Perjalanan ke Cina
Benar-benar tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa saya akan bisa jalan-jalan ke luar negeri bareng teman-teman. Kl dengan keluarga masih okelah. Tp dengan teman-teman, nanti dulu. Paling tidak, tidak di seusia ini.
Berangkat pukul 07.30 dengan penerbangan Adam Air ke Singapura, pramugari secara semena-mena membagikan makanan dan minuman tanpa menanyakan apakah saya puasa. Sampai detik ini, saya masih bertahan. Cita-cita saya: buka puasa di luar negeri sekali-sekali.
Sesampainya di Singapura, kami langsung sarapan. Bayangan bahwa kami akan berjalan-jalan keliling Singapura, buka sebelum naik ke pesawat selanjutnya, dan khawatir akan kondisi badan untuk perjalanan membuat saya memutuskan untuk berbuka puasa. Mungkin agak kebetulan bahwa keputusan itu saya buat tepat ketika saya melihat 1 porsi Burger King...
Dengan badan yang lebih segar (dan perut lebih penuh), kami langsung menuju Masjid Sultan. Saya selalu mengagumi Singapura. Bagai mana mereka bisa mempromosikan sesuatu yang sebetulnya biasa-biasa saja seolah luar biasa. Apalah Masjid Sultan dibandingkan Masjid Maimoon ataupun Masjid Raya Aceh, dari segi bangunan maupun sejarah? Bahkan dibandingkan puluhan masjid lainnya di Jawa. Bugis Street masih jauh di bawah Pasar Baru Bandung, kecuali di sana tidak ada copet (tp bukankah copet itu yang pertanda kuat kita ada di pasar tradisional?). Entahlah. Banyak yang bilang Singapura luar biasa. Tetapi selain keteraturannya, saya kira sebetulnya kita punya lebih banyak.
Dengan semangat peziarah, kami langsung shalat di Masjid Sultan. Tepat setelah shalat, muadzin mengumandangkan adzan. Ternyata belum masuk waktu. Jd tepat setelah adzan selesai dan ketika jamaah mulai berdiri merapatkan shaf, kami mengendap-endap keluar...
Dari situ kami langsung ke Merlion Park untuk berfoto bersama Merlion sambil membicarakan berbagai hal termasuk terbakarnya Kantor Pusat Pertamina. Terakhir kali saya ke Merlion, Merlion dipenuhi turis dari Indonesia. Kali ini, Merlion dan sekitarnya tampaknya dipenuhi oleh asap (bukan Asep) dari Indonesia. Jd bisa kita simpulkan bagai mana pentingnya pengaruh Indonesia terhadap Singapura.
Tujuan selanjutnya: Orchard. Untuk membuktikan bahwa kami intelektual muda, tentu saja tempat yang dikunjungi toko buku Borders dan satu lagi di Takasimaya (saya lupa namanya). Beberapa jam berikutnya kami habiskan di sana.
Setelah membeli beberapa buku (saya tidak termasuk karena di kampung masih meninggalkan beberapa buku yang belum terbaca), kami kembali ke Changi dengan MRT yang terkenal itu.
Kami ambil waktu untuk makan terlebih dahulu. Lutfi sebagai satu-satunya anggota rombongan yang masih puasa makan dengan nikmat. Waktu masih cukup lama, pesawat berangkat 09.45 dan ini masih jam 06.30WIB. Hmmm... sebentar. Bukankah waktu Singapura berbeda 1 jam???
Alamak. Telah terjadi kesalahan besar. Buru-buru kami menuju gerbang pemberangkatan. Dan sesampainya di sana... boarding telah ditutup. It almost turned out to be stupidity of the year. Untungnya setelah beberapa menit permohonan maaf, memelas-melas, memasang muka menyesal dan bersumpah bahwa hal ini tidak akan pernah terjadi lagi, kami diperbolehkan naik. Syukurlah... ternyata kami hanya terlambat 5 menit
Perjalanan ke Cina memakan waktu 4 jam, hampir sepenuhnya saya isi dengan tidur. Pendaratan di Cina berlangsung mulus. Di sini, selain mengisi formulir bea cukai, semua pendatang wajib mengisi surat keterangan bebas penyakit, termasuk di dalamnya Flu Burung dan HIV.
Lutfi tertahan di imigrasi. Dia disuruh pindah ke pos lain dan di situ diamat-amati dengan lebih cermat. Pangkal permasalahannya ternyata, foto di paspornya berkumis tebal dan berjenggot. Tidak berlebihan kalau dia dicurigai dalam penyamaran untuk maksud-maksud tertentu. Untungnya dia dibebaskan.
Hotel kami, katanya (kata orang hotel tersebut tepatnya) berjarak 20 menit dari bandara. Ketika ditanyakan ke petugas taxi bandara, ternyata paling tidak butuh 40 menit hingga sejam dengan biaya taxi paling tidak RMB 350. Wah, ditipu nih. Untuk menghemat biaya, kami menyewa taksi gelap dengan biaya RMB 500 (lebih hemat karena memakai mobil van yang muat kami semua).
Mobil ini mobil mazda, mungkin toyota. Tetapi buatan Cina. Adalah gegabah kalau saya bilang Cina tidak bisa membuat barang berkualitas baik. Mereka sudah mengirimkan roket ke angkasa (it's not an easy thing to do, fyi). Kalau sampai citra produk Cina jelek di Indonesia, setahu saya karena importir Indonesia selalu mengambil barang berkualitas rendah untuk mendapat untung sebesar-besarnya (saya tidak termasuk kategori importir yang demikian).
Untuk mobil mereka memang belum menandingi Jepang. Sebagian alasan ekonomis selain teknis, saya kira. Dan mobil ini mobil tua. Rangkanya berderak sepanjang perjalanan, mesinnya menggerung-gerung, kacanya berpendar jika diterangi cahaya lampu (ya, kacanya juga buatan Cina). Saya mengagumi semangat mereka, untuk memakai produksi dalam negeri hampir di setiap bidang. Setiap pabrik Cina memberikan jawaban yang sama: 70-80% produksinya dipakai di dalam negeri. Jika Indonesia memiliki tekad kuat untuk melakukan hal yang sama, saya yakin dalam 25 tahun Indonesia menjadi negara termaju di Asia Tenggara, bahkan melampaui India dan Australia.
Beberapa saat keluar dari bandara, supir dan keneknya menengok ke kiri dan ke kanan sambil memperlambat kendaraan. Perasaan saya sudah tidak enak. Kemudian mereka berhenti. Berputar ke belakang dan menunjukkan plat nomor. Oh ternyata mereka mau mengganti plat nomor. Kacau jg.
Setelah itu kendaraan berjalan kembali. Belum beberapa lama, terdengar bunyi barang jatuh kencang dan bau kopling terbakar. Menambah apesnya suasana malam ini, mobil kami mogok. Setelah 15 menit berusaha dan menelefon, untungnya ada mobil lain yang menggantikan. Tampaknya masih keluarga. Dengan muka sangat menyesal supir pertama mengucapkan,"I'm sorry..." Mungkin satu-satunya bahasa Inggris yang dia tahu karena dia tidak bereaksi ketika saya bilang,"It's oke. Thank you."
Ya, jarang sekali di sana orang yang bisa berbahasa Inggris. Padahal GuangZhou adalah kota perdagangan dan industri internasional. Alamat hotel kami beritahukan dengan menunjukkan alamat yang tertulis di kertas, cetakan dari pemesanan.
Jalan yang kami tempuh selama hampir 1 jam, hampir seluruhnya merupakan jalan tol. Katanya dulu mereka belajar dari Indonesia tentang tol, seperti juga Malaysia. Tapi saat ini jalan tol mereka ratusan atau ribuan kali lebih panjang dari Indonesia.
Sesampainya di hotel, saya menunjukkan surat pemesanan, dibayar penuh di muka. Kata resepsionisnya (satu-satunya yang bisa berbahasa Inggris), hanya tersedia 1 kamar dari 2 yang kami pesan. Busyet. Padahal sudah dibayar. Lebih parah dari low cost carrier. Akhirnya sebagian dari kami terpaksa tidur di hotel sebelah malam ini. Menjawab pertanyaan resepsionis yang lain, berapa orang jumlah rombongan kami, saya menjawab,"Five." Dia pun mengulangi,"Five?" sambil mengacungkan 3 jarinya untuk memastikan. Sangat melelahkan, tapi saya tidak terlalu lelah untuk tertawa.
Akhirnya hampir setelah 12 jam berangkat dari rumah, kami sampai di Changcheng hotel.