oleh penyidik
ini, ini, dan ini. Kemajuannya dilaporkan secara berkala. Ini akan
menjadi standar penilaian untuk penyidik. Dan kapolda mengetahui semua
ini karena sistemnya ada sehingga tidak pabaliut. Saya paling tidak
suka yang pabaliut-pabaliut.
Mungkin, bagi sebagian orang, pabaliut itu enak karena sesuatu yang
tidak tertib administrasi itu paling enak untuk diselewengkan. Benar
tidak?
Langkah Anda memberantas pungli dan korupsi di tubuh Polda Jabar
kemungkinan akan memberi efek pada pengungkapan kasus dengan alasan
anggaran yang minim.
Menurut Anda?
Kalau kita pandang minim, pasti minim terus. Kapan cukupnya. Kalau
anggaran sudah habis, jangan dipaksakan memeras orang untuk menyidik.
Mencari klien yang kehilangan barang di sini, memeras di tempat lain.
Siapa yang suruh?
Bilang saja sama rakyat, anggaran kita sudah habis untuk menyidik.
Kita tidak perlu sok pahlawan.
Perilaku memeras atau menerima setoran itu zaman jahiliah. Tidak perlu
ada lagi anggota setor ke kasat lantas atau kasat serse, lalu kasat
serse setor ke kapolres, dan kapolres setor ke kapolwil untuk melayani
kapolda. Jangan pernah setori saya. Lingkaran setan itu saya putus
agar tidak ada lagi sistem setoran.
Bukan zamannya lagi seorang kapolsek, kapolres atau kapolwil bangga
karena mampu membangun kantornya dengan megah. Dari mana duitnya kalau
bukan dari setoran orang-orang yang takut ditangkap, seperti pengusaha
judi, dan penyelundupan. Tidak mungkin dari gaji, wong gajinya hanya
Rp 5-6 juta.
Menurut saya, anggota yang melakukan itu hanya satu alasannya, ingin kaya.
Kalau ingin kaya, jangan jadi polisi, tetapi jadilah pengusaha.
Sikap Anda tersebut kemungkinan memunculkan pro dan kontra di
lingkungan kepolisian?
Lho, kenapa harus jadi pro dan kontra. Peraturannya sudah jelas mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Korupsi jelas-jelas
dilarang dan ancamannya bisa dipecat. Jadi, tidak perlu diperdebatkan.
Titik.
Bagi saya, siapa yang menjadi pemimpin harus mau mengorbankan
kenikmatan dan kepuasan semu. Nikmat dengan pelayanan, dengan
sanjungan, serta nikmat dengan pujian palsu. Malu dong bintang dua
jalan petantang-petenteng , tetapi anak buah yang dipimpinnya korupsi
dan memberikan pelayanan tidak sesuai dengan standar. Malu juga dong
kita lewat seenaknya pakai nguing-nguing
(pengawalan) , sementara rakyat macet. Itu juga korupsi.
Polisi yang korup sama saja dengan melacurkan diri. Jadi, kalau saya
korup dengan menerima setoran-setoran tidak jelas, apa bedanya saya
dengan pelacur.